Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 03 Februari 2013

Bajawa Lagi: Air Panas dan Foto Makro

Air terjun yang panas bercampur dengan air dingin: Pemandian Air Panas Mengeruda, SoA
Nyaris tiap hari mendung menutupi langit saat sore mulai menjelang, kadang pula pagi pun langit sudah dipenuhi mendung. Bajawa yang berada di ketinggian di atas 1.100 dpl memang bulan-bulan seperti ini harus rela menikmati mendung atau kabut seharian. Untungnya cuaca begini justru Bajawa tidak terlalu dingin. Aku yang tidak mempersiapkan untuk penugasan di tempat yang terkenal dingin tidak terlalu risau jika keluar dari hotel hanya memakai rompi saja. 
Sore yang sering berkabut dan hujan
Coba saja kalau kondisi begini terjadi di bulan Mei sampai dengan Agustus, mungkin aku tidak akan berani keluar dengan baju seperti itu. Meski hawa lebih hangat, tetap saja air yang mengalir dari kran kamar mandi serasa air es yang dicairkan. Jadi tetap saja pagi-pagi aku, Angga dan Putra teriak-teriak cari om Sipri yang menjaga hotel Kembang untuk minta disiapkan air panas. Wal hasil, mandi pagi dengan air panas menjadi rutinitas tiap hari, tapi cukuplah mandi sekali sehari. Malas juga kalau harus minta dibuatkan air panas sore hari.
Menu kopi pagi dan sore hari juga menjadi kebiasaan tersendiri jika di Bajawa. Memang aku sendiri tidak minum kopi tiap hari, namun aku mengambil setengah cangkir kopi pagi kadang-kadang. Aroma kopi yang sedap membuatku membiarkan aku keluar dari kebiasaanku, toh tidak setiap hari kulakukan. Jangan tanya Angga, bahkan dia bisa membawa satu termos kopi untuk diminum semalaman. Tak heran jika dia sering tidur di atas jam dua belas malam. 


Berita buruknya aku menjadi tak bisa keluar hotel untuk sekedar jalan-jalan, padahal aku berniat untuk kembali memotret sungai Waewoki yang aliran air sungainya mengelilingi sebagian kota Bajawa. Angga sendiri berminat untuk bisa mengunjungi kampung Bena. Aku juga mau kembali melihat air terjun Ogi. Putra tidak ada rencana karena memang dia baru sekali ini penugasan kesini sehingga tidak punya gambaran mau kemana. 
Setiap pagi, untuk memanaskan kameraku aku akhirnya lebih sering memotret di sekeliling hotel. Kebetulan bagian belakang hotel banyak dipenuhi tumbuhan merambat yaitu tanaman labu jepang dan ubi rambat, sehingga banyak sekali serangga seperti kutu, kepik, tawon juga bekicot namun yang berukuran kecil.
Yah, kegiatan kecil ini cukup menghiburku saat menunggu kendaraan yang menjemput kami datang. Kadang kalau sedang keasyikan berburu binatang-binatang kecil ini aku sampai harus diingatkan Angga bahwa kendaraan sudah menunggu.
Sampai akhir penugasan aku dan teman-teman tidak juga mendapatkan kesempatan. Akhirnya kami mencoba berspekulasi untuk mencoba mampir ke air panas Mengeruda di Soa yang berada satu arah dengan bandara. Kebetulan pesawat dari Bandara Soa ke Kupang berangkat jam 10.20 WITA, sehingga jika kami berangkat pagi-pagi kami dapat ke sumber air panas itu setengah atau satu jam cukuplah.
Hari Sabtu pagi cuaca cerah, kami sendiri sudah selesai berkemas-kemas. Namun celakanya acara makan soto pagi ini justru yang batal karena soto telah habis padahal itulah hal pertama yang harus kami lakukan jika hendak berendam di air panas. Dulu waktu pertama kali kesini, ada kejadian buruk menimpa teman kami. Selesai berendam dia pusing dan lemas sekali karena sebelumnya tidak makan. Mungkin karena sudah terlalu lemas sekembalinya ke hotel dia sempet sakit sampai muntah-muntah. Untunglah pagi ini ada tukang bubur lewat, semangkuk bubur kacang hijau campur ketam hitam langsung mengisi lambung kami.

Air Panas Mengeruda, SoA
Jam setengah delapan, aku berempat dengan Angga, Putra dan pak Joko mulai keluar hotel. Setelah kenyang dengan bubur dan roti tentunya. Dul sendiri yang menyetir kendaraan Innova, sehingga kendaraan bisa diambil dengan memotong jalan. Aku kurang tahu persis dari titik mana dia memotong jalan tapi lumayan juga waktu yang dihemat. Jam delapan lewat sepuluh menit kemudia kami telah sampai di pelataran parkir.
Sungai pertemuan air panas dan dingin
Hal pertama yang tampak adalah tempat ini sangat sepi bahkan penjaga pintu masuk dan petugas penjual tiket tidak ada sama sekali. Deretan tempat berjualan juga belum berisi satu penjual pun, padahal sudah jam delapan. Di depan pintu masuk dengan jelas terpampang jam buka lokasi jam 07.00 - 19.00. Kalau boleh dibilang ada penjaga, maka itu seekor anjing hitam yang sedang nyenyak tertidur di depan pintu gerbang sebelah kanan.
Untungnya pintu gerbang sebelah kiri masuk. Daripada menunggu penjaga gerbang, kami memutuskan masuk lewat gerbang kiri dengan pertimbangan nanti uang masuk bisa dibayar saat kami kembali.
Terlihat sudah ada beberapa bangunan baru yang berdiri dibanding beberapa waktu dulu aku kesini pertama. Namun sayangnya, justru beberapa bangunan lama banyak yang rusak. Rupanya masalah pemeliharaan memang menjadi momok bagi pemerintah daerah. Kegiatan pemeliharaan yang seharusnya lebih diutamakan sepertinya malah justru yang seringkali mendapat perhatian terakhir.
Kami berlimalah rombongan pertama dan sepertinya satu-satunya. Menurut pak Dul, memang pemandian air panas Soa ini hanya ramai di hari libur itu pun tidak pagi-pagi tapi siang dan sore harinya.
Pemandian Soa bagian tengah yang paling panas
Angga langsung memilih masuk ke kolam di tengah, sebuah cekungan yang berbentuk lingkaran yang sudah disemen di sekelilingnya, bagian tepat dimana sumber air panas itu muncul. Perjalanan sebelumnya aku menghindari bagian kolam yang di tengah ini karena menurutku memang panas sekali. Karena Angga sudah masuk terlebih dahulu akhirnya aku ikut masuk juga yang disusul pak Joko, sedangkan Putra memilih tidak mandi dan hanya mencelupkan kakinya saja. Air di sini awalnya terasa panas sekali dan bau belerang juga tercium walau tidak terlalu kuat, tapi setelah masuk ke dalamnya beberapa saat akhirnya tubuhku bisa menyesuaikan diri. Hampir lima belas menit kami berendam di sini, lalu kami mencoba pindah ke bawah. Jadi dari cekungan tengah ini, air mengalir ke bawah menuju ke sungai. Nah di bagian turunan bawah sini terjadi pertemuan air panas yang berasal dari cekungan dan air sungai yang dingin. Air panas yang turun terasa kencang sekali menunjukkan kalau saat ini memang debit air panas sedang tinggi. Mungkin itulah suhu bagian tengah tidak sepanas pada saat debit airnya tidak sebesar saat ini.
Aku baru merasakan lemas saat ganti baju, padahal aku hanya berendam tak lebih dari setengah jam. Untung saat di luar, aku melihat ada warung kecil yang sudah buka. Jam sembilan kami mulai meluncur untuk check-in di bandara. Sambil menunggu check-ini aku, pak Joko dan Dul mencari makan di sekitar bandara. Semangkuk soto Lamongan membuat tenagaku terasa kembali, padahal dari tadi aku merasa lemas terus walau sudah minum di warung di depan pemandian.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 29 Januari 2013

Melihat Kembali Gasing "Mainan Yang Nyaris Hilang"

Seorang anak melemparkan gasing ke arah gasing yang ada, yang terlempar dan berhenti kalah.
Bulan November kemarin aku mengunjungi kembali kota Waikabubak, ibukota dari kabupaten Sumba Barat. Sebenarnya tujuan tugasku kali ini adalah ke Waibakul, kota dari kabupaten Sumba Tengah. Sayang di Sumba Tengah baru ada satu tempat menginap yaitu wisma pemda yang saat itu baru penuh karena sedang digunakan untuk acara diklat. Akhirnya aku harus mencari hotel di Waikabubak. Untungnya jarak ke dua tempat itu tak terlalu jauh hanya setengah jam perjalanan dengan kendaraan. Jalannya pun tak banyak tikungan tajam.

Cuaca seminggu ini juga kurang mendukung, nyaris mendung tiap hari menyelimuti kota Waikabubak praktis aku tidak bisa keluar berjalan-jalan seperti biasa. Alasan utama kenapa dua bulan ini mandek menulis.

Tapi dua hari terakhir tampaknya awan tidak semendung biasanya jadi aku mencoba berjalan sedikit jauh ke arah luar kota. Tapi lagi-lagi cuaca memang tidak bisa diduga. Keruan saja aku harus kembali balik ke hotel saat tiba-tiba rintik-rintik hujan turun begitu saja padahal awan tidak terlalu tebal.

Dalam perjalanan balik aku memutuskan untuk singgah sebentar ke arah kampung Tarung, karena hujan mulai berhenti lagi. Kampung Tarung sendiri juga cukup rimbun dengan pohon-pohon besar di sekeliling kampung jadi mudah bagiku untuk berteduh sekiranya hujan datang lagi. Kali ini aku sengaja berjalan tidak masuk ke dalam perkampungan tapi berjalan mengitari kampung. Berbeda dengan jalan masuk ke kampung yang tidak boleh dilewati sembarangan, jalan melingkar mengitari kampung masuk jalan umum. Setahuku kemarin saat pertama kesini, jalan melingkar ini tembus ke arah pasar Waikabubak. Jalan ini menanjak naik. Sekedar informasi, kampung-kampung adat asli Sumba dibangun di atas bukit sementara sawah-sawah dan gembalaanlah yang ada di padang-padang datar.

Di sebuah jalan setengah perjalanan aku berhenti, dari tempat aku berdiri tampak pemandangan persawahan di bawah sampai dengan di kejauhan. Cukup luas juga sawah di Waikabubak. Sayang matahari senja masih senang bersembunyi di balik gumpalan awan-awan berwarna kelabu.

Beberapa kerbau tampak digiring masuk pemiliknya masuk ke atas kampung Tarung. Sepertinya hendak dimasukkan kandang. Kerbau-kerbau bertanduk besar merupakan ternak kebanggaan bagi orang Sumba. Upacara-upacara penting seperti perkawinan, kematian, acara bangun rumah adalah acara-acara yang akan melibatkan kerbau baik sebagai daging untuk dimakan atau dipersembahkan sebagai alat tukar (belis dalam adat perkawinan Sumba). Dari ukuran tanduk-tanduk yang besar menjulanglah dapat dihitung kira-kira berapa nilai jual kerbau itu.

Beberapa puluh meter terdengar keramaian anak-anak. Saat aku naik ke atas kampung tampak beberapa anak berkumpul di tengah lapangan kampung. Tampak benda berwarna kuning kayu berputar di tengah mereka. Lalu seorang anak yang memegang sebuah benda berbentuk kerucut di bawah dan sebuah lekukan untuk menggulung tali melemparkan benda itu sambil menarik ujung tali sehingga benda itu berputar cepat meluncur ke arah benda berputar diam. Sayang lemparan itu hanya nyaris mengenai sehingga sekarang di arena tampak tiga buah benda berputar.

Inilah permainan "gasing", sebuah permainan yang nyaris tidak akan ditemui lagi di kota-kota besar. Namun di sini, gasing masih menjadi permainan yang sering dimainkan anak-anak. Gasing di sini berbahan kayu yang rata-rata dibuat oleh mereka sendiri. Setelah memilih kayu dengan ukuran yang sesuai mereka akan meruncingkan ujung kayu hingga berbentuk kerucut dengan membuat lekukan ke dalam untuk tempat memutar tali. Tali yang sebagian dibuat dari tali nilon dan sebagian dibuat sendiri dengan akar kayu digunakan sebagai alat yang akan membuat gasing ini berputar.

Mereka makin semangat waktu aku mengabadikan permainan mereka. Masing-masing mencoba menunjukkan kemampuannya untuk membuat gasing lawan terpental. Ada seorang anak yang tidak berbaju yang tampaknya paling jago, gerakan tangannya cepat sehingga membuat gasing yang terlempar berputar sangat  cepat sehingga saat gasing dengan telak menghantam gasing lawan langsung membuat gasing lawan terlempar dan berhenti berputar.

Aku menikmati momen melihat mereka asyik bermain gasing. Sebuah permainan yang juga pernah kumainkan waktu kecil. Sepertinya tahun 95-an permainan ini sudah sulit di temui terutama di daerah Jawa kecuali mungkin di desa-desa yang masih jauh dari kota.

Suatu ketika nanti mungkin permainan gasing juga akan hilang disini, mungkin generasi berikutnya akan lebih suka bermain yang lebih berteknologi dan gasing tiba-tiba saja menjadi benda aneh.

Ah, tiba-tiba saja aku ingin bernostalgia ke kampungku dulu.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 Januari 2013

"Mbela" Jiwa Sang Ksatria Nagekeo

Hamparan tropis yang membentang dari sabang sampai merauke adalah mutiara yang terkandung dalam ibu pertiwi. Mutiara inilah yang selalu di junjung dan senantiasa dilestarikan setiap generasi. Disinilah, keragaman budaya masing-masing daerah kerap menjadi malaikat pelindung mutiara alam raya nusantara. 

Seperti halnya suku Mbare di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat suku Mbare, tanah, air dan seluruh kandungan yang terdapat didalamnya adalah warisan leluhur yang pantang untuk ditentang. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan alam selalu disertai dengan ritual adat. Jadwal prosesi adat saban tahun harus dipatuhi, sebab itu menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut termasuk pula berburu. Lewat prosesi pula, etnis Mbare lebih waspada menghadapi bencana atau malapetaka. Jika mengingkari aturan adat, mereka yakin musibah bakal melanda. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka sejak ratusan tahun silam.

 Salah satu tradisi suku Mbare yang tak lekang ditelan waktu adalah Mbela, sebuah prosesi tinju adat sebagai luapan rasa syukur atas hasil panen mereka. Pergelaran Mbela adalah puncak dari segala bentuk ritual adat yang dilangsungkan dalam setahun. Jika dikaitkan dengan kelender adat, Mbela biasanya dilaksanakan pada musim kemarau sesudah panen. Tradisi Mbela disertai juga dengan prosesi lain yang dapat menentukan jadwal tanam, melaut sampai berburu. Disinilah, tetua adat melihat pertanda akan baik buruknya kondisi alam maupun keberlangsungan hidup dalam suku dikemudian hari. Setidaknya, ini adalah rambu bagi warga Mbare untuk lebih waspada dengan alam maupun sesamanya.

Menjelang prosesi Mbela, masyarakat suku Mbare harus meninggalkan seluruh akifitasnya. Irama gong yang dipukul bertalu-talu memecah kesunyian malam, berkumandang mengajak seluruh warga suku berkumpul dalam kampung adat.
Mbela, bukanlah perkelahian jalanan. Ini adalah tinju murni warisan leluhur, yang dilakukan sejumlah suku di Nagekeo secara bergiliran sesuai peredaran bulan. Walaupun beberapa suku dikawasan kecamatan Boawae kabupaten Nagekeo menyebut tinju adat ini dengan Etu, seluruh prosesnya tidak jauh berbeda.
Pada setiap ajang pertarungan, lelaki Mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan perintah untuk memasuki arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi sampai menolak. Demi harga diri sebagai seorang ksatria, sang lelaki tak boleh gentar. Mereka harus menjadi lelaki sejati meski wajah babak belur.

Lelaki yang lahir dalam suku Mbare, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Dari belia, ritual Mbela sudah begitu akrab dengan mereka. Tak heran, ksatria cilik turut hadir menguji ketangkasan dalam pentas adu fisik ini. Inilah sebuah nilai kepercayaan suku Mbare yang ditanam kepada warganya semenjak belia. Tak ada urusan dengan rasa takut, para lelaki dan bocah Mbare paham betul menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah dan dendam berlarut-larut.
Dalam Mbela, sang petarung menggunakan gwolet, sebagai alat meninju lawan yang terbuat dari lilitan nilon jala ikan dan didalamnya berisi tulang batang daun lontar. Ujung gwolet dilengkapi pula dengan butiran pasir yang direkatkan dengan getah pohon ara. Sudah tentu yang terkena pukulan gwolet, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya, rasa sakit ataupun darah yang mengucur demi adat adalah penghormatan pada warisan leluhur.
Aksi petarung membakar emosi penonton diluar arena
Arena Mbela. Disinilah aksi sang ksatria lelaki Mbare mempertahankan warisan leluhur
 Penulis: Yanto Mana Tappi
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 15 Oktober 2012

Menangkup Riak di Pulau Kera

Keindahan pasir putih dan pantai jernih pulau Kera
Sudah lama sekali sebenarnya keinginanku untuk sampai ke pulau Kera. Godaan ingin ke sana awalnya muncul saat bermain di pantai Ketapang Satu di depan kantor cabang Bank BNI. Saat laut surut dan tenang, dari kejauhan tampak selarik garis putih jelas sekali. Dari pesawat pun, penampakan pulau Kera begitu menggoda mata. Sebuah onggokan pulau yang dikelilingi pasir putih dan warna hijau dan tosca air laut mengelilingi daratan. 

Itu sudah beberapa bulan yang lalu, sampai kemudian ada kabar dari teman-teman di FI Regional NTT yang berencana akan merayakan ulang tahun keberadaan FI dengan hunting foto di pulau Kera. Agak bimbang sebenarnya mengingat deadline waktu pendaftaran seminggu sebelum keberangkatan. Jelas bukan hal mudah bagiku mengiyakan karena penugasan keluar kota nyaris tak bisa diprediksi.

View dari atas kapal waktu mendekat ke pulau
Untung seminggu sebelum keberangkatan, besar kemungkinan aku akan tetap penugasan di dalam kota sehingga akhirnya kuputuskan untuk mengikuti event yang digelar pak Kris dan teman-teman dari FI Regional NTT. Menurut panitia yang menyusun acara ini peserta yang berangkat ada 50 orang, naik 5 orang dari jumlah awal yang dibatasi hanya 5 orang saja.

Pada hari H-nya, Yoas sama Bembim yang sudah janjian sehari sebelumnya waktu hunting foto di Nunsui menjemputku datang pas jam 5 pagi. Cukup pagi untuk bangun, namun tidak cukup pagi untuk mengejar matahari terbit di pulau Kera. Kami ngumpul dulu di Dunel seperti kesepakatan awal karena memang tidak semua teman-teman yang ikut tahu persis lokasi pelabuhan Polair yang ada di Bolok. Dari Dunel beberapa teman yang menggunakan motor memilih ikut bareng Yoas, sekitar jam 5.20 WITA barulah kami meluncur ke bawah menuju ke  Bolok.

Rencananya kami akan menggunakan dua buah kapal milik Polair. Satu kapal berbentuk mirip ferry roro yang bagian depannya tidak lancip tapi ada pintu yang bisa dinaik turunkan, jenis yang biasanya digunakan untuk mengangkut kendaraan/barang. Hampir jam tujuh barulah kapal-kapal kami meluncur membelah selat yang berada diantara pulau Timor dan pulau Semau. Matahari sudah beranjak naik, dengan jarak tempuh sekitar setengah jam lebih dari Bolok maka sudah pasti kami tak akan bisa mendapatkan matahari pagi.

Peserta 50 orang ini lebih didominasi kaum adam, beberapa kaum hawa memang ikut tapi tidak banyak. Itupun ada beberapa orang yang memang ikut untuk sesi hunting foto model. Hal baru aku ketahui belakangan. Sepertinya aku tidak cukup siap dengan sesi ini, karena memang dari awal tujuanku kesini untuk melihat langsung pulau Kera. Sehingga dua lensa yang aku bawa dua-duanya adalah lensa lebar.

Teman-teman FI Regional NTT berpose bersama di pulau Kera
Beberapa ratus meter memasuki kawasan perairan pulau Kera, air yang bening menampakkan pemandangan bawah laut yang begitu jernih. Terumbu-terumbu karang masih hidup subur di daerah ini. Paduan langit yang membiru, pasir putih yang memanjang dan air jernih berwarna hijau dan tosca membuat paduan alam yang begitu menarik. Karena belum terlalu surut satu kapal bisa merapat hampir ke bibir pantai, sementara kapal satunya tak bisa merapat sehingga hanya merapat ke kapal satunya saja.

Memotret perahu yang berlabuh di pantai
Setelah acara makan pagi dan beberapa acara pembuka seperti pemotretan teman-teman FI di lokasi untuk dokumentasi acara, aku, Yoas dan Soni memilih untuk memutari pulau yang tidak terlalu besar ini. Teman-teman FI di acara ini mengusung tema: Lost in the Exotic Island, menurutku cukup pantas pulau ini menyandang sebagai predikat Exotic Island. Hamparan pasir putih yang halus mengelilingi seluruh pulau. Itupun belum lagi kalau mau masuk ke dalam laut untuk melihat terumbu-terumbu karang yang menurut Yoas paling banyak ada di sisi barat dan utara pulau.

Tak seperti yang pernah dikatakan pemda bahwa pulau Kera ini adalah pulau kosong dimana penghuni yang ada hanya penghuni sementara yang menunggui bagan atau keramba, ternyata aku menemui banyak rumah-rumah darurat namun memang benar-benar untuk hunian dan bukan sekedar rumah untuk menjaga keramba. 

Rumah-rumah penduduk pulau Kera, masih darurat
Kondisi rumah-rumah di sini cukup memprihatinkan karena gubuk-gubuk dari batang bebak yang dibangun jarang yang utuh namun masih harus ditutup di sana-sini entah menggunakan kain terpal, plastik, seng, apa saja asal dapat menutupi dinding-dinding yang berlubang. Di bagian tengah oleh masyarakat dibangun sebuah musholla sederhana jika tak ingin dibilang memprihatinkan juga. Menurut salah seorang penduduk, di pulau ini didiami sekitar 100 jiwa termasuk anak-anak. Beberapa rumah memang sudah ada yang memiliki sendiri listrik dari panel tenaga surya yang terpasang, namun beberapa menggunakan mesin genset yang digunakan bersama. Pola seperti ini juga aku temui di beberapa pulau di kawasan NTT, biasanya mesin genset ini hanya dihidupkan dari sore hari sampai malam selain untuk aktivitas malam termasuk menonton televisi. Nanti pada jam 9 malam (kadang-kadang bisa lebih kalau ada acara tv yang menarik seperti sepakbola) mesin genset ini dimatikan dan pulau ini akan benar-benar gelap.

Anak-anak di pulau Kera
Untuk kegiatan mandi sehari-hari, penduduk di pulau Kera menggunakan air sumur yang mereka bangun tak jauh dari musholla. Air ini masih payau sehingga memang hanya digunakan untuk kegiatan MCK saja, sedangkan untuk minum dan masak mereka biasanya mengambil air dari daerah Kelapa Lima atau Pasar Oeba. Satu jerigen besar biasanya mereka membayar dua ribu rupiah.

Pohon-pohon di pulau ini tidak ada yang tumbuh benar-benar besar, seperti kondisi tanah yang dipenuhi pasir membuat pohon tidak bisa tumbuh maksimal.

Tak sampai satu jam, aku, Yoas, Radith dan Sony habis mengelilingi pulau kecil ini. Dari pagi suhu di sini sudah terasa panasnya, apalagi ketika mulai menjelang siang hawa panas terasa menyengat. Aku, Yoas dan Radith sempat berteduh di bawah sebuah bangunan kecil yang digunakan sebagai menara mercusuar.

Saat aku kembali dari berkeliling, rupanya sesi pemotretan model sudah selesai dan masing-masing sudah mulai berburu obyek masing-masing. Acara makan siang  adalah acara bakar ikan, kasihan juga melihat teman-teman membakar ikan di siang yang terik begini. Angin yang kencang sempat membuat tenda darurat kami hancur, dimulai dari sobeknya bagian atas karena tidak kuat menahan tekanan angin. Alhasil, acara makan harus dilakukan di tenda darurat yang lebih sempit.

Berburu ikan lele laut dengan tombak dan racun pohon Tuba
Awalnya aku dan Yoas berencana untuk kembali siang ini karena memang rencananya ada sebagian teman yang berniat untuk pulang siang. Namun entah karena apa akhirnya malah tidak ada yang kembali siang. Dengan terpaksa aku harus ikut rombongan karena memang tidak mungkin aku kembali hanya beberapa orang saja, minimal harus 20 orang agar kapal yang kembali tidak perlu harus balik lagi. Cukup lelah sebenarnya menunggu sampai sore sementara panas begitu terasa menyengat. Karena itulah aku tidak ikut saat teman-teman FI mengadakan acara bakti sosial ke warga pulau ini. 

Menjelang sore, beberapa teman mulai lagi sesi pemotretan model karena laut mulai surut. Lagi-lagi aku lebih tertarik dengan kerumunan anak-anak yang ada di kejauhan. Rupanya mereka sedang memburu ikan di celah-celah karang. Yang unik mereka dengan mudah menombak ikan-ikan seperti lele itu. Sudah beberapa ikan yang mereka tombak namun ikan-ikan yang lain tidka tampak lari seperti biasanya kalau aku mengejar ikan. Rupanya sebelum mereka menombak anak-anak ini memasukkan sebuah kayu yang mereka sebut batang kayu  Tuba. Batang kayu Tuba yang telah ditumbuk-tumbuk supaya mengeluarakan getah beracun ini jika dimasukkan di air  membuat ikan-ikan menjadi teler. Pantas saja mereka bisa mendapatkan begitu banyak ikan dengan menombak. Tak kurang, lebih dari 60 ikan seperti lele dengan garis-garis gelap mereka tangkap. Pantai ini memang selain eksotis juga masih kaya dengan ikan dan binatang laut lainnya. Di sini sebenarnya juga ada penyu tapi tidak setiap saat bisa ditemui, juga beberapa burung yang bermigrasi biasanya singgah disini.

Menombak ikan yang teler
Dari informasi ini baru aku tahu juga, kalau nama pulau Kera ini bukan berarti monyet karena orang ntt kalau menyebut monyet itu kode. Nama Kera itu rupanya berasal dari kata Kerang yang lama-lama kehilangan huruf sengau 'ng'-nya. Mungkin ini dari penyebutan orang-orang bajo penghuni pulau ini yang biasanya menyebut 'ng' di bagian belakang kata menjadi 'n'.

Sekitar jam 5 sore kami kembali namun terjadi masalah kecil karena terlalu surut kedua kapal tidak bisa ke pinggir. Alhasil kami semua harus mengalah dan berjalan agak ke tengah agar bisa naik ke atas perahu. Dengan ketinggian sedalam pinggang, mau tidak mau aku harus melepas seluruh peralatan termasuk rompi dan aku taruh di atas pundak untuk menghindari terkena air laut. Perjalanan kembali kali ini lebih lambat, sehingga dari atas kapal kami bisa menikmati pemandangan matahari yang bulat tenggelam di ufuk barat dibawah bayangan pulau Semau. Namun sesampainya di darat kami baru mendapatkan alasan mengapa perahu kami lebih lambat. Awalnya kukira karena ombak yang membuat perahu harus berjalan pelan, ternyata bukan namun karena mesin kapal kami mati satu. Wah, pantas saja tiba-tiba nahkoda kapal meminta sebagian teman berpindah ke kapal satunya yang lebih kecil rupanya itu jawabannya. Untuk hal itu baru aku ketahui belakangan, seandainya hal itu diketahui dari awal, bisa menimbulkan kehebohan karena banyak diantara teman-teman yang ternyata tidak bisa berenang.

At least, congrats buat Fotografer Indonesia Regional Nusa Tenggara Timur buat acara perayaan ulang tahun pertamanya dengan acara hunting di pulau Kera ini. Tanpa acara kalian mungkin masih lama aku mewujudkan impian untuk menginjak tanah ini. Walaupun setelah ini sepertinya akan acara perjalanan kedua ke pulau Kera karena seorang teman yang memiliki perahu sudah menawarkan untuk perjalanan ke sana.

Sekarang baru membangun rencana baru untuk ke pulau Semau dan pulau Tikus.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 14 Oktober 2012

Matahari di Paradiso

Suasana di pantai Paradiso saat air pasang
Melihat matahari terbenam di horison laut, kamu akan mendapatkan view ini dengan mudah di banyak tempat di Kupang karena sebagian pantai di Kupang memang menghadap sisi utara dan sisi barat. Dari pantai Lasiana yang merupakan pantai yang paling banyak dikunjungi masyarakat Kupang, walaupun lebih banyak orang berkunjung pagi sampai siang hari namun tempat ini merupakan pilihan yang asyik untuk melihat matahari terbenam. Pantai Nunsui, pantai Teddy's yang terletak di kawasan Kupang Lama, dan beberapa pantai lain termasuk pantai di kawasan Tenau, pantai Tablolong semuanya menawarkan view matahari yang tenggelam di horison barat.

Pagi di Pantai Paradiso
Tapi jika ingin melihat view pagi untuk melihat maka pantai Paradisolah tempatnya. Dari pantai ini bisa terlihat pantai Nunsui dan pantai Lasiana, dari balik sananya matahari pagi muncul langit pagi dan memendarkan kristal-kristal cahaya di riak air laut.

Aris yang menawarkan aku untuk sekali-kali hunting pagi di Kupang di pantai Paradiso. Sayang pada hari H yang sudah disepakati ternyata laut surut sehingga akhirnya aku dan temen-temen lain berpindah lokasi hunting.

Justru istrikulah yang menunjukkan lokasi pantai Paradiso. Jadilah waktu sore hari aku mengajak berburu foto dengan istriku ke pantai itu, dan ternyata lokasinya tidak jauh. Dengan mengambil jalan melewati perumahan Pasir Panjang dengan cepat tak lebih dari sepuluh menit aku sudah sampai di pantai Teluk Kupang. Dari kawasan Teluk Kupang yang sudah mulai kehabisan pantai karena telah dipenuhi cikal bangunan-bangunan gedung bertulang motor hanya membutuhkan beberapa menit untuk sampai di pertigaan setelah hotel (aku lupa namanya) dan masuk ke arah kanan. Sekitar setengah kilometer masuk ke dalam maka sampailah ke jalan menurun tajam menuju ke pantai Paradiso. 

Pantai Paradiso bukanlah pantai wisata namun hanya pantai biasa. Pantai Paradiso juga lebih banyak dipenuhi karang-karang. Sebuah pohon tunggal berdiri dengan bentuk meninggi menjadi salah satu penanda pantai Paradiso. Ombak di pantai ini tidak besar, cukup tenang malahan karena memang lokasi berada di bagian lekuk ke dalam Kupang. Itulah mengapa posisinya berseberangan dengan pantai Lasiana.

Kunjungan sore pertama di pantai Paradiso itulah yang membuat aku tahu bahwa pantai ini lebih tepat untuk dikunjungi pagi hari, walaupun tidak ada yang salah jika mengunjungi pantai ini di waktu sore.


Pantai yang dekat dengan kota Kupang ini bisa menjadi alternatif karena belum banyak yang mengunjungi pantai ini, tiga kali aku datang di pantai ini hanya menemui beberapa orang saja. Nelayan-nelayan yang baru pulang dari melaur, pasangan berpacaran, dan beberapa orang setempat yang datang sekedar bermain di pantai.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 29 September 2012

Pagi di Pantai Mali, Alor

Suasana pagi yang berawan di pantai Mali
Penerbangan ke Alor seperti sebuah perjalanan menengok sebuah tempat yang lama sekali pernah aku kunjungi. Kira-kira tahun 2008, sekitar empat tahun lalu aku pernah bertugas cukup lama juga kesini lebih dari tiga bulan. Istilah teman, sudah bisa membuat KTP di Alor hahaha...
Kabut pagi di perbukitan dari atas pesawat
Alor adalah sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang juga merupakan pulau sendiri.
Lima puluh menit penerbangan dengan sebuah pesawat propeler berlalu tak terasa karena selama perjalanan aku nyaris lebih banyak tidur. Enaknya penerbangan pagi adalah bisa menikmati perbukitan berwarna hijau kebiruan yang masih tertutup kabut-kabut tipis. Pemandangan itu tergambar jelas saat pesawat melintasi kawasan Alor Besar. Sayang kaca pesawat sudah tidak bersih, banyak coating yang terlepas sehingga kotor.
Pesawat turun di Bandara Mali, yang berada di sisi Timur bagian kepala pulau Alor. Perjalanan menuju ke Kalabahi pusat kota, mataku disambut dengan pemandangan pantai daerah Mali yang berpasir putih bersih dan air laut yang berwarna kehijauan. Rasanya ingin turun sebentar untuk menikmati view ini, tapi tentu saja hal itu tak mungkin bisa kulakukan karena aku hari ini berkejaran dengan waktu untuk ikut pembukaan acara diklat untuk seminggu ini. Untuk jalan dari Mali sampai Kalabahi sudah halus dan lebih lebar tidak seperti empat tahun lalu yang penuh dengan lubang, cukup parah kerusakannya untuk ukuran jalan negara. Selain dari jalan itu suasana lain nyaris tidak banyak berubah.
Laut Mali di siang hari, warna hijau bening laut berpadu biru langit
Kesempatan mengunjungi Mali datang pada hari besoknya pas giliran aku harus menjemput pimpinan kantor. Saat aku sampai di bandara ternyata pesawat masih belum tampak, aku mengusulkan ke Buna yang mengantarku untuk mampir sebentar ke pantai Mali yang berada di dekat Bandara. Di daerah yang jarang penerbangan, kedatangan pesawat mudah ditandai yaitu dari bunyi sirine panjang dari bandara, dari situ kita tahu bahwa menara telah mendapatkan kontak dari pesawat untuk pendaratan biasanya sekitar 15 menit sebelum pendaratan. Buna mengantarku ke sebuah area wisata yang baru dibangun yang dulunya dijadikan tempat wisata pantai Mali. 
Awan berarak yang terkena biasa cahaya pagi
Dinding beton talud pengaman pantai dibangun memanjang justru mengurangi area pasir yang langsung terhubung ke laut, sayang sekali. Yang juga sangat disayangkan juga adalah adanya beton-beton berbentuk kubus yang dipasang berderet sebagai pemecah ombak. Untuk pantai dengan view indah seperti ini akan jauh lebih baik seandainya beton pemecah ombak bukan berbentuk kubus tapi seperti kaki tiga kecil-kecil yang seperti dipakai di beberapa pantai. Setauku dengan pemecah jenis seperti itu lebih efektif karena bentuk kaki tiga ini jika dimasukkan ke dalam laut akan saling mengikat namun membuat rongga seperti halnya karang jadi ombak tidak dihadang langsung namun dikurangi kekuatannya. Jadi penahan gelombang sekaligus mempercantik view pantai bukan malah justru mengurangi keindahan pantai.
Kebetulan pula ternyata Aris Winahyu yang seorang landscaper (sebutan untuk penghobi foto yang lebih menyukai dan mendalami foto pemandangan alam) lagi ada di Kalabahi. Aris ini pernah bertugas di Alor jadi pasti banyak tahu tentang lokasi di Alor. Karena ternyata kita menginap di hotel yang sama sehingga kita sempat ketemuan, sehingga muncul ide untuk memotret pemandangan saat matahari terbit di Pantai Mali.
Hari Kamis pagi, aku dan Aris berangkat jam lima kurang beberapa menit dini hari dengan kendaraan yang berhasil aku pinjam. Penghuni hotel lainnya masih asyik tidur dibuai mimpi saat kendaraan yang aku kendarai keluar hotel. Jalanan juga masih tampak lenggang saat kendaraan membelah jalan Kalabahi ke Timur menuju ke pantai Mali.
Sebenarnya waktu kedatangan kami cukup tepat saat matahari masih dibawah ufuk, sayang di horison masih tertutupi awan yang tebal sehingga matahari tidak nampak sama sekali. Hanya warna kekuningan yang tampak di barisan awan tipis tinggi yang menunjukkan bahwa matahari sudah keluar, selebihnya langit lebih didominasi warna abu-abu.
Sebenarnya aku sempat berhenti di perkampungan Mali yang rencananya untuk memotret perahu. Walaupun tempatnya menarik, sayang saat itu arus air agak kuat sehingga perahu bergoyang-goyang tidak tepat untuk memotret di pagi hari. Akhirnya aku dan Aris sepakat memotret kembali ke lokasi semula aku pertama kesini.
Untung lokasi ini masih dalam wilayah pembangunan sehingga belum dibangun pembatas sehingga mudah bagiku masuk ke dalam area. 
Senja di pantai Kalabahi dekat dengan pelabuhan Pertamina
Saat itu laut sedang surut walaupun bukan puncak surut sehingga masih bisa turun di bawah talud penahan abrasi. Namun agak sayangnya matahari pagi tetap tidak mau menunjukkan diri sampai jam setengah tujuh, saat kami berdua harus mengemasi peralatan untuk kembali.
Sebenarnya ada lokasi yang menarik lain di Mali yaitu di bagian seberang bandara, tapi sepertinya harus dilakukan lain waktu karena saat ini pun waktuku terbatas.
Saat jam setengah tujuh aku kembali ke Kalabahi, kabut tipis tampak membayang. Aku jadi teringat sebuah lokasi yang pernah aku kunjungi pagi-pagi bersama Yanti, yaitu pantai Kadelang. Lokasinya tepat di belakang pasar Kadelang. Biasanya pagi begini ada aktivitas perahu-perahu yang datang membawa muatan dari Alor Besar karena memang lebih dekat ditempuh menggunakan perahu daripada jalur darat. Suasana pantai Kadelang dan aktivitas pasar serta kabut-kabut tipis yang membentuk siluet perbukitan menjadi view yang sangat menarik. Kadelang sendiri berada di ujung teluk yang merupakan bagian leher Alor.
Foto tahun 2008: suasana pagi di pantai Kadelang
Jika kuamati dari pesawat, ada satu tempat yang sepertinya menarik yaitu di bagian tanjung dari kepala pulau Alor, lokasi yang bisa aku kunjungi suatu saat nanti, juga tentang terumbu-terumbu karang di Alor yang telah menjadi destinasi favorit bagi para turis. 
Terima kasih buat Aris Winahyu yang telah mau mengajak hunting matahari pagi di pantai Mali, semoga jika ada kesempatan kita bisa hunting lagi. Paradiso masih menunggu janji lho dab hahahaha......
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya