Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 26 Maret 2015

Gambar-Gambar Kecil Lain dari Alor

Suasana pagi di perkampungan sekitar Kalabahi
Cerita sedikit dari perjalananku beberapa kali ke Alor yang sempat singgahi di beberapa lokasi yang kurang dikenal oleh masyarakat luar ataupun biasanya hanya dikenal oleh masyarakat lokal. Beberapa lokasi memang bukan tempat wisata yang tidak sengaja aku lihat waktu jalan-jalan pagi nyasar-nyasar.

Pantai Maimol, Alor
Menikmati pantai? Tidak meyakinkan
Ada satu pantai yang ada di pinggir jalan antara Mali (lokasi bandara) ke arah kota Kalabahi yang masyarakat sebut dengan nama Pantai Maimol karena berada di desa Maimol... sebenarnya Maimol itu nama dusun apa desa sih..
Letaknya yang berada di antara pertengaha jalan itulah yang justru sering terlewatkan untuk dikunjungi padahal tampaknya warna airnya yang hijau dan sedikit tosca. Aku pernah sekali mandi di pantai Maimol sekitar tahun 2007-an, sudah lama sekali waktu rambut belum ada yang putih (kata orang rambut putih tanda kebijaksanaan, berarti waktu itu masih belum bijaksana :P)

Balai-balai yang dipasang penduduk untuk bersantai
Kalau dulu tahun 2007 bisa dibilang kawasan ini masih kawasan terbuka, penduduk pemilik tanah di sekitar pantai ini cenderung membiarkan aktivitas wisatawan semacam kami yang duduk-duduk di pantai atau mandi di laut. Disekitar pantai memang banyak tumbuh beberapa pohon yang membuat kita bisa dengan mudah terlindungi dari panas saat kesini siang hari. Tapi pada waktu itu kita harus membawa perbekalan sendiri, jangan harap kita akan menemukan tempat orang menjual minuman atau makanan di sekitar lokasi pantai Maimol.
Tentu saja hal itu berbeda dengan kondisi sekarang, karena penduduk pemilik tanah mulai memagari tanah-tanah di sekitarnya dengan pagar kayu/bambu. Mereka memang menambahkan balai-balai di bawah pepohonan untuk tempat bersantai sambil menikmati pantai. Beberapa penduduk juga menjadikan lokasi sekitar tempat ini untuk menjual makanan dan minuman. Kalau lagi musim jagung, maka paling mudah ya mencari jagung rebus, kalau minuman tidak ada pilihan yang lebih nikmat selain kelapa muda.
Jangan buru-buru percaya kalau ada yang menawari jagung muda. Bukan karena mereka berbohong tapi mungkin ada perbedaan muda dari kita para pendatang dengan mereka.
Suasana pantai masih cukup tenang
Pernah dua kali aku beli jagung rebus dan tanya apakah jagung muda, mereka jawab ia jagung muda. Tapi waktu aku buka dan makan terasa sekali kalau jagung ini sudah tua tetap saja penjualnya bilang kalau itu jagung masih muda. Iya sih, lebih muda dibandingkan jagung pipil yang dijual kering untuk digiling jadi nasi jagung hehehehe. Tambah lagi mereka kadang rebusnya tidak seberapa masak jadi kadang masih terasa agak mentah di bagian dalam. Lagi-lagi mereka menyangkal kalau itu sudah masak dan mereka biasa makan seperti itu. Jadi inget sama jagung bose waktu di SoE yang dimakan oleh salah satu pekerja jalan waktu istirahat. Jagung yang mereka rebus itu jagung yang sudah dipipil dan direbus setengah matang, yang mereka makan dengan rebusan daun ubi atau daun pepaya dan sambal lu'at (itu sambal aslinya pedas sekali).

Biaya masuknya cukup mahal sih, 10rebu hanya untuk duduk di balai-balai. Namun jika mau asyik coba cari nelayan-nelayan yang selesai mencari ikan. Jika beruntung bisa mendapatkan ikan-ikan segar yang sangat nikmat dibakar. Saat aku dan teman-teman sedang bersantai di sini, aku harus puas cuma bisa ngiler memandang rombongan anak muda membakar ikan yang masih segar. Dengan hanya berbekal lombok, kecap, dan garam, ikan-ikan yang dibakar ini tetap nikmat disantap. Sebenarnya mereka gak perlu garam ya, kan ikan-ikan sudah berenang di air asin seumur hidupnya, pasti sudah cukup garam hehehehe. 
Untuk mendapatkan view terbaik tidak ada salahnya kalau mengunjungi tempat ini pada pagi hari, karena memang pantai ini menghadap ke arah timur sebagaimana pantai Mali. Memang matahari tidak terbit langsung dari horizon laut karena terhalang view daratan di seberang yang masih bagian dari pulau Alor.

Pantai di Sekitar Dermaga Kalabahi

Suasana pagi di perkampungan sekitar Kalabahi
Di sekitar daerah Kalabahi memang lebih banyak pantainya berpasir hitam dan tampaknya pasir itu memang warna khas di sepanjang kawasan teluk Mutiara ini. Suatu pagi aku iseng berjalan-jalan menyusuri perkampung di dekat daerah pelabuhan. Di sepanjang jalan ada beberapa tempat yang aku lihat ada tempat menjual jajanan hasil olahan mereka. Jadi berbeda dengan suasana pagi yang sering lenggang, di kampung ini pagi-pagi sudah tampak aktivitas warganya. Setelah beberapa gang aku lewati, iseng aku masuk ke dalam melewati rumah-rumah berimpitan yang dibangun di sepanjang pantai. Tidak mudah untuk menemukan sebuah pantai terbuka karena sebagian besar sudah dipenuhi rumah-rumah penduduk entah rumah permanen atau rumah sementara. Dengan mengikuti sebuah jalan setapak sesuai arahan salah seorang penduduk akhirnya aku dapat mencapat sebuah pantai yang kiri kanan juga sudah diapit rumah-rumah.
Anakan bakau yang telah ditanam di sepanjang pantai
Lagi-lagi aku menemukan kebiasaan buruk masyarakat yang menjadikan laut tempat untuk membuang sampah. Bahkan di beberapa sudut pantai aku harus melewati gundukan tanah yang terbentuk dari timbunan sampah yang tampaknya sudah lama. Mungkin juga bangunan-bangunan ini sebagian dibangun dari menebang pohon bakau yang biasanya banyak ditemui di kawasan pasir berlumpur seperti ini.
Saat aku terus berjalan ke arah timur untuk mencari view pemandangan pagi yang menarik, aku terhenti pada sebuah batu yang disusun di pinggir laut membentuk sekat dan ternyata di balik sekat itu terdapat sebuah kawasan yang sedang ditanami pohon-pohon bakau. Calon-calon pohon bakau yang masih kecil ini bagaimanapun menjadi sebuah penyejuk yang bisa diharapkan untuk dapat besar yang menjadi pelindung bagi pantai di kawasan ini. Walaupun dari sini aku melihat tidak terlalu banyak bakau yang sedang ditanam namun aku berharap siapapun yang memiliki inisiatif ini entah dari lembaga swadaya masyarakat atau pemerintah, maka upaya ini tidak berhenti seperti ini namun dibeberapa pantai lain yang kawasan bakaunya telah mulai habis dipotong masyarakat kembali ditanami.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 Maret 2015

Senja di Batas Indonesia - Timor Leste

Pasir hitam mencipatakan bayangan sempurna jajaran pohon cemara di pantai Wemasa
Sudah ketiga kalinya aku ke Kabupaten Malaka tapi memang belum pernah kemana-mana. Urusan ke Malaka berarti sibuk dengan urusan kerjaan yang kejar-kejaran gara-gara perjalanan yang susah kesana. Kabupaten Malaka yang beribukota di Betun belum genap berusia 2 tahun jadi kabupaten baru setelah melepaskan diri dari induknya Kabupaten Belu. Buka google map, kalian akan menemukan kota ini berada di perbatasan Indonesia - Timor Leste. Jadi di Malaka ini lah yang menjadi daerah perbatasan Indonesia - Timor Leste dari sisi selatan sekaligus daerah perbatasan laut dengan Australia.

Mengangkat perahu menuju ke pantai untuk mencari ikan
Selasa sore saat jalan-jalan di kota mau ngambil uang di-ATM iseng aku nanya pantai yang ada di dekat sini tukang ojek. Setelah banding-banding lokasi dan sepakat harga akhirnya aku dianter sama tukang ojek ke pantai Wemasa yang kebetulan kata Fredo si ojek dekat dengan rumahnya. Tidak jauh mungkin sekitar 5-6 km melewati jalan besar arah menuju perbatasan. Sebenarnya aku bareng dua cewe yang juga ingin jalan-jalan tetapi karena belum mengenal medan aku memilih jalan sendiri. Sebelum aku masuk pantai Wemasa, aku sempatkan mampir di warung untuk beli bekal karena biasanya aku suka nunggu sampai malam baru balik.
Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di pantai Wemasa. Pantai ini berpasir hitam walau tak segelap pasir di Ende. Aku memang sedari awal tidak berekspektasi lebih dengan pantai-pantai di daratan Timor apalagi yang sisi selatan. Kata Niken, tempat tujuan mungkin tidak indah tapi perjalanan itu tetaplah indah. Kalau aku tambahi, indah tidaknya tempat tergantung darimana kita melihatnya.
Anak-anak pengangkut perahu
Berpose dibawah semburat sinar senja
Pantai Wemasa memang berada dekat perbatasan, salah seorang anak muda yang bantu menarik perahu yang turun melaut menunjuk tanjung yang tampak sekali di ujung timur yang katanya merupakan daerah yang memisahkan Indonesia dengan Timor Leste. Tidak tahu apakah yang dia tunjuk itu pantai Kobalima, karena informasinya di sebelah pantai Wemasa yang dekat dengan perbatasan itu pantai Kobalima. Dengan pasirnya yang berwarna hitam, siang hari memang terasa terik sekali sehingga nyaris tidak ada aktivitas di pantai ini kecuali beberapa anak muda yang sedang memperbaiki jaring pukat di bawah jajaran pohon cemara yang rindang.
Walau senja, cahaya matahari masih menyilaukan
Menantang gelombang demi lanjutnya kehidupan
Saat sore menjelang dan matahari sudah tidak terik, barulah aku berjalan-jalan menyusuri pantai. Sepanjang pantai hanyalah pasir, tidka kutemukan karang di daerah ini. Beberapa anak kecil berlarian, yang masih masih malu-malu saat kusodorkan makanan ringan yang kubawa di dalam rompi. Aku memang suka membawa makanan lebih untuk saat-saat seperti ini.
Gelombang meninggalkan buih-buih putih di pasir yang hitam
Rata-rata perahu yang ada disini perahu kecil, katanya mudah untuk ditarik kembali ke daratan saat ombak menjadi besar. Pantai selatan memang khas dengan ombaknya yang kadang besar. Saat ini masih digolongkan tenang oleh nelayan setempat. Beberapa perahu ditarik ke pantai untuk mencari ikan. Mereka mencari ikan jauh ke tengah karena memang dengan kondisi perairan terbuka seperti ini tidak ada tempat perlindungan bagi ikan di pinggiran. Mereka pun tidak melaut lama, seperti saat ini mereka keluar maka biasanya jam 7 malam mereka sudah mulai kembali. Rata-rata nelayan di sini bukan asli dari daerah ini namun tersebar dari beberapa tempat termasuk dari Betun.
Saat malam aku menyusuri pantai, aku diingatkan oleh pak Dalis yang merupakan pemilik beberapa kapal disini. Dia menyarankan aku menjauhi daerah air karena saat gelap buaya-buaya suka bermunculan di pinggir pantai. Dia menunjuk jauh di sebelah barat dimana terdapat muara di sana. Di sanalah banyak terdapat buaya yang kadang suka mengejar anak-anak. Itulah kenapa daerah yang ada rumah-rumah jaga untuk perahu hanya di sekitar pantai Wemasa sebelah timur, karena sebelah barat selepas jalan memang wilayah para buaya. Walaupun begitu, disini tidak ada orang yang memburu buaya karena sepertinya membunuh buaya itu sebuah pamali bagi mereka.
Pak Fredo juga menceritakan tentang kepala desa Nekmasa yang bisa berkomunikasi dengan para buaya ini. Katanya ada satu pulau kecil di dekat daratan, tapi untuk kesana harus di antar oleh kepala desa ini karena disana menjadi sarang buaya.
Aku sebenarnya masih akan menunggu kembalinya para nelayan ke pantai ini. Kata pak dalis, kalau malam para pengumpul ikan akan berdatangan kesini dengan senter menunggu nelayan sehingga tiap malam di wilayah ini akan terang dengan senter yang dibawa pengumpul untuk membeli ikan dari nelayan. Sayang Fredo ternyata udah menungguku di cabang sehingga akhir aku mengalah kembali sebelum jam tujuh.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 28 Februari 2015

Menyapa Pagi di Kalabahi


Keheningan teluk Kalabahi dalam bingkai suasana pagi
Menyesap nikmatnya kopi pagi disebuah warung kecil di samping kiri pelabuhan ditemani semangkuk mie rebus yang asapnya masih mengepul. Tidak banyak aku temukan tempat minum kopi yang buka di pagi seperti ini di NTT, tidak seperti di Jawa yang dengan mudah kita temui warung-warung yang buka di pagi hari menunggu pembeli memesan kopi. Tapi bukankah kadang yang sulit dicari jadi nikmat sekali jika kita temui. Ah, aku jadi ingat teman yang pernah sampai ke kota ini dan berkata, sering merindui untuk datang kembali di kota ini. Jika sebagian orang ada yang datang sebentar menjadi jenuh, aku jadi ingat kata mantan bupati Alor, Ans Takalapeta: "Alor itu indah jika kita bisa menikmatinya". 

Perahu bertambat di dermaga
Bayangan pagi yang hening

Ya benar, jika kamu bisa berdiri disini menikmati terjebak dalam suasana kota lama, menikmati keheningan yang ada mungkin kamu akan mengangguk setuju pada sebuah spanduk pemda "Alor - Heaven on Earth". Aku sedang tak bicara tentang indahnya terumbu karang di perairan Alor yang menjadi incaran turis dari mancanegara bahkan para dive master level dunia. Aku juga tidak sedang berbicara tentang indahnya panorama pantai di sepanjang Alor. Tak perlu jauh-jauh teman, menikmati kopi di pagi hari atau sekedar mencangkungkan kaki di pinggir dermaga saja cukup alasan untuk menemukan sebuah keindahan jika kau paham maksudku.
Kota lama di depan pelabuhan
Suasana pertokoan dengan arsitektur gaya lama

Beberapa hari ini aku memang jadi rajin bangun lebih pagi karena bunyi adzan Subuh terdengar dari hotel yang jaraknya tak jauh dari hotel mungkin tak lebih dari 100 meter dan disusul oleh 2 masjid lainnya yang hampir bersamaan. Sebelum adzan sendiri biasanya aku mendengar lantunan qiro'ah mengalun dari pengeras masjid. Saat mataku bangun setengah terbuka aku serasa kembali ke kampung halaman dimana musholla hampir bisa ditemui disetiap gang kampung dan saat subuh suara-suara adzan itu terdengar susul menyusul. Aku jadi rindu kampung, masih kuingat saat puasa kami pagi-pagi dengan sarung terkalung di leher berangkat sholat Subuh dan dilanjutkan acara 'ngeceng' di alun-alun kota. Aku ingat, para gadis muda juga keluar bangun subuh. Mereka tidak keluar untuk sholat subuh tapi untuk jalan-jalan, dan alun-alun kadang menjadi tempat 'ngeceng' waktu subuh. Sekarang istilah 'ngeceng' sudah jarang dikenal, mungkin sebagian kalian yang masih dibawah 30 tahun tidak lagi mengenal istilah itu.
Asap tipis tanda aktivitas pagi dimulai
Menimba air laut dari perahu
Mungkin baru kali ini aku leluasa berjalan-jalan pagi di pinggir pantai bahkan saat langit masih gelap. Pagi masih hening selepas Subuh, hanya beberapa orang tua yang keluar agak telat dari masjid karena lebih lama berdzikir. Pun kesibukan di dermaga tak seberapa, hanya beberapa orang yang sibuk mengisi air bersih ke tong-tong perahu. Sepertinya mereka mau berangkat pagi ini. Beberapa kru kapal yang enggan bangun memilih menutup badannya dengan sarung dan meringkuk di pinggiran dermaga.

Patung Perjuangan Rakyat
Kalabahi adalah sebuah kota lama, salah satu kota yang terbentuk sejak awal berdirinya provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku bisa mengenali wajah kotanya yang mengingatkanku pada kota lama di Jawa, pun demikian pula dengan kesibukannya. Toko-toko biasanya hanya buka sampai jam tiga sore dan jika buka lagi biasanya selepas jam lima sore. Toko-toko yang berdiri di sekitar pelabuhan masih menjadi pusat keramaian di Kalabahi, suasananya tidak banyak berubah dibanding lima belas tahun lalu.
Lautnya pun begitu tenang, nyaris tanpa gelombang. Jika kalian lihat peta, Kalabahi berada jauh di dalam teluk yang dikenal dengan nama teluk Mutiara. Air laut yang bagai pantulan kaca memantulkan bayangan hitam tanah Alor Besar yang dipenuhi bukit-bukit. Aku saat duduk di dermaga kadang suka membayangkan jika teluk ini adalah sebuah kota pasti malam hari akan melihat pemandangan yang luar biasa, mandi cahaya dari seberang yang yang bayangannya memantul bagai kaca di air laut.
Namun dibalik ketenangannya lautnya, pagi yang kedua aku duduk sendiri di dermaga aku tahu bahwa laut tetap menyimpan bahayanya sendiri. Dan pagi ini aku mendengar dari corong masjid yang memberikan kabar bahwa seorang anak yang masih kecil berumur 7 tahun meninggal tenggelam, seingatku bernama Raihan sekitar jam 19.00. Malam sebelumnya aku memang mendengar percakapan ibu-ibu saat ada kesibukan di dermaga bahwa mereka sedang mencari seorang anak yang hilang tenggelam dan belum ditemukan. Katanya anak itu bersama ibu bapaknya yang sedang memancing di dermaga. Selamat jalan Raihan, sepertinya Tuhan lebih menyayangimu nak walaupun kepergianmu tentulah menyakitkan hati bapak ibumu.

Baca keseluruhan artikel...

Pasola, Kampung Toda, dan Daging Rusa

Ruang memasak berada di tengah-tengah rumah dan kamar-kamar berada di pinggir.
Lanjutan dari cerita Pasola .............
Aku mundur ke belakang setelah penonton di belakang terus merangsek ke depan ingin melihat lebih dekat. Karena acara Pasola makin seru makin sulit polisi dan aparat desa mengatur penonton sudah tidak mendekat. Biasanya ulah penonton ini tanpa sadar sering membuat lapangan menyempit sehingga jarak pemain makin dekat. Tapi ini juga sekaligus membuat penonton di barisan depan rawan ikut terkena lemparan lembing.
Untungnya di depan mudah mengambil foto seperti ini tanpa terhalangi
Ada satu keuntungan jika kita ke acara-acara seperti ini membawa kamera biasanya petugas tidak melarang jika kita berdiri di depan dari garis yang dibolehkan. Aku lihat rata-rata pemotret bebas mendapatkan tempat duduk di depan sehingga leluasa mengambil angle acara. Apalagi kalo pakaiannya rompi macam wartawan mau cari berita hahaha..
Ternyata aku tinggal berdua sementara teman-teman yang lain entah kemana. Dicari-cari ternyata mereka berteduh di bawah pepohonan. Wuih ternyata samping kanan kiri jalan telah dipenuhi para pedagang dengan segala macam dagangannya, pada umumnya makanan minuman sih. Cuaca saat ini memang terik sekali, bahkan hawa panas itu sudah terasa sejak pagi. Kalau kataku, di Sumba Barat Daya ini setelah malam itu langsung siang tanpa pagi karena matahari pagi langsung terang tanpa basa basi dulu hehehe.

Suasana rumah di kampung Toda
Yang asyik di perjalanan kami ditawari mampir pak Jostom mampir ke rumah mantan bupati Sumba Barat Daya di kampung Toda. Kebetulan pak Jostom sekarang lagi ditugaskan jadi sekcam di Kodi dan yang saat ini termasuk seksi sibuk dengan adanya acara Pasola seperti ini. Ternyata di kampung Toda ini sudah banyak berkumpul orang sehingga di tengah kampung dipasangi terpal. Seperti biasa aku lebih memilih duduk-duduk di salah satu rumah penduduk. Seperti pernah aku ceritakan sebelumnya, rumah asli Sumba ini nyaman. Tipikal rumah model panggung dengan balai-balai terbuka di sekelilingnya ditambah dengan atap asli dari jerami membuat rumah terasa sejuk walaupun cuaca panas menyengat. 
Kubur batu di kampung Kodi
Rupanya acara Pasola ini bagi orang Sumba merupakan hari besar, biasanya ini waktu mereka yang telah terpisah jarak menjadi ajang kumpul. Seperti rumah yang aku duduki ini ternyata dimiliki 25 kepala keluarga. Memang mereka tidak tinggal semua disini karena mungkin sudah punya rumah di tempat lain, tapi hak dan kewajiban mereka atas rumah itu tetap ada. Dan saat acara seperti inilah tempat mereka kembali ke rumah inang mereka menjadi satu. Menu pembuka yang disodorkan ke kami adalah jagung rebus. Jagung pulut istilah mereka memang paling enak dibuat jagung rebus. Ditambah teh panas, jadilah perbincangan dengan penduduk kampung Toda terasa mengasyikkan. Sayang aku lupa membawakan mereka sirih pinang, padahal lebih asyik lagi kalau aku bisa ikut makan pinang bersama mereka. Jadi inget waktu ke Kodi beberapa tahun lalu saat aku mencoba makan sirih pinang disini.
Saat undangan makan adalah saat yang tidak dapat kami lewatkan, dan ternyata kami mendapatkan suguhan daging istimewa: Rusa Timor yang mereka pelihara sendiri. Daging rusa yang manis dan bertekstur lembut ini tentu tidak kami sia-siakan walaupun kalau aku lihat tega. Putra dan Fathul beruntung, sementara teman-teman lain mungkin sampai saat ini belum pernah melihat Pasola merasakan nikmatnya daging rusa, mereka sekali kesini langsung mendapatkan keduanya. Hahaha... sepertinya bekal nasi padang yang kami bungkus bakalan sia-sia karena perut kami sudah dipenuhi makan siang dengan daging Rusa.
Danau Weekuri, ada yang lebih doyan motret dong :P
Sekitar jam satu kami kembali meneruskan perjalanan ke Weekuri karena kebetulan 2 orang dari rombongan yaitu Fathul dan Eko belum pernah ke Weekuri. Weekuri itu sebuah danau, seperti apa danau itu bisa dibaca di tulisanku sebelumnya.
Dan seperti biasa perjalanan ke Weekuri tidak mudah, kami bahkan sempat berjalan memutar balik kembali tanpa sadar. Walaupun kami pernah ternyata tetap tidak mudah mencapai tempat ini karena masih sangat minimnya papan informasi penunjuk jalan. Aku sendiri kenapa masih semangat ke Weekuri karena memang Weekuri itu tempat yang gak membosankan. Bahkan Putra kali ini semangat sekali mau mandi. Walhasil memang kami berhasil mandi di danau Weekuri, sayangnya justru teman-teman dari bepeka tidak mandi hanya duduk sambil menunggu teman-teman lain yang juga mau ngumpul dari Sumba Tengah dan Sumba Barat. Kali ini aku lebih siap dengan membawa celana dan kacamata renang. Danau Weekuri memang asyik untuk dinikmati bahkan sekedar untuk duduk-duduk saja apalagi kalau mandi.
Hujan yang menghentikan kami berenang
Sayang aku tidak bisa mandi lama karena langit yang sedari tadi tampak gelap berubah menjadi hujan. Sementara teman-teman yang tidak mandi langsung berlari ke mobil, aku tentu tidak bisa dengan kondisi basah. Akhirnya aku, Fathul dan Putra memilih berlindung di sebuah cekungan batu. Tidak terlalu tinggi sehingga kami harus agak menunduk tapi cukup lapang setidaknya sambil menunggu hujan reda.
Karena hujan ini akhirnya kami membatalkan mampir ke pantai Watu Mandorak. Ternyata hujan memang reda sebentar setelah itu makin kencang. Padahal waktu Pasola tadi langsung masih biru. Aku jadi ingat kata seorang kawan, saat Pasola walaupun musim hujan tetap waktu acara cuaca akan cerah karena mereka juga akan menggunakan semacam pawang untuk menghalau hujan. Hal itu sudah aku alami beberapa kali, walaupun Pasola terjadi di musim yang masih ada hujan namun tiap Pasola langit tetap cerah.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 21 Februari 2015

Pasola: Tarian Perang di Atas Kuda

Seorang petarung Pasola sedang memancing lawan (lok. Rara Winyo, desa Wura Homba)
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya. (sumber: Wikipedia)

Akhirnya aku punya alasan untuk menulis tentang Pasola. Sebenarnya Pasola sendiri sudah aku lihat dua kali sebelumnya, dua-duanya di Lamboya. Yang pertama sudah lama sekali mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Tahu kan apa yang terjadi 10 tahun lalu? Yup, kamera masih jadi mainan mahal dan karenanya aku gak punya gambar-gambar Pasola yang aku lihat. Yang kedua beberapa tahun lalu, saat aku sudah punya kamera prosummer. Entah waktu itu Canon S5 IS atau Fuji S200 EXR. Yang pasti aku waktu itu inget bawa tripod dan perlengkapannya tapi justru malah lupa bawa kameranya.. uassyeeemm... wal hasil hasil nonton Pasola kedua nangkring di kamera China (mati kecemplung di pulau Kambing) dengan resolusi 0,3Mp..

Kecil tapi lincah di atas kuda Sambutan balik untuk para penantang
Menantang lawan sendirian Perang tombak terjadi
Nah yang ketiga inilah aku bisa dapet foto-foto Pasola. Mau ngambil foto dari internet gak asyik lah, lah asyiknya itu tuh ngeliat sendiri kok sekaligus moto sendiri. Mungkin sebagian orang sudah tidak asing karena Pasola sudah menjadi salah satu destinasi wisata yang dijual di luar negeri.
 
Jangan banyak-banyak nanya asal-usul Pasola dan ceritanya gimana ada Pasola ya, itu di om Wiki banyak banget ceritanya dari sejarah, prosesi sampe pendaftarannya.. eh terakhir gak ada ding.... :D Kalau aku jelasin satu, percaya deh pasti kalian akan nerocos nanya lebih banyak lagi, mending kalian baca om Wiki trus masukin barang-barang ke tas ransel dan cao ke Sumba mumpung sekarang masih belum abis Pasola-nya.. ayo buruan, keburu cuti abis buat ngorok doang.
Ini nih jadwal yang dikirim mas Eko lewat forum Tapaleuk Ukur Kaki tapi hanya untuk jadwal yang di Sumba Barat Daya.
10 Februari 2015Homba Kalayo, Desa Waikaninyo, Kec. Kodi Bangedo
13 Februari 2015Bondo Kawango, Desa Pero Batang, Kec. Kodi
14 Februari 2015Rara Winyo, Desa Wura Homba, Kec. Kodi
11 Maret 2015Maliti Bondo Ate, Desa Umbu Ngedo, Kec. Kodi Bangedo
13 Maret 2015Wai Ha, Desa Wai Ha, Kec. Kodi Balaghar
14 Maret 2015Wai Nyapu, Desa Wai Nyapu, Kec. Kodi Balaghar

Nah, aku dapet acara paling bontot di Februari di desa Wura Homba. Sayang aku gak dapat untuk jadwal acara di Lamboya dan Wanokaka. Kemungkinan sampai saat ini masih ada acara Pasola yang dapat dilihat di Lamboya atau Wanokaka.
Jangan tanya apakah jadwal itu pasti, termasuk kalau tahun depan ada jadwal serupa. Walaupun itu penting bagi wisatawan apalagi yang waktunya juga tidak panjang namun tak bisa dipungkiri bahwa Pasola bukan sekedar permainan yang bisa dimainkan kapan saja dan dimanapun. Untuk memulainya tergantung para Rato (tetua suku) yang akan berembuk setelah ritual Nyale. Ritual Nyale selalu mengawali acara Pasola, bahkan disanalah awal untuk menyebut apakah sebuah Pasola bisa dimulai.
Menunggu musuh mendekat Saling berhadapan siap perang
Kalau mau jujur, aku jauh lebih terkesan dengan Pasola di Lamboya. Pertama karena lokasinya yang di perbukitan yang terpisah dengan rumah penduduk sekitar. Yang kedua, hawa perang lebih terasa makanya sering kali acara Pasola menjadi rusuh. Teriakan-teriakan penonton dan pekikan khas begitu kuat membakar para petarung sehingga tak terelakkan acara ini kadang menjadi begitu panas. Di Lamboya, dua kali acara berakhir dengan kerusuhan yang melibatkan para penonton juga juga sering membawa lembing. 

Mila Ate, temen pns yang ikut acara Pasola
Dan selesainya acara diakhiri dengan raungan mobil dalmas yang berlari kencang mengejar penonton yang terlibat kerusuhan. Seru dan menegangkan.

Walaupun sekedar lembing kayu tumpul jangan anggap remeh, tak kurang beberapa kali aku melihat peserta Pasola terluka sampai darahnya bercucuran bahkan ada yang matanya buta. Tapi bagi mereka, cucuran darahnya itu justru akan menjadikan tanah mereka subur dan membuat mereka nanti akan panen besar.
Ketegangan juga kadang bertambah jika ajang Pasola diselipi dendam pribadi akibat kekalahan sebelumnya dari salah satu peserta. Jadi walaupun melihat Pasola mengasyikkan, tak bisa dipungkiri ada ketegangan di sana.. Tak ada yang menjamin penonton aman dari lembing peserta yang melayang apalagi jika memilih duduk di depan. Padahal justru itulah posisi yang dicari seorang pemotret.
Aku juga nyaris hampir merasakan kaki kuda jika tak lekas menyingkir. Pada saat mencari tempat memotret entah kenapa seekor kuda berwarna putih yang dikendarai peserta mendadak berontak. Beberapa kali kaki belakangnya menyepak ke belakang. Akibat ulah kuda ini beberapa kuda yang didekatnya ikut gelisah. Untung aku sempat menyingkir agak jauh sebelum akhirnya kudanya berhasil ditenangkan pemiliknya, itu pun dia sendiri sempat terjatuh satu kali.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 20 Januari 2015

Bandung: Yang Penting Jalan Kaki

Nongkrong kek gini jadi kayak moto gigolo lagi nongkrong di pinggir jalan, tapi liat belanjaannya yang segede gaban jadi kayak liat cowo lembut gemulai.
Aku sebenarnya nyaris lupa mau menulis tentang Bandung ini karena ngotot nunggu ada foto yang cukup bagus buat aku tampilin di blog ini. Terus terang, belakangan memang agak kurang semangat moto. Jadi waktu di bandung juga cuma bawa kamera plus lensa yang udah terpasang. Lupakan tripod, aku bahkan tidak berpikir aku membutuhkannya selama di Bandung.
Padahal walaupun aku tidak punya foto-foto bagus di Bandung, selama seminggu menikmati malam di Bandung sangat seru apalagi kalau bukan karena bareng satu tugas bareng teman yang hobinya sama suka nyendal kemana-mana alias jalan-jalan.
Akhirnya bulan November, kesempatan ke Bandung itu datang. Tapi terus terang melihat ketatnya jadwal acara aku gak yakin bisa ke tempat-tempat yang menarik di Bandung. Faktanya memang tiap hari dari pagi sampai ketemu malam full acara. Itu balai diklat di jalan Jawa jadi saksi bisu penderitaan kami menerima materi tentang pekerjaan umum yang dipadatkan (mungkin setara Beton K-300) dari materi jalan, irigasi sampai urusan tinja (sanitasi) musti dilalap dalam 5 hari (faktanya 3 hari karena yang dua hari praktek lapangan).

Tapi hawa Bandung adem (kalo malem) tetep membuat kita tetep semangat cari waktu buat jalan-jalan apalagi dari Kupang kita sudah punya bayangan banyak mau ngapain di Bandung. Apalagi kalau bukan mau hedon belanja barang-barang backpackeran. Siapa yang menolak kalau Bandung itu tempat yang dengan mudah kita menemukan segala pernik tetek bengek peralatan gituan. Tapi gak perlu diceritain hedonnya kita toh tetep aja standar kere. Lagian kayak bencong kalo tiap malem wira-wiri ke mall balik nenteng belanjaan banyak. Kalau itu standarnya, maka Ardi lah yang aku tunjuk karena itu anak memang hedonnya gak ketulungan. Bahkan untuk menyadarkan dia harus dipanggil dukun beranak berulang-ulang. 


MasyaAllah, maafkan kesalahanku telah narsis begini...



Foto ini hasil dari bujukan dua tokek yang berhasil yang memaksaku moto narsis sebagai konsekuensi logis untuk mengabadikan perjalanan yang bersejarah. Foto narsis memang momen menjijikkan yang kadang harus di jalani (wajib mandi junub).
Jadi sekitar malam ketiga (seingatku malam itu malam Jum'at mungkin kliwon) kita mau tau dimana Dago. Supaya tahu dengan benar maka jalan satu-satunya ya jalan kaki. Maka dimulai dari perempatan di salah satu mall (jangan tanya nama mall aku gak pernah inget) kita naik angkot jurusan Dago. Dago mana? tanya abang Angkot... eh, bukan abang tapi aa'... Pokoknya Dago, jawaban sekenanya Imam. Jadi kita pasrah mau dibawa kemana sama sopir angkotnya. Satu demi satu turun, dimulai dari dari yang cantik sampai terakhir kuntilanak juga sudah turun tetep aja kita di angkot nunggu sopirnya ngusir kita. Akhirnya memang di terminal Dago kita diusir turun. Dago menjelang jam dua belas malem saat kuntilanak lagi nyusuin anaknya, ngapain coba???
Pikiran jorok Ardi memang menyesatkan, walhasil kita hanya melihat serangkaian bangunan yang tinggal hidup lampu luar bukan hingar bingar Bandung. Lho emang mau cari tempat dugem di Dago, mase? Gak sih, kali aja ada kuntilanak cantik susunya panjang mau nemeni kita jalan-jalan.. Jadi sampai sekarang aku juga gak tau, sebenarnya ada apa di Dago sebenarnya.. please, internet mabok nih.
Di mulainya terapi penurunan lingkar pinggang, untuk jalannya menurun sehingga jarak yang sekitar 6,5 km kata mas google gak terasa. Beneran gak terasa lho, cuma kaku dikit-dikit di persendian, nyeri tumit, sesak napas, mata melotot, dan ketek basah.. (hueekks!!!)
Ternyata acara nyendal jalan-jalan ini cukup sukses kita lakukan beberapa malam dengan tujuan yang serba gak jelas. Ide gilanya sederhana saja, yang penting jalan dulu kek mau kemana terserah baru kalau ketemu papan nama jalan baru browsing internet untuk tau ada hal apa yang menarik disitu.
Bandung tuh kek gini kalau lagi bener, kalo lagi mendung ya gitu deh
Sebenarnya selain jalan-jalan, acara di Bandung juga menjadi acara kuliner terutama buat Ardi, gak tau naik berapa kilo tuh anak setelah diusir dari Bandung. Pokoknya kalau pengen makan paling ya ngajak Ardi, ditanggung tidak akan ditolak. Aku sendiri hanya beberapa tempat yang ikut kayaknya salah satunya waktu Ardi ngajak ke kafe Infinito buat nyobain makan pizza durian. Ya Allah, pizza kok durian, kenapa gak sekalian pizza jengkol topi petai gitu pasti lebih waw.... tempatnya lumayan asyik, asyik buat berteduh maksudnya. Bulan begini emang Bandung itu gak ikhlas matahari nongol, lebih sering mendung dan gerimisnya. 
Selain jalan kaki dari Dago sampai di jalan Jawa, kita juga jalan dua kali dari Cihampelas. Lebih deket jalan kaki daripada naik angkot yang gak jelas muter kemana dulu. Gini nih kalau Bandung kebanyakan jalannya verboden (satu arah) jadi angkot satu jurusan tidak bolak balik. Angkot juga satu kali sukses membuat kita jalan kaki lebih jauh gara-gara kepedean angkot bakal turun di depan hidung gedung kita nginep padahal tuh angkot justru
jalan muter lebih jauh. Akhirnya jalan lagi, sedaaap.....
Enak naik taksi... eit nanti dulu, itu Bandung kalau lagi jamannya macet kek malam Sabtu atau malam Minggu lebih ngeri, naik taksi sama saja dengan kasih sopir taksi duit nunggu. Enakan di Kupang, naik taksi gak kena macet walau gak jelas juga ada taksi atau gak (kecuali ke bandara). 
Udah ah, malah blog jalan foto jadi ajang curhat gini ya.... daripada yang baca neg trus gak enak makan tigak hari tiga malem. 
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya