Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 24 Juli 2012

Labuan Bajo: Melangkahi Daratan

Kembali lagi ke Labuan Bajo paling tidak selama seminggu harus mendekam di hotel lagi. Waktu yang cukup singkat mengingat jadwal kegiatan yang padat sehingga sampai beberapa belum tahu mau merencanakan perjalanan kemana yang tidak mengganggu jadwal. Jangan bilang berenang atau melihat Komodo deh.
Sepertinya bakal menghabiskan waktu seminggu ini di hotel saja sampai kemudian teman-teman dari Manggarai menawarkan perjalanan ke air terjun Cunca Wulang, sebuah air terjun yang terletak tidak begitu jauh dari Labuan Bajo. Namun sebelum ke air terjun, aku dan Kadek sempat juga mengunjungi Gua Batu Cermin walaupun kedua tempat itu kita kunjungi pada waktu yang kurang tepat.

Gua Batu Cermin
gua batu cermin
Pintu masuk ke atas menuju Gua Batu cermin
Sekitar hari Sabtu acara selesai jam 4 sore, Vian menawarkan jalan ke Gua Batu Cermin yang letaknya masih di sekitaran Labuan Bajo. Sebenarnya sudah beberapa kali aku ingin ke gua itu hanya entah kenapa belum-belum juga. Kesempatan baik walau secara waktu kurang tepat. Sebelumnya aku sudah mendapat cerita bahwa waktu terbaik ke gua itu adalah siang hari tepat dimana sinar matahari dapat masuk dari lorong bagian atas dan dinding-dinding gua yang berkilauan memantul-mantulkan cahaya layaknya cermin. Tak apalah, setidaknya aku mengenal dahulu seperti apa gua itu nanti baru bisa kembali lagi di waktu yang tepat.
Dari Labuan Bajo, kendaraan pak Vian berjalan ke Utara sampai melewati rumah jabatan Bupati dan di pertigaan berbelok ke Timur masuk ke jalan lebih kecil. Tak sampai 15 menit kami menemui sampai di lokasi.
Setelah membayar tiket masuk dan biaya untuk tour guide kamu mulai masuk ke dalam area. Jalan setapak ini menerobos semak-semak bambu berduri. Seekor ular kecil sempat menghalangi langkah kami. Melihat ukuran kepala yang lebih besar dibanding tubuhnya, aku memperkirakan ular berwarna coklat kemerahan ini jenis berbisa.
gua batu cermin
Di bagian atas gua
Sebuah batu tinggi tampak menjulang keras ditutupi rimbunnya pepohonan. "Itu pintu keluar pak, kita masuk lewat sana," tunjuk Tony sang guide menunjuk ke arah jalan lebih ke dalam. Tony yang ditunjuk menjadi guide kami berpenampilan rambut gimbal ala Bob Marley, dia masih bersekolah di SMK jurusan pariwisata sementara ini dalam rangka magang.
Dari depan pintu masuk menuju gua tampak tampak tangga menuju ke atas mengitari sebuah batu yang katanya terus tumbuh tinggi sepanjang tahun. Penambahan tinggi batu itu diakibatkan tetesan air yang membawa material dari atas.
Beberapa wisman asing tampak berdiri di depan sebuah ceruk gelap pendek, aku tidak bisa memastikan darimana wisman ini berasal namun sebagian mereka boleh aku katakan tua.
Rupanya gua Batu Cermin bukanlah gua bawah tanah, namun lebih ke adanya ruangan dari batu-batu yang bersusun.
Untuk menuju ke tempat dimana lokasi batu cermin itu berada kita harus masuk ke dalam ceruk di depan para wisman itu. Rombonganku sempat tertahan karena Tony hanya membawa dua senter dan itupun yang satu mati. Untung aku sendiri selalu membawa senter kecil di rompiku. 
Guide dari rombongan wisman asing sempat mengomel kepada kami. Ternyata itu karena kurang suka dengan keisengan salah satu wisman tua yang nakal menaruh tempat sampah di depan ceruk gua yang kecil ini. Katanya mereka tidak berani karena ceruknya terlalu kecil lalu memilih berdiri di depan ceruk itu.
gua batu cermin
Fosil kura-kura di atap gua
gua batu cermin
Kelelawar berukuran kecil

Setelah menyingkirkan tempat sampah Tony mulai merunduk masuk ke dalam ke dalam ceruk gua. Dengan tinggi ceruk tak lebih dari satu sepermpat meter dan lebar yang pas badan memang bisa menciutkan nyali apalagi yang berbadan besar. Diujung ceruk pertama Tony menunjukkan baru seperti payudara wanita yang dikatakan sebagai simbol ibu. Setiap pengunjung diharuskan mengelus batu ini, karena konon yang tidak mau memegang batu ini tidak bisa kembali. Setelah beberapa meter masuk kami harus melewati lubang ke bawah lebih sempit dengan ketinggian satu meter dan stalagtit-stalagtit runcing. Kali ini aku harus merangkak. Tony mengarahkan senternya ke arah salah satu stalagtit yang patah dan ada bekas darah. Katanya seorang wisman asing baru-baru ini terluka kepalanya sampai berdarah  dan mematahkan stalagtit itu.
Setelah melewati cerukan kedua tadi kami sampai di ruangan yang agak lebar. Ruangan ini benar-benar gelap, tanpa senter bener-bener hanya pekat. Itu dibuktikan Tony waktu kita kembali dengan mematikan semua senter, betul-betul pekat karena tak ada celah cahaya bisa masuk disini.
Laba-laba di gua batu cermin
Laba-laba di dalam gua
Batu berbentuk wanita di gua batu cermin
Batu berbentuk wanita di atas dinding gua
Setelah itu aku kembali harus memasuki celah yang lebih pendek, perkiraanku tingginya tidak sampai satu meter dengan lebar yang lebih sempit daripada cerukan pertama. Dengan merangkak kami masuk ke celah itu, selain stalagtit ternyata ada juga stalagmit walau tidak runcing.
Tebing di gua batu cermin
Tebing batu tinggi gua batu cermin
Sekeluarnya dari celah kami sampai ke dalam ruangan lebar dengan ketinggian sekitar dua meter sehingga tangan kami bisa menjangkau beberapa bagian langit-langit gua. Menurut Tony, gua ini dulunya ada di kedalaman laut dan itu dibuktikan dengan beberapa fosil yang terperangkap dalam gua ini. Sebuah tonjolan seperti kura-kura yang menurut Tony memang fosil kura-kura tampak di atas atap gua. Beberapa fosil dari terumbu karang juga jelas terlihat di samping kanan gua dan masih utuh, benar-benar bahwa itu adalah fosil terumbu karang. Untuk ikan memang harus memperhatikan dengan jeli baru kita bisa mengenali bahwa itu adalah fosil.
Aku juga ditunjukkan seekor laba-laba hidup dengan sebuah belalai seperti bulu di depan muka laba-laba itu. Kalau menurut ilmu pengetahuan, binatang yang bisa hidup dan tinggal dalam kegelapan total seperti ini tidak akan memiliki mata karena memang tidak ada manfaatnya bagi pertahanan hidup. Entah, mungkin bagian belalai seperti bulu itu yang menjadi indera penglihatannya.
Kami terus berjalan ke dalam sampai di ujung gua. Dibagian ujung gua dibagian atas terbuka celah sehingga cahaya dari atas bisa menerangi bagian dalam gua. Karena cuma dari ataslah cahaya yang bisa masuk maka hanya pada saat siang hari ketika matahari tepat berada di atas kepala. Saat itu keindahan gua ini bisa terlihat karena dinding-dingding gua yang berwarna putih dan berkilat-kilat seperti kristal akan memantulkan cahaya ke segala arah dalam gua. Menurut Tony, walau tampaknya putih Sungguh saat bukan waktu yang tepat.
Kami harus kembali karena memang gua ini buntu alias tempat masuk keluar dari arah yang sama.
Setelah kembali keluar dari gua, ternyata kami harus berjalan ke arah sebaliknya untuk keluar dari kawasan gua ini.


Air Terjun Cunca Wulang
Meloncat di air terjun cunca wulang
Seorang cewe bule (Ivanna katanya) meloncat dengan semangat
Hari Minggu jam delapan pagi rombongan kami mulai berangkat, terlambat satu jam dari jadwal yang disepakati awal karena menunggu Beny selesai ibadah minggunya. Perjalanan ke arah Timur menuju ke arah Manggarai. Satu jam awal kami masih berkendara di jalanan utama yang kondisinya masih baik walaupun sepanjang jalan dipenuhi kelokan dan tanjakan tajam, khas jalan di Flores. 
Jalan terus menanjang sampai ke daerah Kecamatan Sano Nggoang. Kendaraan kendaraan kami masuk ke pertigaan arah Warsawe. Saat itulah aku baru merasakan jalanan yang kecil rusak dan berkelok-kelok.
Setelah melewati sebuah kecamatan baru yang bahkan lebih kecil dibanding sebuah dusun, kendaraan harus melewati jalan yang baru dibuka masih berupa hamparan tanah merah. Untung kendaraan yang digunakan ketiganya cukup tangguh untuk medan disini.
Seorang penduduk bertindak menjadi guide kami karena ternyata kami harus melalui kawasan hutan negara.
Setelah perbekalan di atur cara mengangkatnya (kebetulan aku kebagian mengangkat minuman) kami mulai menerobos hutan menelusuri jalan kecil dengan akar-akar melintang menghadang jalan. Akar-akar ini sering kali bermanfaat menahan kakiku karena daerahnya yang cukup berbukit-bukit dan bertanah rawan membuat kaki terpeleset. Sebuah tongkat adalah pilihan bijak terutama untuk menahan langkah supaya tidak tergelincir. Menurut penduduk yang menjadi guide kami, jarak dari tempat berhenti menuju air terjun sekitar satu kilometer.
Genangan air terjun cunca wulang
Genangan air sungai dari air terjun
Cukup melelahkan dengan medan seperti ini, tapi suara air menunjukkan bahwa air cukup dekat memacu kembali semangat kami. Sayang ternyata itu hanyalah bunyi air sungai karena ternyata kami harus menyusuri sungai dulu untuk sampai di air terjun. Guide dengan lincah berjalan di antara batu-batu dan mengarahkan kami tempat menyeberang. Di beberapa titik terdapat genangan air yang tampak tenang dan dalam, itulah titik akhir dari air terjun Cunca Wulang.
Air terjunnya sendiri tidak bisa dilihat dari sisi bawah karena terhalang dari dinding-dinding batu terjal yang mengapit aliran airnya. Untuk bisa melihat air terjun maka kita harus naik kembali dari sisi kanan dimana terdapat batang-batang kayu saling diikat sebagai pegangan untuk naik ke atas, dan itu sangat membantu sekali karena tanahnya yang sangat terjal menjadi sulit untuk dinaiki. Setelah sampai di atas, kami baru bisa menyaksikan bentuk air terjun itu.
Ternyata air terjun Cunca Wulang bagian atasnya jatuh tepat di sebuah kawasan bukit batu berbentuk melingkar sehingga sulit untuk dilihat penuh. Aku dan Kadek hanya bisa memotret bagian atas saja. Menurut penduduk, cara melihat utuh air terjun ini adalah berenang dari sungai menuju ke cerukan air terjun itu tapi sayang kamera kami bukan kamera tahan air.
View air terjun cunca wulang
Dua bule mau berenang
Sekembalinya di bawah, terdapat rombongan tiga cewek bule datang disusul rombongan lain. 
Jika rombongan kami hanya berani loncak dari sisi bawah yang tidak terlalu tinggi maka cewek-cewek bule itu lebih berani. Setelah didahului oleh guide dari rombongan itu yang meloncat di ujung batu setinggi enam meter, dua cewe bule itu ikut menyusul. Adegan yang tentu saja tak terlewatkan kami.
Air dibawahnya yang berwarna hijau gelap langsung berdebum begitu tubuh-tubuh mereka mendarat di air. Menurut guide, kedalaman air sungainya sekitar tiga puluh meter entah benar atau kira-kira saja. Tapi memang melihat air yang permukaan bening namun didalamnya berwarna gelap bisa menjadi petunjuk bahwa di sini airnya dalam.
Sayang kami datang terlalu siang sehingga cahaya matahari kuat sekali. Walaupun suasana
di pinggir sungai yang terhalang pepohonan tetap terasa sejuk tapi tidak dengan hasil foto. Kontras yang tinggi sangat menyulitkanku mengambil foto-foto di air terjun ini.
Perjalanan yang cukup melelahkan ternyata membuat selera makan jadi meningkat tak pelak nasi bungkus yang kami bawa habis tandas dimakan dan terasa enak sekali. Apalagi makan di pinggir air terjun seperti ini.
air terjun cunca wulang
Air terjun dilihat dari atas, tidak terlihat sepenuhnya
Sayangnya saking asyiknya mengeksplore lokasi ini aku justru lupa untuk berenang, pas habis makan siang mau berenang semua sudah selesai berenang. Ada sebuah spot air terjun kecil yang sepertinya tergantung pada musim. Saat musim kering seperti ini memang hanya debit air kecil yang keluar
Perjalanan kembali menjadi perjalanan yang menantang, apalagi kalau bukan bayangan harus berjalan menanjak. Beberapa teman kembali dengan membawa beberapa tanaman pakis yang mereka diperoleh di pinggir hutan. Jika awalnya ke sini lebih bawah lokasi jalan yang menurun sekarang untuk kembali harus menapaki jalan menanjak. Cukup capek, untunglah masih ada minuman yang kami sisakan untuk kembali.
Sepertinya kami harus melakukan perjalanan kembali ke sini pada waktu yang tepat, semoga..


Selain lokasi-lokasi ini, masih terdapat beberapa lokasi lain di daratan Manggarai Barat yang layak dan harus dikunjungi seperti Danau Sano Nggoang yang sangat besar dengan kondisi airnya panas dan asam, kemudian ada juga air terjun Cunca Rami yang pernah digunakan untuk syuting salah satu iklan yang menunjukkan keindahan Indonesia Timur, serta kampung adat yang sangat menarik, Wae Rebo.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 05 Juli 2012

Pantai Namosain, Kupang

senja di pantai namosain
Pagi dingin, perahu-perahu kecil berjajar ditinggal pemiliknya. Laut sedang di puncak surutnya karena tadi malam bulan sedang purnama. Di sepanjang pantai tampak karang-karang muncul di permukaan. Matahari muncul malu-malu di antara langit yang sedang berawan, dan aktifitas-aktifitas kecil pagi segera dimulai, deru satu-dua kendaraan mulai terdengar di jalanan.

perahu bersandar di pantai namosain
Beberapa orang muncul dari sebuah perahu agak besar yang menggunakan tiang layar menuju ke pinggir pantai dimana terdapat deretan tong-tong plastik berwarna biru yang biasa digunakan nelayan untuk menampung ikan atau air. Setahuku tong-tong air warna biru itu aslinya digunakan untuk menampung bahan kimia. Beberapa tong yang tampaknya penuh itu mulai digelindingkan satu demi satu menuju pantai, entah isinya apa. Pasir putih yang lembut bagai tepung membentuk jejak panjang dari tong-tong yang mengelinding menuju ke laut. Di samping perahu itu masih terdapat dua perahu dengan bentuk dan ukuran yang hampir sama, perahu-perahu layar yang biasa mengangkut barang-barang kebutuhan ke Sabu Raijua. 


memasak teripang di pantai namosainmemasak teripang di pantai namosain
Melangkah ke sisi kanan dermaga lama yang telah tinggal sisa-sisa aku melihat dua orang laki-laki jongkok di atas perahu yang tampak asapnya mengepul. Ternyata kepulan asap itu berasal dari kayu yang di bakar di atas perahu yang ditutup dengan tong bekas. Di bagian atasnya tampak sebuah panci besar dengan air yang mendidih. Tak berapa lama lelaki yang sedang menunggui panci itu mengangkat sebuat penjepit dan mengambil sebuah benda mirip ketimun  dengan berbagai bentuk. Benda yang dikenal dengan nama teripang atau timun laut ini rupanya yang sedang dimasak. Binatang yang sekarang menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi ini mulai menjadi andalan beberapa nelayan untuk mencari nafkah.
Teripang-teripang dapat mudah ditemukan karena dapat hidup di seluruh permukaan air, terutama daerah yang berair jernih, berpasir campur lumpur. Kawasan perairan NTT yang masih bersih dan belum rusak tentu merupakan kawasan yang kaya biota laut termasuk teripang ini.

senja di pantai namosainLebih pas mengunjungi Namosain ini saat sore hari, karena memang pantai ini menghadap di sisi Barat Laut. Jika beruntung mungkin bisa menemui matahari yang cahayanya menerobos keluar di antara awan-awan. Tentunya di waktu bulan-bulan yang masih banyak awan, karena di bulan-bulan Juni sampai Oktober memang langit Kupang lebih sering terang benderang tanpa awan.

Kawasan Namosain memang terasa ramai sekali saat sore, selain aktivitas para nelayan dan penjual ikan yang ada di beberapa titik juga di sepanjang pantai biasa ada aktivitas main bola oleh anak-anak sekitar sini. Karena di seberang jalan dari pantai ini memang masuk kawasan perumahan penduduk yang sangat ramai.

Kawasan ini dulu ada dermaga rakyat namun sekarang sudah hancur. Di sebelahnya sekarang ini baru dibangun baru dermaga rakyat yang masih belum selesai, mungkin tahun depan dermaga ini sudah bisa selesai. Jika sudah selesai mungkin dermaga ini bisa menjadi lokasi pancing selain lokasi Tenau yang selama ini paling sering dikunjungi pemancing.

Jika laut sedang di puncak surut maka bisa tampak beberapa terumbu karang yang menonjol keluar dari permukaan air. Kemungkinan dulu kawasan ini punya daerah terumbu karang yang bagus seperti halnya lokasi yang berada di dekat sini yang punya kawasan terumbu karang yang bagus. Namun karena menjadi lokasi nelayan, tentu saja terumbu-terumbu itu menjadi sulit berkembang. Apalagi seperti halnya lokasi-lokasi yang sudah menjadi tempat berlabuh perahu yang sering kali menimbulkan persoalan tentang sampah dan kebersihan yang sering kurang terjaga.

senja di pantai namosain
Ombak di Namosain bisa dibilang tidak besar karena berada di selat Kupang-Semau.Ombak sedikit besar pada musim-musim tertentu saja. Lokasi yang dekat dengan Kupang, pasirnya yang berwarna putih dan lembut, dan tentu saja sunset yang menawan merupakan alasan yang tak dapat ditolak untuk ke pantai Namosain. Bukan lokasi pilihan, tapi tak ada salahnya jika sedang di Kupang mengunjungi pantai ini.

Di sisi belokan dekat jembatan terdapat pembatas jalan yang merupakan lokasi strategis beberapa orang untuk menikmati sunset, terutama jika tidak ingin berbasah-basah di laut. Bukan lokasi yang tenang tentunya karena lalu lalang kendaraan yang melewati jalur ini bisa dibilang ramai sekali. Bukan hanya ramai, truk-truk kontainer biasa juga melewati daerah ini.


Kalau ingin merasakan suasana saat malam, boleh mencoba duduk di dermaga saat malam menjelang. Berjalan terus ke ujung dermaga yang masih belum selesai. Di ujung terdapat beton-beton penahan ombak. Melewatkan senja hari sampai malam menjelang menjadi hal menyenangkan. Apalagi jika ditemani segelas kopi panas. 

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 03 Juli 2012

Malam dan Bintang-Bintang

langit malam di pantai namosain
Malam hari di pantai Namosain, Kupang (dari dermaga baru)
Langit yang memerah pelahan memudar menjadi biru dan terus menggelap, awan-awan tipis bertiup ke pinggir-pinggir cakrawala menyisakan bentang langit yang maha biru. Satu demi satu bintang yang semula tak tampak mulai memamerkan cahayanya menghiasi langit. Pertunjukan senja memang telah selesai namun bukan berarti alam telah menyudahi hari, karena sekarang waktunya bintang menunjukkan diri. Apalagi bila bulan sedang berbaik hati tidak menunjukkan dirinya.


malam di pantai kawaliwu
Malam di pantai Kawaliwu, Flores Timur
Semakin malam langit semakin meriah, bintang-bintang besar kecing memenuhi seluruh hamparan langit dan di sisi timur agak ke selatan mulai tampak seperti awan tipis yang membentuk lempeng ditaburi jutaan bintang kecil. Itu adalah galaksi Bimasakti, tempat tata surya kita berada.
Kurebahkan kepalaku di hamparan kerikil-kerikil hitam yang menghampar di sepanjang pantai. Riak air laut yang riaknya berbisik tenang kadang bercampur suara binatang-binatang malam yang mulai keluar dari persembunyiaan. Kadang suara ombak lebih besar terdengar dari dayung yang mendorong sauh melaju. Tak perlu risau, biarkan seluruh dawai memasuki panca inderamu dan menggetarkan hati yang sedang merasa sendiri. Kawaliwu selalu mengakhiri hari dengan dawai alam yang selalu harmoni.


Sekarang telah tahu kah kamu kenapa aku tidak terburu-buru beranjak dari dudukku kala malam menjelang? Karena aku tak ingin melewatkan pertunjukan baru yang sedang dimulai setelah senja menghabiskan waktunya.


Bulan purnama di pantai Marapokot, Nagekeo
Bulan purnama di pantai Marapokot, Nagekeo
Kadang bila bulan purnama sedang datang maka bukit bukit-bukit tinggi atau pantai yang menghadap sisi timur menjadi tempat yang menyenangkan untuk menunggu. Di pantai Marapokot adalah lokasi yang tepat untuk menunggu bulan purnama muncul dari permukaan air laut karena pada saat itu laut pasti sedang puncak surut dan perahu-perahu juga sedang ditambatkan. Saat-saat menunggu seperti itu bolehlah sedikit menyandarkan pantat di bangku panjang warung kopi, menghirup harumnya kopi Flores sungguh nikmat sekali, seolah hari boleh berhenti sebentar di sini. Banyak teman baru yang segera akan menyapamu, dan bincang-bincang ringan menjadi pengisi hari sebelum kita berlari mengejar bulan yang lebih dahulu meninggalkan cakrawala.
Jangan takut jika kamu tidak membawa lampu blitz untuk menerangi perahu-perahu untuk latarmu, kadang nelayan-nelayan datang membawa lampu petromaks (sebagian orang menyebutnya lampung strongking) untuk memperbaiki perahu sebelum digunakan untuk mencari ikan setelah laut pasang.


Purnama di atas perbukitan Kesidari, Nagekeo
Purnama di atas perbukitan Kesidari, Nagekeo
Jika tahan dengan gigitan nyamuk-nyamuk yang kecil namun gatal sekali boleh juga menaiki bukit-bukit di Kesidari, masih di Nagekeo. Hamparan rumput sabana dan beberapa batang pohon menjadi pelengkap sempurna menikmati bulan yang sedang menuju titik terdekat dengan bumi (supermoon). Senter tentu menjadi alat yang sangat berguna terutama waktu pulang nanti, atau kaki harus rela menginjak sesuatu yang empuk yang keluar dari pantat sapi. Masih hangat, sedikit bau (sedikit?) dan tentu saja menjadi bahan lelucon segar bagi teman-teman yang lain. Tak usah senewen, bukankah bukit-bukit ini telah menjadi taman bagi sapi, kerbau dan kambing dalam mencari makan. Jika sedang menghijau, rombongan sapi-sapi dengan mudah akan kamu temui, jadi kamu hanya tamu di sini.


Bintang-bintang di atas pantai Teddys Kupang
Bintang-bintang di atas pantai Teddy's, Kupang
Jika agak enggan, mungkin cukuplah berdiri di samping dermaga yang tidak terlalu banyak cahaya mengelilingi supaya bintang-bintang tidak bermuram terhalang cahaya-cahaya buatan manusia. Jika di Kupang, pantai Namosain atau pantai Teddy's bisa menjadi tempat yang asyik buat menikmati malam. Tak selalu bisa mengabadikan malam karena kedua tempat itu masih banyak bias sinar yang membuat langit tak tampak begitu berbintang. Tapi cukup menjadi obat bila rindumu pada malam sedang membuncah.


Kadang (sering kali) aku berdiri menhampiri malam tanpa teman yang berdiri di sampingku, benar-benar sendiri. Tapi waktu seperti itu pun tak pernah mengurangi keindahan pertunjukan malam. Kadang sendiri justru membuat kita mampu menyadari betapa kita tak selayaknya egois dengan segala yang hidup karena masing-masing membawa energi hidup yang saling melingkupi. Mungkin tampak menyeramkan harus melewati pekuburan sepi dan jalan yang masih tanah dengan hanya bersandar pada sebuah senter sendirian hanya untuk menikmati malam di tempat lain. Tapi semua akan berubah jika kamu mengalaminya sendiri, karena saat melewati semua itu kamu tahu bahwa kamu tak perlu ego dengan energimu sendiri, dan saling menyapa dan menghormati energi lain yang berpapasan denganmu.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 18 Juni 2012

Kawaliwu (lagi): Ketenangan Senja

Sebuah pohon bakau besar tunggal di Kawaliwu
Entah kenapa kalau ke Larantuka pasti cari kesempatan mampir ke Kawaliwu. Ada apa sih dengan Kawaliwu, paling cuma lihat matahari terbenam yang kadang kelihatan kadang hilang, atau paling juga nyemplungin kaki di cekungan tempat menampung air panas yang mengalir di sela-sela batu di pinggir laut. Atau bertingkah seperti remaja yang lagi galau duduk diam melihat ke laut sampai gelap.
Iya, memang iya cuma ada hal-hal seperti itu di Kawaliwu. Ada yang lain? Hmmmmm, ada tapi mungkin tidak penting. Tidak penting kan cerita salah ambil jalan sampai harus menerobos alang-alang tinggi sampai kaki gatal-gatal. Juga tidak penting kan aku cerita lagi duduk enak-enak tiba-tiba ada bangkai anak babi mengambang di pinggiran dengan perut kembung (kapan babi pernah kurus perutnya). Lebih tidak penting lagi kan menceritakan aku dan Kadek tiduran di batuan hanya untuk memotret jajaran kelapa yang tumbuh tinggi-tinggi di sepanjang garis pantai.
Mencari ikan dan kerang saat surut
Bebatuan tempat nokrong
Tapi meski cuma ada semua itu di Kawaliwu tetep rasanya tidak pernah bosan kembali ke sana. Apalagi dengan teman yang baru ke sini, pasti acara memperkenalkan Kawaliwu menjadi hal pertama yang aku lakukan sesampai di Larantuka. Lama-lama ini lebih seperti prosesi pembaptisan buat yang pertama ke Larantuka: mengunjungi Kawaliwu.
Tentu saja kesana untuk semua hal itu, tidak sama persis tapi ya tetap hal-hal itu semua (kita tidak selalu harus membuat berbeda suatu hal hanya karena tidak ingin sama). 
Acara pertama tentu saja acara mengejar matahari terbenam, apalagi kalau langit lagi banyak awan dan berharap bisa melihat cahaya yang keluar di balik awan. Tak selalu harapan itu terjadi, atau malah lebih sering gagal (kadang itu tidak penting). Seperti hari itu, matahari justru telah hilang sebelum sampai ke batas horison di telan awan tebal yang tak tampak dari pantai. Hanya menyisakan warna merah kuning selapis, yang terus menggelap. Kadang kamera harus menyerah dan membiarkan mata yang menjadi penikmat sesungguhnya. Dan batu-batu hitam yang bertumpuk menjorong ke laut tetap menjadi tempat yang menarik untuk menghabiskan hari menikmati malam yang menggeser senja.
Menikmati bintang-bintang dari pantai
Yang kedua tentu saja kegiatan merendam kaki di cerukan-cerukan air panas di beberapa tempat. Cerukan-cerukan ini hasil karya para penduduk asli yang digunakan untuk mandi baik menggunakan kayu atau tangan. Setelah sebuah cekungan selesai dibuat biasanya mereka menguras dulu beberapa kali untuk membuat air di cerukan yang mereka buat menjadi bersih. Waktu aku membuatnya ternyata menguras air pertama ini memang harus dilakukan untuk membuang lapisan tanah halus yang membuat air cepat kotor sehingga di cerukan tinggal batu dan pasir hitam kasar. Suhu tiap cerukan bervariatif, kali ini aku dan Arief 'mbah' agak kurang ajar. Setiap ketemu cerukan pasti ada kerjaan merendam kaki disitu entah berapa cerukan yang menjadi korban kaki kami, untungnya tidak ada yang korengan kakinya hehehehe.

Kali kedua aku kesini aku mendapatkan matahari bersinar terang, warna kuning dan bulat tampak sampai di batas cakrawala. Arief agak keranjingan merendam kaki, penyakit kalau mau spa gratis seperti itu.
Tempat menikmati senja yang paling menenangkan
Sebenarnya ingin kembali menikmati matahari tenggelam di bebatuan seperti biasa tapi di bagian atas terdengar suara yang ramai sekali. Ada rombongan muda-mudi yang sedang berliburan. Kami bukan terganggu dengan jumlah mereka tapi suara-suara yang terdengar ribut sekali macam orang yang bertengkar. Padahal salah satu kesukaan kami dari Kawaliwu adalah suasana yang terasa begitu tenang, bukan suara lagu yang terdengar keras dari salah satu peralatan elektronik anak-anak muda itu. Aku pikir mereka salah tempat menuju kesini, ada baiknya mereka duduk di cafe yang hingar bingar.
Untung mereka segera pulang tak lama setelah kami duduk-duduk di tepi laut. Suasana kembali tenang, Kawaliwu kembali menjadi begitu nyaman, suara perahu menyibak air laut memotong bayangan matahari begitu berpadu dengan kecipak dayung perahu kecil yang mengoyak air laut yang tenang. Suara tokek dan burung-burung seperti harmoni yang tak boleh dilewatkan.
Mungkin ini sebenarnya hal yang tak pernah membosankan, Kawaliwu sungguh menawarkan ketenangan dan harmoni yang sungguh melenakan. Sehingga seperti apapun kondisi matahari yang terlihat, melihat gradai-gradasi warna langit senja dan harmoni segala sesuatunya seperti memanggil untuk kembali menikmatinya, setiap kali aku kesini.


Boat room untuk menikmati matahari pagi
Oh iya, ada satu tempat yang ingin aku bagi siapa tahu ada salah satu kalian kesini dan tertarik menginap kesini. Namanya hotel Asa, tempat aku menginap pertama kalinya karena biasanya aku tidak menginap di sini. Tapi ini bukan tentang hotel itu tapi salah satu kamar hotel yang unik, namanya Boat Room. Satu-satunya kamar yang unik dan paling murah, harga terakhir adalah 325.000/malam. Boat room ini adalah kamar yang dibangun dari bekas perahu/kapal kecil yang sudah tidak dipakai. Boat room ini otomatis adanya di tepi pantai, jadi jalan masuknya ke perahu melewati blok-blok semen di sepanjang pasir pantai. Anda akan menikmati kamar dengan suara ombak yang terdengar berdebur sepanjang malam, dan kerennya lagi anda akan bisa menikmati matahari terbit sambil menikmati secangkir kopi panas di ujung kapal karena kapal ini menghadap ke arah timur.



Baca keseluruhan artikel...

Senin, 28 Mei 2012

Catatan Kecil: Sisi Lain Sunset di Labuan Bajo

Suasana senja dari lokasi trekking sunset di bukit belakang hotel
Hari-hari di Labuan Bajo ternyata disapa dengan mendung yang menggelayut tebal di langit padahal sekarang bulan Mei. Beberapa kali mendung tebal itu tak sanggup menahan diri dan menumpahkan hujan di tengah siang yang semestinya terik. Musim hujan kali ini memang bergeser agak jauh sehingga bulan Mei pun hujan masih sering turun.
Praktis dari satu minggu di Labuan Bajo lebih banyak diisi dengan mendekam dalam kamar atau  atau kalau sedang suntuk dengan kamar maka restoran menjadi tempat nongkrong yang strategis. Padahal penugasan kali ini ada juga ada tim lain yang juga datang sehingga jumlah kami ada tujuh orang, cukup banyak untuk membuat acara.
Suasana malam beranda hotel
Untung hotel kami menginap cukup nyaman untuk bersantai setelah seharian berkutat dengan laporan dan angka-angka yang kadang sulit untuk dihubungkan. Hotel Centro Bajo ini dibangun dibawah bukit sehingga bangunannya bertingkat di bagian depan namun tidak dibagian belakang. Lokasinya bukan di pinggir pantai atau memiliki view pantai seperti halnya hotel-hotel lain di daerah Labuan Bajo ini, namun suasana rindang terasa sekali dibantu dengan dengan ornamen etnik dan bangunan-bangunan bergaya etnis dengan bahan bambu dan kayu.
Namun tentu saja hujan dan mendung yang terus memenuhi langit membuat jenuh juga, karena mau jalanpun kami ragu karena hujan bisa datang sewaktu-waktu.
Sebenarnya ada view sunset yang bisa kami nikmati dibelakang hotel namun kami harus trekking naik ke atas bukit sekitar 250 meter seperti tertulis di papan kayu yang dipasang di sebelah kolam air. Bunga teratai yang tumbuh memenuhi kolam menjadi korban kameraku yang tak bisa kupakai untuk berburu sunset. 

Bunga teratai putih dan ungu memenuhi kolam
Waktu sudah di atas jam setengah enam saat aku lihat warna awan di langit mulai tampak membara, jajaran awan mulai tersibak rupanya mulai bosan jika terus menutupi matahari. Mencoba peruntungan aku mempersiapkan peralatan dan mulai trekking ke belakang hotel. Ternyata jalan awal menanjak curam dan itu menguras tenagaku, di setengah puncak jalan aku mulai terangah-engah. Hahahaha ternyata umur tidak bisa dibohongi. Sayang di daerah agak landai aku melihat matahari sudah terlanjur masuk ke dalam, rona awan telah kembali gelap. Akhirnya aku kembali ke hotel dan berharap besok bisa lebih awal, tentu jika mendung tidak memenuhi langit.
Suasana beranda hotel malam hari
Besoknya sepertinya lagi berpihak, walau seharian mendung datang tapi sore langit mulai kembali tersibak sehingga aku dan Angga kembali mencoba jalur trekking. Menurut penjaga hotel, jalur trekking sudah lama tidak dibersihkan. Dan itu ternyata benar, setelah sampai di tempat landai yang aku harus melewati jalan yang kanan kiri mulai dipenuhi oleh semak-semak. Untung jalur trekkingnya masih tampak, namun ternyata saat mendekat ke arah lokasi ada sebuah jalan tanah berbatu yang cukup lebar memotong jalur trekking sehingga kami jadi bingung apakah harus mengikuti jalan ini atau tidak. Namun karena melihat kondisi jalan yang masih baru artinya ini bukan jalur trekking semestinya dan kami memutuskan mencari jalur trekking yang lama di seberang jalan. 

Melihat sunset di Pulau Bidadari
Saat kami melihat jalur kecil kami memutuskan mengikutinya, jika beruntung kami sampai ke lokasi jika tidak yah apa boleh buat. Ternyata arah kami benar, setelah melewati beberapa pohon yang tumbang kami sampai dilokasi yang tepat untuk melihat matahari terbenam. Beberapa bangku dari kayu yang dibuat oleh pihak hotel sebenarnya pas di lokasi ini, sayang tempatnya dipenuhi semak-semak dan bengku-bangku itu nyaris tak tampak jika kita tidak mendekat.
Dari lokasi ini kami bisa melihat hotel La Prima, sebuah hotel berbintang empat yang baru dibangun persis di bawah bukit di depan bukit tempat kami melihat sunset. Labuan Bajo tetap begitu indah, hamparan pulau-pulau yang perahu-perahu yang mulai menambatkan diri di pelabuhan membuat panorama senja yang menarik. Yah setidaknya ini hiburanku karena tidak bisa kemana-mana selama seminggu ini.
Tentu waktu seminggu ini bukanlah perjalanan yang kurencanakan, aku masih berharap bisa mengunjungi danau kawah Sano Nggoang atau air terjun Cunca Wulang
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 02 April 2012

Hamparan Putih Pantai Mananga Aba (Kita Beach)

Matahari mulai bergerak menuju ke cakrawala


Sekelompok anak mudah duduk saling berkeliling bernyanyi dan seseorang dengan gitarnya mengiringi nyanyian. Sebagian bersuara indah sebagian lagi bagai suara ke tujuh, lebih banyak lagi yang tergelak tertawa lepas dan semuanya bagai nyanyian burung gereja yang tak indah namun tetap nyaman dinikmati. Sekelompok jajaran pohon cemara di tepi pantai menjadi pelindung tepat matahari yang mulai menampakkan sinar senja namun masih menyilaukan mata.
Tak ingin mengganggu acara kebahagiaan mereka, aku memilih memarkirkan motor beberapa puluh meter dari mereka dibawah sebatang pohon cemara yang agak besar namun daunnya telah jarang.
Suasana Sabtu pagi di pantai Mananga Aba
Pantai dari sisi timur menjelang sore 
Begitu aku dan Edo turun ke pantai, pemandangan yang terbentang tampak memukau mata. Hamparan butiran pasir bagai bedak begitu luas terbentang memanjang. Warna pasirnya yang putih bersih tak pelak bagai pelengkap lanskap pantai menjadi tampak sempurna. Tampak beberapa batang pohon yang berserakan di pantai entah karena tumbang atau dipotong. 
Jika ada yang mengganggu mata, ya maka tentu saja sampah plastik jawabannya. Botol-botol plastik dan barang-barang plastik sisa tampak tertumpuk di beberapa sudut, mungkin di hempaskan ke pinggir pasir oleh ombak. Untungnya sampah itu tak terlalu banyak, tapi entah jika nanti tempat ini benar-benar menjadi tempat wisata utama. Jika tak ada kesadaran orang-orang yang berwisata ini untuk menjaga lingkungan pantai ini mungkin suatu ketika kita akan melihat pantai Mananga Aba lebih dipenuhi aneka sampah plastik di setiap jengkal pasir putihnya.
Suasana pagi yang tenang dan cemara di pinggir laut


Namun semua itu tidak mengurangi keindahan hamparan pasir putih membentang dan deretan cemara yang seolah menjadi pembatas kawasan pasir dan rumput. Air laut yang bening berwarna hijau tosca, ombaknya yang tidak besar menarik-narik pasir dan memancing aku untuk melangkah memasukinya sampai tanpa sadar celana pendekku setinggi lutut tiba-tiba harus basah terendam. Suasana begitu tenang dan hening, hampir tanpa suara kecuali angin, ombak dan burung-burung yang mencuit lemah di atas langit biru. Suara sekelompok anak-anak muda itu pun tidak terdengar karena tertelan bunyi debur ombak. Awan-awan di langit ujung barat mulai berubah warna saat matahari mulai mendekat ke garis cakrawala di antara deretan pohon cemara. 
Kami pulang saat langit memerah mulai menghilang, aku tahu aku kehilangan blue hour yang biasanya terjadi sesaat setelah golden hour muncul. Tak apalah karena aku berniat untuk kesini lagi pagi-pagi untuk menikmati matahari terbit dari cakrawala laut.


Perjalanan pulang sekarang lebih hati-hati karena senja begini biasanya jam binatang serangga mulai keluar sehingga aku harus mengendarai motor dengan kecepatan lebih lambat dibanding saat berangkat. Tak heran perjalanan darat dari Weetabula-Mananga Aba sejauh 15 km yang pada saat berangkat tak sampai 20 menit berubah menjadi lebih dari 30 menit. Bahkan beberapa kali saat ngobrol di jalan, aku harus rela binatang itu masuk ke mulut. Wuih rasanya aneh sekali.....


Hari Sabtu pagi-pagi sekali kami sudah janjian untuk berangkat jam 5 pagi, namun seperti yang saya duga waktu pagi-pagi ternyata Edo masih tidur. Aku memutuskan berangkat terlebih dahulu sementara Edo menunggu Ronald dan Detty. Sore sebelumnya Ronald yang mengantar aku dan Edo melihat sunset di Pantai Oro karena memang kalau dari Pantai Mananga Aba sunset tidak jatuh ke laut tetapi serong ke darat. Perjalanan ke pantai Oro akan aku ceritakan di lain kisah.


Langit masih gelap saat aku di atas motor. Dengan hanya mengenakan pelapis rompi, udara pagi yang dingin dan lembab membuat jari-jariku terasa agak kaku memegang stang motor. Untung aku mengendarai motor matic pinjaman dari seorang teman yang tinggal dan bekerja di sini. Jalan sangat lenggang, lampu-lampu merkuri di sepanjang jalan masih menyala. Di pertengahan jalan aku mulai kuatir akan kehilangan momen pagi karena langit tampak mulai berubah memerah. Aku mulai agak sedikit memacu motor berharap masih dapat menyambut datangnya sang mentari dari balik laut, beberapa burung tekukur yang sedang asyik dipinggir jalan terbang menghindar saat roda motorku menghampirinya. Bahkan saat kembali aku tidak bisa menghindar dari menabrak seorang ular sawah yang sedang melintasi jalan, untunglah waktu kulihat ke belakang ular itu masih bisa melata masuk ke persawahan.


Pohon yang tumbuh unik di tepi pantai
Sesampainya di pinggir pantai aku sedikit menelan kekecewaan karena sepotong awan berbentuk limas menutupi matahari. Namun suasana tetap terasa menyenangkan karena warna pagi dan karena suasana yang hening dan sepi. Aku punya kesempatan berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai lebih jauh sekaligus mencoba mengeksplorasi titik menarik untuk aku foto. Sayang sinyal sedang tidak bagus sehingga Edo tidak tahu aku berada dimana, waktu aku sebuah pesan masuk dari Edo masuk ternyata dia dan Ronald telah berada di dermaga Waikelo yang lama. Praktis sekarang aku berjalan-jalan sendiri, merasakan butiran-butiran pasir yang begitu halus di telapak kaki, ombak yang menarik-narik pasir dan merayuku untuk mencumbunya. Sebuah perahu nelayan melintas pelan sepertinya hendak menangkap ikan. Di beberapa tempat tampak bangunan-bangunan kecil dan pendek dari kayu dan atap ilalang yang tampaknya dibuat oleh beberapa nelayan-nelayan dari tempat lain untuk singgah sementara.


Matahari mulai tampak keluar dari persembunyian awan saat jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Terlalu siang untuk dilakukan perburuan foto sehingga aku memutuskan untuk kembali lagi.


Thanks buat temen-temen yang udah mau nemeni acara jalan-jalan 
dan mau minjemi motor: Edo, Ronald dan Detty
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya