Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Rabu, 02 Maret 2011

Saat Hijau Menyiram Bumi

Terus terang menuliskan suatu tempat yang kita kunjungi bukanlah hal yang gampang bagiku. Aku tidak bisa begitu saja menuliskan sebelum memperoleh secara lengkap persyaratan utama sebuah tulisan aku naikkan ke blog ini: (a) ada cukup foto-foto yang mewakili keberadaannya (b) ada informasi yang nyambung dengan lokasi, ini yang kadang-kadang sulit seperti tulisan tentang Waewini dan Legenda Sebuah Kampung yang Hilang yang meskipun mendapatkan bahan cerita tapi harus melengkapi nilai filosofis dan reason yang dapat diterima, (c) ada suasana batin yang mewakili sehingga saat orang mencapai lokasi ini dapat merasakan apa yang ada di foto.



Akhirnya kadang tulisan gak naik tampil hanya kadang-kadang faktor tertentu yang mungkin gak lebih dari 10%, karena yang sedikit itu kadang bisa membuat berantakan yang 90%-nya.
Seperti tulisan Menikmati Sawah dan Perbukitan merupakan tulisan yang masih ada di 90% yang aku paksa naik karena seperti wartawan aku pun dikejar target (pribadi) untuk bisa menulis minimal 1 tulisan tiap bulan. Padahal seharusnya di tulisan itu aku bisa lebih mengeksplore dangau-dangau dan gua-gua buatan jepang tapi rasanya kalau itu menjadi pelengkap maka Nagekeo gak pernah bisa aku tuliskan. Toh sampai saat ini aku juga belum bisa mengambil foto seperti itu (pembelaan ceritanya)


Tulisan ini adalah pelengkap tulisan Nagekeo yang sebenarnya sampai saat ini pun masih belum bisa dilengkapi. Belum lengkap karena rasanya aku belum mendapatkan daerah-daerah yang menarik yang biasanya justru kurang tereksplore karena sulitnya medan atau justru karena kurang diperhatikan.
Foto-foto ini terekam dari perjalanan selama dua minggu di Kabupaten Nagekeo. Cuaca sebenarnya kurang bagus, maklum bulan-bulan begini hampir tiap hari mendung enggan beranjak. Sekali-kalinya cerah juga tak selalu bisa diharapkan karena kadang cuaca berubah sedemikian cepat.

Rerumputan di arah jalan ke Maukaro
Seperti pernah saya rekam di tulisan sebelumnya, Nagekeo memiliki hamparan persawahan yang luas yang menjadikannya salah satu daerah penyangga pangan di Nusa Tenggara Timur. Nagekeo pun memiliki kawasan perbukitan yang banyak berupa padang savannah tapi dengan kontur yang kadang-kadang cukup terjal. Nah, sebenarnya mulai bulan-bulan Januari sampai saat-saat seperti ini perbukitan savannah di Nagekeo mulai tumbuh rumput yang bentuknya berjajar seperti ditanam karena tumbuh di sela-sela tanah keras berbatu.
Jika ditanya view apa yang menarik di Nagekeo, salah satunya adalah menikmati senja di atas perbukitan savannah. Kadang jika kita beruntung, puluhan bahkan ratusan ternak kambing atau sapi melintas pulang. Angin berdesau yang meniup rumput-rumput hijau yang meninggi, sementara di langit senja membentuk gradasi warna yang tak pernah bisa diperkirakan dan memang seharusnya tidak perlu diperkirakan.
Lenguhan-lenguhan sapi dan embikan kambing serta bunyi serangga pengiring malam seperti simponi senja menjelang malam. Burung-burung seperti burung walet, sri-gunting atau beberapa spesies lain mencuit melintas menuju sarang. Kadang pula bunyi tokek bisa terdengar begitu nyaring di kejauhan.
Jangan pedulikan bunyi raungan motor atau mobil yang kadang terdengar begitu mengganggu, mereka mahluk-mahluk yang jarang menampakkan suaranya di atas padang-padang ini walaupun sekalinya melintas membuyarkan semua suara yang ada.
Ada kalanya aku merutuk mendengar si mesin bising itu dan berharap di tempat dan waktu seperti ini mahluk-mahluk seperti itu ditidurkan sejenak. Biarlah ada rotasi suasana tapi siapa bisa memaksakan teknologi.

Senja di ambil dari belakang rujab Bupati
 Dari arah mulai masuk Nagekeo, mata sudah disuguhi deretan perbukitan savannah yang terhampar hijau. Dan deretan perbukitan hijau sendiri bukan hanya di arah masuk Nagekeo. Perjalanan yang pernah kulakukan menuju ke Maukaro juga banyak melintasi perbukitan savannah. Bahkan dari perbukitan di kawasan Maukaro ini langsung bisa dilihat laut.
Sedikit pemandangan berbeda aku temui saat kita melakukan perjalanan menuju ke Riung. Riung adalah tempat wisata 17 pulau yang masih masuk kabupaten Ngada namun memang lebih dekat ke Riung melalui jalur Nagekeo daripada dari Bajawa (ibukota Ngada).
Perjalanan ke Riung dengan kondisi sekarang aku tempuh sekitar dua jam, itu pun lebih karena faktor kondisi jalan yang tergolong rusak berat. Kira-kira separuh jalan dari Mbay menuju ke perbatasan Nagekeo-Ngada kondisinya cukup memprihatinkan, ruas-ruas jalan banyak ditemui lubang seperti kubangan kerbau. Perjalanan menuju sisi laut utara Flores ini juga banyak ditemui kawasan perbukitan savannah tapi entah kenapa banyak yang rumputnya belum cukup tinggi, besar dugaan di daerah ini karena dekat dengan laut jadi curah hujan kurang dibanding perbukitan di jalan masuk menuju Nagekeo.
Namun ada sebuah perbukitan yang dari jauh bentuk terjal dan unik dan setelah kita sampai di bawahnya juga memiliki pemandangan yang cukup unik. Menurut informasi, perbukitan ini ada di daerah Beke. Jika dibukit-bukit sebelah jalan banyak tumbuh padang savannah maka di bagian landai bukit ini di beberapa spot tumbuh tanaman liat berbunga kuning yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Aku sendiri kurang tahu persis tumbuhan ini, namun karena tumbuh merata bukit ini jadi tampak istimewa.

Bunga-bunga kuning di perbukitan Beke (perbatasan Riung-Nagekeo)

Lala eh Kadek in action....... (parental guidance)
Aku tidak tahu persis apa nama tempat dan bukit ini selain bahwa daerah Beke, namun karena warna hijau dan kuning yang begitu dominan serta bentuk yang begitu menarik maka kami sepakati menyebut bukit ini dengan dengan bukit Teletubbies hehehe... Kami berangkat berempat persis dengan jumlah Teletubbies sehingga tiba-tiba kami saling menjuluki sesuai umur kami, jika aku menjadi Twingkie-Wingki karena aku yang paling tua, berarti si Nyoman menjadi Gipsie, Sukoco rela menjadi Poo dan Kadek harus mau dipanggil Lala.
Ah.. hahahaha.... rasanya jadi aneh tapi menyenangkan juga. Setelah berpenat diri berhari-hari bisa melepaskan diri dan bercanda tanpa beban pikiran membuat pikiran menjadi segar.
Membiarkan alam masa kecil bermain, berfoto gila-gilaan... dan berimajinasi seolah-olah seorang Sun Go Kong ada di balik bukit ini dan berlatih menjadi kera yang paling sakti, atau tiba-tiba ingin memahat bukit-bukti ini menjadi wajah-wajah kita....
Ah, ternyata memang setiap pria menyimpan jiwa anak-anak dan di saat tertentu akan muncul kembali.
Bagaimana Riung sendiri? Ah, ternyata aku masih di angka 80% ... entah perjalanan ke berapa bisa menjadi 100%....
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 27 Februari 2011

Waewini: Legenda Sebuah Kampung Yang Hilang


Nenek Wini Tange, begitulah nama perempuan tua itu. Penduduk biasa memanggilnya nene' Wini tapi beberapa perempuan lebih suka menyebutnya nene' Tange. Nenek Wini sama seperti penduduk kampungnya yang hampir seluruh hidupnya mengandalkan dari usaha berkebun dan bertani. Nene Wini juga memiliki beberapa ekor ternak peninggalan suaminya seperti ayam, babi dan kambing. 

Seperti halnya rumah-rumah di kampung ini yang berbentuk panggung, kandang ternak-ternaknya ada di bawah lantai rumah. Selain untuk kandang ternak, bagian bawah rumah juga digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan peralatan-peralatan berkebun.

Mencari kayu bakar di hutan adalah kegiatan lain yang juga umum dilakukan penduduk kampung, demikian juga nenek Wini apalagi setelah suami yang dicintainya meninggalkannya sendiri.  Suaminya meninggalkannya saat umur nenek Wini belum tua dan hanya meninggalkan seorang anak perempuan. Karena ditinggal mati suaminya dalam umur yang belum tua, beberapa lelaki mencoba mendekatinya untuk menjadikannya istri. Namun kecintaannya pada suaminya tak pernah luntur di hati nenek Wini hingga ia memutuskan untuk tetap menjanda dan mengurus sendiri anak perempuan semata wayangnya. Hingga suatu ketika anak perempuannya menikah dan mengikuti suaminya, maka tinggallah nenek Winni sendiri di gubuknya.

Sepeninggal suaminya, nenek Wini mencurahkan kasih sayangnya pada seekor babi yang juga menjadi kesayangan suaminya. Kecintaannya pada sang babi karena nenek Wini percaya bahwa ruh suaminya tetap menjaga melalui babi yang dipeliharanya ini.

Namun ada seorang penduduk kampung yang mendendam kepada nenek Wini karena merasa keinginannya untuk memperistri nenek Wini dulu tidak kesampaian. Rupanya rasa malunya tidak tertanggungkan karena sebagai orang yang tergolong kaya di kampung ini rasanya pamali jika tidak bisa mengambil wanita yang disukainya. Hingga suatu hari saat nenek Wini pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, datanglah beberapa penduduk kampung suruhan orang yang memendam kebencian kepada nenek Wini dan mengambil babi nenek Wini. Orang ini merasa karena babi nenek Wini-lah yang menyebabkan nenek Wini rela menjanda dan justru mengasihi babinya serta menolak untuk dia peristri.
Setelah menangkap dan mengambil babi nenek, laki-laki ini memutuskan membunuh babi ini dan dia sengaja membagi-bagikan daging babi ini ke seluruh penduduk kampung.

Singkat kata, saat senja nenek Wini pulang dan mendapati di kandang babinya tidak ada lagi babi kesayangannya. Dengan kaki tuanya nenek Wini mencoba bertanya ke tetangganya, namun tidak ada satupun penduduk kampung yang bisa memberitahukannya. Sebenarnya waktu kedatangan nenek Wini yang mencari tahu babinya yang hilang muncul syak wasangka bahwa daging pemberian yang mereka terima adalah babi nenek Wini namun karena mereka tidak berani memberitahu karena mereka terlanjur telah memasak dan memakannya.

Takut jika babi kesayangannya hilang membuat nenek Wini tetap mencari tahu kesana-kemari ke hutan dan penduduk sekitar namun semua menggelengkan kepala dan tidak ikut membantu mencarinya karena merasa bersalah telah ikut memakan daging babi nenek Wini.

Hingga menjelang tengah malam nenek Wini sampai di ujung rumah nenek Kawena yang merupakan temannya. Dan nenek Kawena bercerita bahwa dia kedatangan salah satu laki-laki yang memberikannya daging babi yang dari laki-laki yang dia tahu memiliki kebencian dengan nenek Wini. Karena merasa sesuatu, nenek Kawena menolak pemberian daging itu. Dengan menahan perasaan yang tak karuan nenek Wini pergi menuju ke rumah lelaki yang dulu pernah memintanya menjadi istri selepas ditinggal suaminya.

Namun seperti diduga, lelaki itu menolak kedatangan nenek Wini dan bahkan dengan kasar mengusirnya. Nenek Wini pergi ke belakang pekarangan rumah lelaki itu dan menemukan tulang-tulang yang dengan perasaan kuat hatinya dia bisa merasakan bahwa tulang-tulang itu adalah dari babi kesayangannya.
Dengan hati remuk redam dan cucuran air mata kesedihan nenek Wini membawa tulang-tulang itu ke gubuknya dan menguburkannya di samping rumahnya.

Setelah peristiwa itu nenek Wini menghilang menyepi ke tempat sepi karena rasa hatinya yang gundah gulana. Dalam penyepiannya itulah nenek Wini kedatangan seorang marapu yang menanyakan keberadaannya. Setelah diceritakan kesedihannya itu akhirnya sang marapu menyanggupi untuk membalaskan rasa sakit hatinya. Maka berpesanlah sang Marapu: "Besok sebelum matahari keluar dari peraduannya, keluarlah kamu dari kampungmu. Bawalah bekal sekedarnya dan ingatlah, sekali engkau meninggalkan kampung ini jangan sekali-kali menoleh ke belakang apapun yang terjadi."
Nenek Wini kembali ke kampungnya dan dalam perjalanan dia ingat akan keberadaan nenek Kawena, maka didatangilah nenek Kawena dan diceritakanlah pertemuaannya dengan seorang marapu. Nenek Wini mengajak nenek Kawena untuk ikut dengannya. 

Akhirnya. pagi-pagi buta nenek Wini telah siap dengan bekalnya dan menuju ke nenek Kawena agar bersama-sama pergi meninggalkan kampung ini. Namun ternyata nenek Kawena salah memasak bekal, ternyata waktu sampai di rumah nenek Kawena bakal bekal berupa ubi hutan yang sangat keras belumlah masak. 

Matahari hampir muncul saat bekal itu selesai dan mereka buru-buru berjalan meninggalkan kampung mereka. Baru beberapa waktu mereka berjalan, sang surya mulai menampakkan cahaya paginya dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara gemuruh dari arah belakang mereka. Karena getaran dan suara yang sedemikian keras tanpa sadar nenek Kawena menoleh ke belakang untuk mencari tahu apa yang terjadi. Maka pada saat itu berubahlah nenek Kawena menjadi sebuah batu. Menyadari hal itu betapa sedih hati nenek Wini namun dengan berat hati tetap dilangkahkan kakinya menjauh dari kampungnya.
Maka kampung nenek Wini tenggelam ke dalam tanah dan menjadi sebuah danau, dan sebuah batu berdiri menjulang di atas tanah yang agak tinggi, itulah yang disebut sebagai batu Kawena.



Demikian tutur yang aku dapatkan dari perjalananku ke sebuah danau Waewini. Sebuah danau yang berair payau yang tidak berada jauh dari pantai. Uniknya danau ini bukannya berasal dari sungai namun demikian air di danau ini tidak pernah kering.
Danau yang walau berair agak payau namun bening ini dikelilingi pepohonan besar yang membuat suasana di danau ini terasa rindang. Danau ini juga digunakan penduduk sekitar untuk diambil airnya bagi keperluan rumah tangga sehari-hari.
Ternak seperti sapi, kerbau atau kuda juga sering kemari untuk minum atau kadang dimandikan pemiliknya di danau ini.
Saya mohon maaf jika ada perbedaan cerita dari kisah ini, karena namanya legenda tentu dapat berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya. Tapi dari balik cerita ini kita bisa menemukan bahwa di banyak tempat kita bisa menggali kekayaan cerita yang dapat memperkaya batin kita.

Jika anda singgah di kabupaten Sumba Barat Daya, anda dapat menyinggahinya karena lokasi danau ini tidak jauh dari kota hanya memang kondisi jalannya masih buruk.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 01 Februari 2011

Eksotika Alam Sumba dan Marapu

Pantai Watumandorak, warna torquis (hijau kebiruan) begitu mendominasi warna air laut


Pantai Watumandorak dengan paduan alamnya yang eksotis

Menyebut Sumba seperti menyebut kata kuda itu sendiri. Begitulah kentalnya kuda sebagai bagian dari Sumba, seolah-olah semangat dan kekuatan kuda melahirkan putra-putra Sumba. Sebuah pulau yang keberadaannya berada di dekat perbatasan laut Indonesia-Australia, Sumba begitu identik dengan kuda dimanapun kaki menginjakkan kaki di tanah ini. Benak itu pula yang melingkupi setiap orang yang pertama menginjakkan kaki di Sumba.

Pantai Kita memiliki deretan pasir putih yang panjang

Tapi sesungguhnya Sumba melebihi dari itu, sekali kaki melangkah ke ujung-ujung tanah Sumba maka kita seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Kepercayaan Marapu yang masih kental melingkupi penduduk Sumba yang terutama tinggal di perkampungan seperti mencampakkan modernitas kita di tanah yang masih begitu asli. Ruh-ruh orang mati yang memiliki kemampuan untuk memberkati maupun mengutuk tanah Sumba menciptakan irama kehidupan yang kental bagi penduduk Sumba dalam berbagi keharmonisan dengan alam. Dari penampilan luar, akan terlihat bagaimana rumah-rumah dibangun, upacara-upacara dilakukan dan bentuk kubur batu yang berdiri menandakan bahwa kekuatan masa lalu masih memiliki akar dengan Sumba saat ini. Dan cobalah masuk lebih dalam, maka kekuatan bangunan, filosofi dan struktur hubungan masyarakat Sumba dengan alam begitu mewarnai jalan dan cara mereka beritndak.

Karang di Pantai Pero dan air laut berwarna torquis

Beberapa kali saya berkunjung ke kampung penduduk yang masih memegang kepercayaan Marapu namun mungkin perjalanan mengunjungi salah satu kerabat teman ke kampung Waikahumbu daerah Kodi terasa begitu berbeda karena membawa saya merasakan energi hidup orang Sumba.
Berjarak tempuh sekitar  satu jam ke arah utara dari kota Tambolaka sampai menuju pinggir laut di daerah Kodi Utara. Sebelum ke perkampungan, kendaraan mampir ke pantai Pero. Pantai Selatan daerah Sumba ternyata dipenuhi banyak karang namun juga hamparan pasir putih yang sama banyaknya.  Ombak yang tak terlalu besar memecah sebelum mencapai tepian, beruntung saat ini ombak selatan tidak terlalu besar.  Gugusan karang yang terjal ini menawarkan pemandangan lain, setidaknya anda bisa menikmati sunset berlatar semburan air laut yang masuk ke dalam celah lubang karang dan menyemprot saat menambrak dinding dalam. 
Bukan perjalanan yang pertama aku lakukan namun tetap saja memuntahkan decak setiap saya menginjakkan ujung-ujung tanah ini.  Hamparan pasir-pasir putih seperti melingkupi seluruh pantai Sumba, warna air laut hijau kebiruan bukanlah pemandangan langka. Karena terlalu terik dan mengingat tujuan sebenarnya, maka kami meneruskan perjalanan.

Rumah ada Sumba dan kubur batu tua di Waikahumbu

Menyusuri jalan aspal yang dipenuhi lubang-lubang dan sebagian jalan tanah di sepanjang  jalur pantai, kami melewati beberapa lokasi lapangan luas yang biasanya dipergunakan untuk pagelaran acara Pasola. Acara upacara adat berperang yang tiap tahun diadakan di Kodi sebagai bagian dari acara Pasola tahunan. Pasola adalah upacara untuk mengenang perang yang pernah terjadi antar kampung. Dalam pasola ini akan dapat disaksikan atraksi saling melempar tombak kayu dari atas kuda yang berlari. Tahun 2011 ini rencanya Pasola di daerah Kodi akan dilaksanakan tanggal 24 Februari sampai dengan 27 Februari yang biasanya diakhiri dengan acara Nyale.
Tengah hari kendaraan kami masuk ke kampung halaman teman. Beberapa rumah ada beratap ilalang dengan bentuk khas dan berdinding bambu tampak berdiri mengelilingi beberapa makam berbentuk persegi sedangkan bagian atasnya dipasangi batu persegi.  Satu bentuk penguburan yang berbeda dari orang Sumba adalah posisi orang mati. Jika umumnya orang mati dikubur tidur maka di penduduk Sumba yang masih memegang kepercayaan Marapu maka orang mati dikubur dengan posisi duduk dan kaki dilipat. Dengan bentuk seperti itu, satu kubur batu berbentuk persegi bisa diisi beberapa orang dalam satu keluarga.  Jika dikota kubur batu ini dari bentuk masih mempertahankan bentuk kubur batu persegi namun berasal dari semen maka di kampung masih bisa ditemui kubur-kubur batu yang masih menggunakan batu asli.

Anak-anak yang tinggal di kampung Waikahumbu

Saat mobil kami berhenti di depan salah satu rumah, beberapa anak berlarian mendatangi kami. Rupanya kami dikira penjual kredit yang biasanya mampir menawarkan dagangan. Suasana di rumah itu jadi terasa meriah. Dengan keramahan dan bentuk persahabatan yang tulus, tuan rumah menawarkan sirih pinang sebagai bentuk penerimaan dan perhargaan kunjungan tamu.
Di samping rumah ini terdapat rumah induk tapi secara adat hanya boleh dimasuki oleh keluarga besar adat dan orang dari luar tidak diijinkan sama sekali.
Rumah di Sumba ternyata tidak hanya memiliki atap yang unik tapi juga bentuk arsitektur yang unik dan menarik. Saya bahkan terkesan dengan cara mereka membuat tingkatan kamar-kamar dan ruang bersantai.  Bagian bawah tentu saja bagian yang digunakan untuk memelihara kuda dan babi serta persediaan kayu bakar. Bagian tengah adalah rumah tempat tinggal dengan kamar-kamar bagian pinggir sedangkan bagian tengah adalah dapur. Sedangkan tingkatan atas menjadi tempat menyimpan hasil kebun atau lumbung keluarga.
Disini penduduk sekitar belum menikmati listrik, jika ada rumah yang menikmati listrik biasanya berasal dari panel tenaga surya bantuan. Untuk kebutuhan minum juga biasanya masyarakat membangun sumur.

Pemiliki rumah bersama anak-anaknya

Setelah selepas melepas lelah sekaligus makan siang di sini, kendaraan kami melanjutkan perjalanan setelah singgah sebentar di pantai Waikahumbu. Menuju ke perjalanan ke arah Watumandorak kami menemukan kenyataan menyedihkan. Beberapa rumah adat yang hancur ditinggalkan pemiliknya. Dari informasi ternyata pemiliknya memilih membangun rumah ke kota dan meninggalkan rumah hingga hancur tanpa ada yang menjaga. Godaan modernitas secara pelahan mulai mengikis jiwa dari penduduk Sumba.
Melewati jalan bertanah yang tidak bisa dikatakan rata kami harus beberapa kali memutar balik kemudi karena terlewat. Perjalanan ini menjadi setengah petualangan karena ternyata tidak satu pun dari kami yang tahu persis tempat itu. Namun itu justru membuat perjalanan menjadi tambah menyenangkan. Kadang-kadang kita tidak perlu tahu dan membiarkan pikiran menebak sesuatu untuk membuat pengalaman kita lebih kaya.
Setelah lebih dari satu jam akibat kondisi jalan yang membuat kami menjalankan kendaraan dengna pelan akhirnya kami sampai di pantai Watumandorak. Sebuar pantai yang memiliki ceruk yang terhalang karang. Hamparan pasir putih dibalik ceruk begitu menawan berpadu dengan warna torquis yang begitu kental.

Salah satu rumah yang roboh ditinggal pemiliknya di Kodi

Sungguh kami harus mendecakkan bibir menemukan keindahan pantai ini. Sebuah bangunan khas Sumba berdiri anggun di atas karang di pinggir pantai dengan berpagarkan susunan batu putih. Menurut informasi, bangunan ini dimiliki oleh orang Perancis, bangunan yang sungguh elegan seakan melengkapi eksotika tempat ini.
Saat ini Sumba Barat Daya dalam gerakan membangun, sebagai sebuah daerah pemekaran baru. Napas pembangunan dan modernitas mulai bergulir. Entah apakah napas Marapu dari penduduk Sumba masih bisa dipertahankan terutama dalam filosofinya yang berdampingan dengan alam atau kah yang hadir adalah modernitas yang mengikis kekuatan hidup dan energi Marapu orang Sumba.

Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 08 Januari 2011

Monumen Jalesveva Jayamahe - new welcome city icon Surabaya

Monumen Jalesveva Jayamahe (MONJAYA).


Monumen ini berada dalam kawasan pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) di Surabaya.Pangkalan TNI AL ini adalah sebagai Komando Armada RI Kawasan Timur. Monjaya diresmikan pada tanggal 5 Desember 1996 oleh Presiden Soeharto.


Dr. Nyoman Nuarta dkk yang mengarsiteki patung yang tingginya 31 meter dan berdiri diatas bangunan setinggi 29 meter ini.Di dalam bangunan ini terdapat diorama sejarah perjuangan para pejuang bahari TNI AL dari jaman prarevolusi fisik sampai awal tahun 1990.


Patung ini menggambarkan Perwira TNI AL yang berpakaian lengkap menatap ke arah laut (selat Madura) sebagai simbol tongkat estafet dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya.


Selain sebagai monumen, gedung ini juga berfungsi sebagai menara lampu pemandu (mercusuar) dan executive meeting room.


Kehadiran Monjaya sebagai new welcome city icon dapat disejajarkan dengan patung Merlyon di Singapura dan patung Liberty di New York Amerika Serikat.


Foto & Teks oleh: Arum Mangkudisastro.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 30 Desember 2010

Melihat Indonesia Kurang Dari Satu Meter

-------------- kecantikan tak selalu berasal dari yang begitu dipuja ----------------
Mungkin sudah hampir satu bulan ini aku seperti kehilangan energi untuk mendapatkan gambar-gambar alam Indonesia yang begitu indah. Bukan karena tidak ada tempat yang menarik selama aku mengunjungi tempat baru tapi lebih karena faktor cuaca yang membuat sebagian semangat untuk melakukan penjelajahan agak meluntur.



white lotus: don't be apart
Perjalanan yang sempat aku lakukan pun tak lebih seperti sebuah perjalanan ulangan dengan suasana yang lebih buruk, cuaca yang tidak bersahabat, mesin kapal-kapal yang tiba-tiba mati satu. Jadilah perjalanan ke pulau Rinca menjadi sebuah acara setengah hati.


Menikmati blog yang terlalu kosong juga rasanya kurang nyaman. Lalu aku berfikir, kenapa tidak sekali-kali menampilkan sisi “indah” Indonesia dari sisi yang lebih kecil. Dunia makro dan bunga tampaknya adalah keindahan lain Indonesia. Indonesia punya beribu keanekaragaman jenis bunga dan kumbang yang luar biasa.


Dengan bekal sebuah kamera yang masih “biasa” bahkan “under”, aku mencoba berbagi gambar-gambar makro, bunga-bunga dan yang kutemui. Dengan kreatifitas seadanya,tambah perangkat sana tambah perangkat sini supaya gambar-gambar tersaji sedikit “cantik”.


Semoga lain kali bisa mempersembahkan kembali alam Indonesia yang luar biasa.


----------- meninggalkanmu -----------------


in diagonal lines of green


kepik merah: mencari sari


yang ditepi jalan begitu menggoda


putih-putih bertebaran


bulir-bulir embun di pagi hari


belalang hijau: generasi baru


anggrek: saat berbungamu memancing cemburu

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 09 Desember 2010

Manggarai Barat: Menuju Ikon Dunia

View dermaga Labuan Bajo senja hari dari Puncak Waringin (picture taken 29/11/2010 18:39:36)

Bagi yang pernah singgah di Labuan Bajo, tidak akan heran bila mengetahui bahwa Labuan Bajo, ibukota dari Kabupaten Manggarai Barat ini memiliki hotel berbintang yang lebih banyak daripada hotel di Kupang, ibukota dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah alam yang menjanjikan wisata alam luar biasa, potensi yang mulai dilirik olah para investor baik dalam negeri maupun investor asing.

Senja hari di daerah pendinginan ikan
Kabupaten yang berada diujung pulau Flores ini memiliki kontur alam yang membuat kita mengganggukkan kepada betapa banyak potensi yang mungkin tergali dari daerah ini. Kabar terkuat belakangan ini justru dari keberadaan pulau Komodo yang sedang dalam pertarungan di dunia untuk menjadi satu dari keajaiban alam.
Sebuah pesawat bermesin baling-baling mendaratkan rodanya di bandara Komodo saat kulirik jam 09.00 WITA, aku menunggu kedatangan seseorang hampir setengah jam sampai akhirnya memastikan bahwa pesawat tiba saat keudengar bunyi sirine dari menara pengawas bandara. Ini adalah hari ketiga aku di Labuan Bajo, sebuah tugas dari kantor telah membawaku ke tempat ini. Bukan pertama kali aku kesini, tapi mungkin saat inilah waktu terpanjang aku kesini setidaknya sampai seminggu ke depan.

Pasir putih dan kawasan terumbu karang di P. Bidadari
 Walaupun lebih dari seminggu aku disini, bukan hal gampang untuk mempersiapkan perjalanan. Total sampai hari ketiga ini, aku belum melakukan perjalanan jauh. Aku hanya bolak-balik ke mampir dermaga pelabuhan atau sekedar berjalan-jalan ke arah pasar ikan. Di depan pasar ikan banyak berdiri lopo-lopo yang seharusnya digunakan untuk orang duduk-duduk tapi justru digunakan pedagang untuk berjualan makanan dan minuman. Tapi kalian harus rela menahan napas jika kendaraan berat lewat karena kondisi jalan yang rusak dan banyak timbunan tanah membuat debu tebal berterbangan begitu kendaraan besar lewat.
Kalo sore dan langit tidak terlalu mendung, maka aku akan menyempatkan diri naik ke atas bukit dimana terdapat satu tempat yang menarik untuk melihat kota Labuan Bajo, namanya Puncak Waringin. Di Puncak Waringin ini berdiri bangunan yang dibangun oleh pemerintah setempat dan sekarang tempat ini telah menjadi hotel dan restauran. Sayang sekali, padahal tempat ini sangat menarik jika dijadikan ruang publik dan tidak ada bangunan seperti hotel ini. Dari atas Puncak Waringin ini, dapat kulihat kontur Manggarai Barat yang berbukit-bukit dengan banyak pulau-pulau seperti saling menutup menjadi perairan disini terlindung dari gelombang laut. Bahkan sering sekali laut di sini terasa tenang sekali seperti air danau.

Suasana pagi hari di dermaga pelabuhan
Untunglah akhirnya aku mendapatkan sebuah motor pinjaman yang dapat kugunakan untuk berjalan-jalan sore hari sepulang tugas kantor. Perjalanan darat pertama aku mencoba menyusuri kawasan jalan menuju pantai Pede, sebuah ikon wisata lokal yang sama sekali tidak menarik menurutku. Sebuah tempat wisata lokal yang pantainya telah kotor tercemari sampah penduduk yang tinggal di perkampungan Bajo di sebelah pantai Pede.
Tapi disamping pantai Pede sendiri terdapat bangunan hotel New Bajo Beach yang tampaknya sudah lama berdiri. Beberapa bangunan lama seperti villa-villa berdinding bambu tampak menganggur dan dalam kondisi rusak, padahal dulu aku sering melihat bule (wisatawan asing) backpacker tinggal disini.
Sebuah bangunan baru juga tampak baru dibangun di sebelah kanan pantai Pede, katanya teman yang bekerja di pemerintahan, bangunan itu adalah calon hotel bintang lima. Sebuah hotel lain yang akan melengkapi keberadaan hotel berkelas lain seperti hotel Bintang Flores dan hotel Jayakarta. Dari bangunan dan jalan yang baru dibangun, tampaknya arah pembangunan hotel dan tempat hiburan akan diarahkan ke tempat ini. Bangunan-bangunan baru yang berdiri ini seperti mengisyaratkan kesiapan investor untuk menjadi daerah tujuan wisata kelas dunia. Apalagi jika pulau Komodo nantinya berhasil menjadi salah satu ikon keajaiban alam dunia.
Disepanjang jalan utama dari Labuan Bajo banyak dipenuhi hotel dan tempat-tempat yang menawarkan jasa travelling dan tempat kursus diving karena memang salah satu yang menarik dari Manggarai Barat adalah banyaknya lokasi-lokasi terumbu karang yang indah di sepanjang alur pantai di pulau-pulau.
Saya juga sempat menikmati perjalanan darat ke arah perbukitan sebelah barat Labuan Bajo dimana mengantarkan saya sampai ke tempat pendinginan ikan. Sebuah dermaga kayu kecil memanjang yang digunakan nelayan-nelayan yang akan menyetorkan ikannya ke tempat ini. Arinya begitu tenang dengan ikan-ikan warna-warni yang begitu mudah ditemui mata. Sayang sekali, sekali lagi saya menemukan pantai yang begitu banyak sampah padahal jika di tempat ini bersih dari sampah, saya akan menemukan tempat yang menarik untuk disinggahi.
Baru pada hari kedelapan, saat bersamaan tim kerja memiliki waktu longgar kita bisa merencanakan perjalanan ke luar pulau. Sebenarnya awal kita akan merencanakan perjalanan ke pulau Komodo tapi berhubung jarak tempuh yang sekitar 4 jam sedangkan hari ini ada tim yang harus kembali ke Kupang, maka kita memutuskan untuk mengunjungi pulau Rinca. Pulau Rinca adalah pulau lain yang juga menjadi habitat hidup Komodo.


Pak Arman di atas perahu memasuki Loh Buaya
  Kami menggunakan perahu motor teman bernama pak Armansyah, yang kebetulan juga memiliki sebuah kapal wisata bernama Sibanaha, sebuah perahu bergaya pinisi yang juga berfungsi sebagai penginapan terapung. Sebuah sensasi yang layak anda coba jika suatu ketika kesini, perjalanan anda ke pulau-pulau dengan pantai nan eksotis dan diving diantara terumbu-terumbu karang yang tersebar di pulau Bidadari, Seraya Besar, Seraya, Rinca, Komodo, Kanawa dan beberapa pulau lain tak akan terlupakan, apalagi menikmati makan malam berlatar matahari terbenam disebuah kapal pinisi yang tertambat di tengah laut yang begitu tenang.
Perjalanan ke pulau Rinca ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam, di antara jarak itu, mata kami disuguhi landskap Manggarai Barat dan beberapa pulau yang begitu indah. Laut yang begitu tenang terbelah mesin perahu motor kami. Suara raungan moto perahu seperti tidak terdengar karena aku begitu terpaku pada setiap view yang lewat di depan mata. Setelah melewati selat Molo, sebuah tempat yang harus diwaspadai karena arus yang kadang sangat kencang, tak lama kemudian kami mulai memasuki ceruk ke dalam melewati Loh Timah menuju ke Loh Buaya.

Seekor anak komodo mengintip dari rerumputan

Komodo tertua di P. Rinca yang dipanggil the Big Boss
Loh Buaya terletak di ceruk pulau Rinca sehingga laut di sini tenang sekali, perahu kami seperti membelah sebuah kaca raksasa karena pantulan pulau-pulau begitu sempurna tergambar. Sederetan hutan bakau menyambut kami menyusul pemandangan sebuah dermaga yang bertuliskan Selamat Datang di Pulai Rinca menyambut kami. Kami melihat beberapa kano bersandar disebuah sisi perahu yang agak besar. Menurut pak Arman, kano-kano modern ini yang sering digunakan olah wisatawan asing untuk menjelahi pulau Rinca dari perairan. Sensasi petualan yang ingin saya jajal nanti.
Beberapa ekor monyet bertengger di pohon bakau menyambut kedatangan kami, dari dermaga masuk ini kami harus berjalan sekitar 400 meter menuju sebuah kawasan bangunan milik penjaga. Beberapa ekor komodo tampak tak antusias menyambut kami, setidaknya itulah yang kami inginkan, karena kami tak ingin menjadi santapan mereka. Sebuah anak komodo kecil menarik perhatianku, ukurannya yang seperti biawak dewasa tampaknya menarik apalagi dengan gerakannya yang cenderung lebih gesit dari pada induknya. Dengan ditemani seorang penjaga yang selalu memegang tongkat bercabang seperti ketapel, kami memasuki ke kawasan yang lebih dalam kami disambut beberapa ekor komodo yang ukurannya jauh lebih besar. Menurut penjaga tersebut, komodo di pulau Rinca ini ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang ada di pulau Komodo. Sebenarnya dua habitat berbeda ukuran ini adalah satu jenis, namun berbedaan ekosistem tempat habitat mereka rupanya mempengaruhi ukuran tubuh komodo.
Sebelum kami kembali ke Labuan Bajo, kami menyempatkan diri berenang di pulau Kelor, sebuah pulau yang malah sebenarnya tidak ada pohon Kelor. Entah apa makna dari nama pulau Kelor ini. Hamparan pasir dan laut yang begitu jernih menyambut kami, kesempatan yang tidak kami sia-siakan tentunya walaupun ada yang harus kami tebus: kulit yang makin terbakar. Ah, kesenangan yang tidak tergantikan dengan hanya sebuah kulit yang terbakar matahari. Siang tidak menjadi penghalang kaki-kaki mengayuh di beningnya air Pulau Kelor.
Inilah Manggarai Barat, potensi-potensi wisata luar biasa yang terbentang dengan keterbatasan-keterbatasan infrastruktur dan prasarana seolah saling bertarung untuk menentukan: apakah Kabupaten ini berhasil mengatasi hambatan infrastruktur dan menjadi menjadikan salah satu pulaunya menjadi ikon wisata dunia ataukah menjadi sebuah kota yang nyaris menjadi tempat wisata dunia yang ditinggalkan.
Rasanya dibutuhkan hubungan yang lebih baik antara pemerintah dan komponen masyarakat yang peduli wisata di Manggarai Barat untuk membuatnya menjadi tempat yang layak untuk dikunjungi. Mari kita dukung pulau Komodo menjadi salah satu keajaiban dunia.

Vote Komodo!
http://www.new7wonders.com/community/en/new7wonders/new7wonders_of_nature/voting

catatan: Jika anda tertarik untuk menyewa kapal motor "Sibanaha" yang bergaya pinisi untuk menikmati perjalanan anda di wilayah Nusa Tenggara Timur atau Nusa Tenggara Barat, silahkan hubungi saya atau pemilik langsung kapal Sibanaha.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya