Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 23 September 2010

Danau Ranamese: Keheningan

Danau Ranamese, siapapun yang pernah melakukan perjalanan darat ke kota Ruteng menuju Borong atau sebaliknya pasti pernah melewati tempat ini. Danau Ranamese memang terletak di tepi jalan raya antara Ruteng (Kabupaten Manggarai) dan Borong (Kabupaten Manggarai Timur) dalam kelebatan hutan Poco Ranaka. Secara administratif, danau ini masuk wilayah Kabupaten Manggarai Timur. Meski demikian, perjalanan ke danau ini lebih dekat ditempuh melalui Ruteng dengan jarak sekitar 30 km.

Sebenarnya ini perjalananku yang ketiga mengunjungi danau Ranamese. Namun dari dua kali singgah kesini sebelumnya, aku hanya berjalan-jalan tanpa mengambil foto satu kali pun (karena waktu itu aku memang belum memiliki kamera digital).

Entah karena belakangan ini terjadi anomali cuaca atau karena apa, bulan-bulan September ternyata Ruteng tempat aku memulai perjalanan setiap siang atau sore selalu tertutup kabut yang kadang disertai hujan.

Namun niat yang kuat untuk kembali mengunjungi danau Ranamese membuat aku dan seorang teman tak menyurutkan niat meski perjalanan kali ini hanya dengan sebuah sepeda motor sewaan dari pemilik hotel Sinda, pak Stefanus yang bisa kami panggil pak Nus

Berbekal sebuah tas ransel yang telah kami isi dengan beberapa makanan kecil dan minuman. Selepas jam 08.00 pagi kami melajukan kendaraan dari kota Borong ke arah timur. Perjalanannya sendiri tidaklah mulus, karena kami beberapa kali dihadang longsoran-longsoran tanah akibat hujan. Alam Flores yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung memang rawan longsor karena kondisi tanahnya yang labil.

Karena bekas longsoran ini sehingga jalan-jalan banyak dipenuhi tanah-tanah liat yang membuat jalan menjadi licin apalagi gerimis masih turun di beberapa tempat meskipun tidak merata. Karena itu kami harus melambatkan kendaraan agar tidak slip.

Pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh menawan sehingga rasanya kami ingin berhenti tiap saat untuk duduk menikmati ataupun sekedar mengarahkan kamera. Namun karena kami tidak ingin didahului kabut yang biasanya sering turun di danau Ranamese maka kami menguatkan untuk tidak berhenti, praktis kami hanya berhenti dua kali saja.

Setelah melewati daerah Poco Ranaka, tak berapa lama kendaraan kami sampai masuk di kawasan hutan lindung yang nampak begitu lebat. Lagi-lagi kami disambut gerimis yang agak keras. Untunglah, tak lama kemudian kami sampai di atas tanjakan dimana ada bangunan tembok tinggi dimana ada sebuat warung kecil berdiri di situ. Kami memutuskan singgah di warung untuk sedikit mengeringkan badan serta menikmati kopi panas yang tentu nikmat di waktu seperti ini.

Bangunan tembok tinggi itu berdiri tepat di tikungan menurun. Menurut teman-teman yang bekerja di pemerintahan, tembok ini sengaja dibangun untuk menghalangi pandangan orang-orang yang ada di dalam kendaraan dapat melihat langsung ke arah danau Ranamese yang ada di bawah. Karena memang dulu, di tempat itu orang bisa melihat danau Ranamese tanpa harus turun ke bawah, bahkan tanpa turun dari kendaraan. Akibatnya sering terjadi kemacetan di tempat ini, padahal jalan ini adalah akses satu-satunya dari Borong-Ruteng. Dengan adanya tembok ini, maka orang harus turun terlebih dahulu dan masuk dibalik tembok untuk dapat melihat danau Ranamese dari ketinggian.

Selesai minum kopi, kami dikejutkan dengan kondisi ban motor depan yang bocor. Untunglah pemilik warung punya peralatan untuk menambal ban itu. Walhasil, kami menitipkan kendaraan itu ke pemilik warung dan kami berjalan kaki turun menuju ke pintu masuk danau Ranamese.

Di pintu masuk danau ini sebenarnya ada beberapa bangunan milik dari KSDA yang sudah tidak terpakai sehingga beberapa lopo yang dulu dibangun juga sudah rusak tak dapat digunakan.

Beberapa orang setempat mengatakan tempat ini penuh dengan mistis dan beberapa kejadian aneh. Salah satu khas yang kami tahu setiap kali kendaraan melewati daerah ini pada malam hari pasti membunyikan klakson panjang beberapa kali. Waktu kita tanyakan kepada sopir-sopir itu, mereka katakan bahwa mereka membunyikan klakson untuk meminta ijin lewat daerah ini. Kalau tidak, tanya saya.. wah, beberapa cerita seram mengalir dari mulut mereka. Kebenarannya? Wallahualam....

Begitu turun ke danau kami disambut pemandangan beberapa orang yang tampaknya begitu asyik memancing dan mereka tidak saling berkumpul melainkan saling berpencar beberapa jauh. Wah, padahal air udara disini dingin sekali. Tempat ini terletak di atas 1000 meter di atas permukaan air laut serta hutan lindung dengan pohon-pohon besar jadi pantas jika suasananya dingin.

Pokok-pokok pohon besar yang ditumbuhi lumut dan tumbuhan pakis, air danau yang begitu tenang dengan pantulan airnya yang tampak hijau seperti menyihir mata kami. Meskipun awan tetap menyelimuti tempat ini namun warna-warna yang menawan antara daun-daun pepohonan yang berwarna hijau dengan beberapa pohon yang daunnya telah menguning bahkan memerah seperti menciptakan kontras warna yang saling melengkapi.

Perjalanan mengelilingi danau ini agak sulit sehingga sebaiknya menggunakan alas kaki berbahan karet yang bagus karena selain jalurnya yang sempit dan seringkali dihalangi batang-batang pohon yang tumbang, jalur-jalur itu juga dibatasi lereng yang curam, salah sedikit kaki melangkah berarti siap-siap tercebur ke dalam danau. Ingin tau seberapa dingin air di danau ini? Rasanya tidak berlebihan jika pada waktu tertentu terutama pada bulan-bulan Juli maka anda akan seperti es yang dicairkan.

Suasana danau memang terkesan mistis, namun keheningan dan suasana alamnya sungguh menghanyutkan. Suguhan keindahan komposisi karya Tuhan seperti mozaik yang ditaburkan dengan begitu sempurna baik di musim berbunganya maupun dimusim gugurnya.
Pemancing di danau ini tidaklah banyak, sebagian besar yang saya tanyai adalah penduduk sekitar danau ini yang tinggal di daerah Gololoni. Bahkan kalau sudah asyik memancing mereka bisa asyik sampai malam sambil membuat perapian biar tetap hangat.

Bahkan waktu itu saya melihat jam 10.00 mereka sudah membuat api, ya karena memang udara disini walaupun siang hari tetep akan sejuk bahkan dingin pada waktu-waktu tertentu.
Oh, bagi yang penggeli terhadap lintah juga harap berhati-hati karena lintah banyak sekali di danau ini, saya sendiri harus merelakan darah dihisap setidaknya 3-4 lintah.


Selepas jam 11.00 saya dan teman memutuskan kembali karena batere kamera teman sudah habis sehingga tidak bisa memfoto lagi. Padahal kita belum sampai seperempat lingkaran danau, dan terus terang pemandangan di seberang danau tampak begitu menawan dengan juntaian tanaman-tanaman merambat dipohon besar, jembatan kecil dengan rumput-rumput ilalang yang begitu hijau...

Akhirnya kita kembali ke warung karena kabut turun dengan cepat sehingga danau menjadi tertutup dan tak bisa dilihat lagi. Danau Ranamese memang kalau tertutup kabut sering sulit untuk bisa dilihat lagi meski dalam jarak dekat karena kabut yang turun seringkali tebal sekali sehingga jarak pandang teramat pendek.


Namun pengalaman ini sungguh menyenangkan, tampaknya aku harus mengunjunginya lagi setidaknya untuk bisa memutari seluruh kawasan danau ini.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 13 Juli 2010

Di Ketinggian Kota Bajawa (1)


Sungai Waewoki diambil pada waktu menjelang petang pukul 18.12 dengan bukaan selama 13 detik

 Pesawat mendarat di bandara Turulelo Soa sekitar pukul 8 pagi, cukup cerah untuk dinikmati. Hawa sejuk cenderung dingin langsung menyergap kami, ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut membuat kota ini selalu diselimuti dingin apalagi pada bulan Juni-Juli. Beberapa lelaki hidir mudik di ruangan tunggu kedatangan menawarkan angkutan menuju kota Bajawa. Kebetulan karena kami sedang dalam tugas sehingga sudah ada yang menjemput kami, namun apabila tidak ada yang menjemput dengan biaya sekitar 50ribu-an sebuah mobil berplat hitam dapat mengantarkan anda ke ibukota Kabupaten Ngada ini.

View dari hotel Edelweis lantai 4 pada saat kabut tebal mulai menyelimuti

  Perjalanan menuju Bajawa yang berjarak sekitar 21 km dari bandara ini terasa menyenangkan, melewati perkampungan dan hutan-hutan yang rimbun membuat kendaraan yang melaju di jalan berkelok-kelok tidak terasa.

Kesan pertama begitu kami memasuki jalan masuk ke Bajawa seperti masuk di kawasan perumahan. Bagaimana tidak, kota Bajawa yang terletak di cekungan seperti sebuah piring yang dipagari barisan pegunungan. Akses jalan keluar dan masuk ya jalan ini, persis sebuah perumahan yang tertutup yang gerbang masuk keluarnya tunggal kan?
Perumahan di kota Bajawa sebagian masih bergaya lama, beberapa bangunan mengingatkan bahwa tempat ini pernah menjadi tempat persinggahan orang-orang Purtugis atau Belanda dulu.
 
Bunga-bunga kecil diambil di depan hotel Kembang

 Jam setengah sembilan, mobil carter kami memasuki areal hotel Edelweis. Beruntung saat itu tidak ada kendaraan terparkir sehingga mobil bisa masuk tidak harus berhenti di pinggir jalan. Hotel Edelweis memiliki gambaran seperti halnya losmen-losmen di Jawa, sama seperti halnya beberapa hotel yang tersebar di kota Bajawa ini. Namun yang paling menarik dari hotel yang berada di pinggir jalan keluar masuk kota Bajawa ini adalah kontur tanah berbukit yang menyebabkan posisi kamarnya bertingkat. Jika mau memilih kamar yang berada di belakang maka kita bisa menikmati pemandangan gunung Inerie yang sering tersaput kabut tebal bagian puncaknya pada sore hari. Maka kegiatan yang cukup menyenangkan di pagi atau sore hari adalah menikmati pemandangan kota Bajawa berlatar gunung Inerie di bagian paling belakang hotel di lantai paling atas. Bunga-bunga begitu segar di sekeliling hotel juga bagian yang saya nikmati dari hotel ini.

Pemandangan sungai Waewoki dengan pengambilan petang hari

Sore setelah selesai dengan pekerjaan pasti saya sempatkan berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Rasanya tak lama untuk mengenal tempat ini, kota yang kecil yang mungkin tak lebih besar dari sebuah kawasan perumahan bertipe sedang di Jawa. Bahkan karena kecilnya kota ini, kaki saya sampai harus ajak berkeliling keluar agak jauh.

 Ada satu sungai yang mengelilingi separo kota Bajawa yang beberapa kali saya datangi. Sungai yang alirannya bening ini masih digunakan sebagian penduduk Bajawa yang terutama di pinggir kota untuk melakukan aktivitas seperti mandi, mencuci atau mengambil air. Di pinggir sungai ini dengan mudah kita temui pohon-pohon bambu yang batangnya panjang lurus yang menjadi salah satu bahan utama rumah penduduk di Bajawa. Bahkan atap rumah yang menggunakan bambu banyak saya temui disini, unik sekali. Oh iya, bambu di Bajawa ini ukurannya besar-besar dengan batang yang lurus dengan sedikit cabang. Dari kualitas bambunya sebenarnya bambu-bambu ini sangat berpotensi dikembangkan.

Pemandangan yang berselimut kabut dari gunung
Inerie diambil dari gunung Inelika

Sebenarnya saya senang sekali menikmati sungai yang airnya terasa dingin di kaki ini, namun dari banyaknya sampah tersangkut di pinggir atau di bekas-bekas kayu melintang menunjukkan masih adanya kebiasaan beberapa masyarakat yang membuang sampah ke sungai.

 Semakin kaki saya melangkah semakin banyak yang ingin saya kenal dari Kabupaten Ngada ini. Rasanya menyenangkan sekali menyaksikan penggalan masa lalu tercipta di sini karena di sini lah saya bisa menemukan budaya lama (Megalitikum) yang masih hidup bersama masyarakatnya.
Hampir semua tempat yang pernah saya kunjungi membuat saya terkesan. Seperti perjalanan tanpa bekal yang cukup yang membuat saya terkapar sendirian di tepi kawah gunung Inelika sampai harus memakan buah-buahan yang saya gak tahu namanya (rasanya asam manis yang biasanya pertanda buah yang tidak beracun) untuk mengambil airnya. Sayangnya saat itu, kawah gunung Inelika baru saja kering sehingga waktu disana saya hanya bisa menyaksikan kawah yang sedang kering dengan sisa-sisa pohon kering.

Susunan batu berlumut yang digunakan untuk tempat
menambatkan hewan piaraan. Lokasi Kampung Bena

Aliran percabangan air dingin san air panas di Sumber
Air Panas Soa, sekitar 13 km dari Bajawa

Meskipun sisa-sisa budaya Megalitikum masih bisa ditemui di banyak tempat, namun tempat yang masih kental nuansanya dapat di saksikan di Bena. Jika harus membuat daftar kunjungan wajib jika di Flores, maka Bena adalah salah daftar wajib yang harus anda kunjungi.

Di Bena, anda bisa menyaksikan sebuah perkampungan yang berbentuk melingkar dengan nuansa Megalitikum yang masih kental dan menyaksikan dari dekat bagaimana aktivitas yang mereka jalankan.
Ada juga air terjun Ogi yang sayang potensinya masih belum diperhatikan oleh pemerintah.
Air terjun yang terletak di celah bukit dengan debet air yang sangat kencang ini cukup menjanjikan suasananya. Sebenarnya air terjun Ogi ini bisa menjadi salah tempat tujuan wisata yang layak bila dibenahi. Untuk mencapai kesana waktu itu saya harus bersedia melewati pematang sawah sejauh hampir satu kilometer tanpa ada akses jalan sama sekali. Menurut informasi, sebenarnya disini pernah dibangun akses jalan, namun seiring kerusakan yang tidak ada perbaikan lama-lama jalannya terkubur tak berbekas.

Pemandangan laut di salah satu pulau berterumbu karang
di kawasan Taman Laut 17 Pulau di Riung, Bajawa

Bagi yang ingin merasakan air panas, maka daerah Detusoko menjanjikan tempat pemandian air panas di Soa. Sumber air panas yang letaknya dekat dari bandara ini memliki sumber air panas yang cukup besar. Tempat yang menyenangkan untuk berendam apalagi setelah merasakan dinginnya air di Bajawa yang membuat kita menjadi malas mandi.


Masih ada lagi potensi yang berkelas dunia di taman laut 17 pulau yang berada di Riung. Meskipun jarak yang cukup jauh dari Bajawa sekitar tiga jam dengan perjalanan darat yang berliku-liku, namun semua kesulita itu akan terbayar begitu kita menikmati alam Riung, pulau-pulau berpasir putih dengan keunikan masing-masing, taman lautnya yang begitu bening dengan terumbu karang yang memukau. Namun lagi-lagi yang harus saya ingatkan adalah keterbatasan fasilitas di tempat ini, jadi jangan lupa membawa peralatan sendiri termasuk alat snorkling atau peralatan selam jika anda tertarik ke tempat ini. Namun yang tidak pun tidak akan kecewa dengan keindahan pulau-pulau yang ditawarkan tempat ini.

Rasanya bercerita tentang Ngada tak akan cukup dengan satu kali tulisan, mungkin untuk lebih detil masing-masing tempat ini akan saya sajikan dalam gambaran tersendiri.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 26 Juni 2010

Larantuka: Kota Seribu Kapel

Mengunjungi pulau Flores rasanya belum lengkap tanpa menyentuh kota Larantuka, ibukota dari Kabupaten Flores Timur. Sesuai dengan nama kabupatennya, kota ini memang terletak paling timur dari pulau Flores dimana kepala naga Flores berada.
Bagi pecinta lagu-lagu dari kelompok Boomerang pasti tidak asing dengan salah satu judul lagu "Larantuka" yang diciptakannya. Saya tidak tahu persis apakah lagu itu terinspirasi dari kedatangan salah satu personelnya ke kota ini.
Larantuka ini bentuk kotanya memanjang, hal ini dikarenakan kontur geografisnya yang kurang lazim untuk sebuah kota. Jadi Larantuka ini disisi barat laut adalah daratan yang langsung berdiri perbukitan dan gunung dan sisi tenggara langsung berhadapan dengan laut. Praktis geografis semacam ini membuat kota jadi berdiri memanjang.
Yang kutahu, tiap tahun kota Larantuka dibanjiri orang dari segala tempat terutama dari Nusa Tenggara Timur untuk merasakan perayaan Paskah. Ya, Larantuka memang menjadi pusat perayaan Paskah disini bahkan untuk perayaan misa Paskah bahkan ada wakil dari Vatikan yang hadir di kota ini.
Aku sendiri lebih suka menyebut kota ini sebagai Kota Seribu Kapel. Rasanya setiap kaki melangkah kita bisa menemui kapel. Jika kita berada di sekitaran taman kota yang memanjang sepanjang garis pantai, kita akan melihat beberapa altar di depan kapel-kapel itu.
Salah satu altar yang menarik perhatian saya adalah altar yang berdiri di depan kapel Tuan Ma dan Tuan Ana. Sebuah patung besar berwarna putih menghadap alter dengan tulisan Mater Dolorosa, atau bisa diartikan Bunda Dukacita. Patung itu menggambarkan Bunda Maria yang sedang meletakkan Yesus di pangkuannya dengan tatapan wajah sedih.
Di sana juga berjejer 12 bangunan memanjang yang tiap-tiap bergambar pahatan logam kuningan tentang kisah penyaliban Yesus.
Terus terang aku tidak terlalu mengerti semua cerita itu tapi setidaknya ada warna menarik yang aku tangkap dari tempat ini.
Rasanya patung bunda Maria sangat mudah ditemui di tempat ini. Bahkan aku pernah melihat yang sayangnya tidak sempat diambil gambarnya patung Bunda Maria yang berdiri megah di salah satu pulau di depan pelabuhan ferri Larantuka. Patung ini mengingatkan saya tentang salah satu foto Yesus di Brasil.
Aku juga tertarik melihat kebiasaan orang untuk meting (mencari ikan saat laut surut) yang umum dilakukan orang di Nusa Tenggara Timur. Di sini ada istilah meting doeng karena saat saat laut surut bisa sangat jauh sekali sehingga kita bisa mencari ikan sampai jauh ke tengah laut dengan kedalaman tak lebih tinggi dari dada orang dewasa.
Bahkan pulau Adonara yang memang jaraknya tak jauh dari Larantuka serasa bisa seberangi saat laut surut. Asyik sekali mengamati baik anak-anak atau orang dewasa yang mencari ikan saat laut surut seperti ini.
Beberapa waktu saat sedang duduk-duduk di pantai aku melihat beberapa anak perempuan yang sedang mendari ikan dipinggir pantai. Walaupun sering melihat orang meting doeng tapi rasanya jarang melihat anak perempuan meting doeng jadinya pemandangan itu rasanya istimewa sekali.
Umumnya daratan Flores Timur ini lautnya berpasir hitam, meskipun ada beberapa tampat yang memiliki pasir kuning atau putih namun tidaklah banyak dan hanya beberapa tempat saja.
Meskipun berpasir hitam, pantai-pantai di Flores Timur tetap menarik untuk dinikmati. Seperti tulisan sebelumnya yang pernah aku tulis tentang Pantai Hading di Kawaliwu yang memiliki keunikan adanya sumber air panas di tepi pantai, dan itu bukan hanya ada di Kawaliwu. Seorang teman yang asli Flores Timur bercerita bahwa sumber air panas di tepi pantai juga ada di kampungnya.
Seorang teman pernah menjanjikanku untuk mengunjungi kampungnya di Solor, salah satu pulau dari kabupaten Flores Timur. Katanya banyak tempat yang menarik di kampungnya yang tidak kalah dari daratan lain di Flores. Janji yang menarik bukan, artinya masih ada PR yang harus kukerjakan bila aku bisa mengujungi pulau Solor, apalagi kalau bukan berbagi cerita dengan kalian.
Tanah Flores masih terus menggoda hati untuk dieksplorasi, menikmati karya Tuhan.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 15 Juni 2010

Tenau: Terumbu di Balik Karang Terjal

Tenau, daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah pelabuhan oleh warga sekitar Kupang ternyata menyimpan potensi yang cukup menarik. Awal saya melakukan ekplorasi bersama teman-teman ini gara-gara hobi baru snorkling waktu di pantai Tablolong (lihat tulisan sebelumnya). Setelah beberapa kali kita snorkling di Tablolong yang jaraknya cukup jauh dari Kupang kita mencoba mencari informasi lokasi snorkling baru yang letaknya tidak jauh dari Kupang.
Informasi ini mengarahkan kita ke Tenau yang jarak tempuhnya tak lebih dari seperempat jam itupun dengan berkendara santai. Tenau semua orang Kupang tahu arahnya, cukup dengan menyusuri pantai Kupang ke arah barat.
Di depan Gua Monyet beberapa meter di depannya akan ditemui jalan tanah berbatu yang cukup sulit, hati-hati jika hendak turun melalui jalan ini menggunakan kendaraan baik motor atau mobil. Jika mobil atau motor anda tidak cukup tinggi maka anda bisa memilih untuk memarkirkan kendaraan di tepi jalan dan anda turun jalan kaki ke arah laut. Kira-kira dari jalan ke laut sekitar 100 meter.
Karang-karang terjal akan anda temui di sepanjang mata memandang, ciri kota Kupang ini.
Laut ini merupakan daerah selat yang menghubungkan pulau Timor dengan pulau Semau, yang masih satu selat dengan daerah Tablolong.
Jika laut sedang pasang maka mata anda akan dimanjakan warna laut hijau dan biru nan bening. Warna hijau yang tembus hingga ke dasar ini pengaruh pasir putih dan air yang masih jernih. Namun saat pasang seperti itu tentu saja kita hanya bisa berenang di pinggiran saja karena arus laut saat itu sedang kuat-kuatnya.
Hal yang paling bijaksana tentu bertanya pada penduduk yang biasa mencari ikan di sana untuk tahu saat-saat pasang-surut air laut.
Seperti Tablolong, Tenau memiliki kawasan terumbu karang yang bagus terutama jenis ikannya yang tampaknya lebih variatif. Jika mata sudah dilongokkan ke dalam air, pemandangan tanaman-tanaman laut, terumbu karang dan ikan-ikan berwarna-warni yang masih berukuran kecil yang sering sembunyi dan muncul dari balik terumbu membuat mata enggan beranjak.
Kawasan terumbu karang ini cukup luas, mungkin butuh waktu cukup lama untuk mengeksplore tempat ini. Bahkan banyak jenis ikan-ikan yang cukup dicari orang ada disini seperti ikan badut (Clown Fish) atau ikan muka anjing (Puffy Puppy Fish).
Daerah yang kaya biota laut ini sayangnya tak luput dari kerusakan. Kerusakan oleh alam memang tak bisa dihindari karena arus besar dan gelombang juga kerap melanda daerah ini. Pada waktu surut, maka terumbu karang ini banyak yang muncul di permukaan air sehingga beberapa kemungkinan mengalami kerusakan waktu terpapar di permukaan.
Namun kerusakan terbesar tetaplah ulah manusia baik disengaja ataupun tidak disengaja. Pengeboman ikan yang sering dilakukan nelayan merupakan penyebab utama kerusakan terumbu karang disini, disamping juga kerusakan tidak sengaja seperti menginjak-injak karang sewaktu air surut untuk mencari ikan atau kerang seperti yang sering dilakukan orang-orang.
Beberapa orang juga tidak tahan untuk sekedar melihat-lihat saja, ada saja orang setelah berkunjung kesini membawa satu atau dua karang untuk dibawa pulang. Semoga kebiasaan ini tidak terlanjut sehingga terumbu karang disini tetap bisa terjaga sampai nanti.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 17 Mei 2010

Pantai Tablolong: Deep Inside

Bagi orang Kupang, pantai Tablolong lebih dikenal daerah untuk mancing. Memang letak pantai Tablolong yang hampir berada di ujung pulau Timor dan berhadapan langsung dengan pulau Semau sering dijadikan lomba mancing. Lokasi pantai Tablolong memang cukup jauh, dari kota Kupang perjalananan ke sana dapat ditempuh sekitar setengah jam menggunakan kendaraan pribadi dengan jarak jangkau sekitar 23 Km. Setahu saya tidak ada kendaraan umum yang melewati sampai kesana, sehingga pilihan masuk akal kalau bukan kendaraan pribadi ya memanfaatkan jasa ojek yang cukup marak di Kupang.

Perjalanan ke arah Barat dari Kupang paling mudah ditempuh melewati jalur tengah melewati daerah Bakunase dan Kupang Barat melewati daerah Oenesu yang juga dikenal dengan obyek wisata air terjunnya. Sebenarnya dapat juga menempuh perjalanan melalui jalur Utara menuju ke arah Pelabuhan Tenau namun tampaknya jarak yang kita tempuh jadi lebih panjang selain terdapat beberapa jalur yang masih rusak.
Sesampai di desa Tablolong, terdapat gapura agak besar yang bertuliskan Tempat Wisata Pantai Tablolong.
Benarkah tempat ini pernah menjadi tempat wisata? Iya memang begitu, begitu masuk sekitar 200 meter kita akan menemui area bangunan berupa lopo-lopo semacam bangunan terbuka dengan tempat duduk dan atap bulat untuk bersantai yang dibangun dengan pemerintah. Bangunan-bangunan itu tampat tidak terawat sehingga memunculkan kesan sudah lama tidak dipelihara dan dirawat.

Setelah sekitar 200 meter lagi setelah itu kita akan menemui sebuah homestay "Kaki Ayam" yang dibangun oleh wisman Australia menurut pengakuan pengurus homestay ini. Di homestay ini terdapat beberapa lopo yang unik, lopo ini bagian bawah terbuka sehingga bisa untuk bersantai sedangkan jika kita naik tangga ke atas maka terdapat tempat untuk beristirahat. Sayang tempat ini pun terkesan kurang terpelihara, mungkin karena sudah sangat jarang wisman datang ke tempat ini.

Sekitar 500 meter setelah itu kita akan sampai ke ujung jalan dimana terdapat kantor Balai Pembenihan dan Pembibitan Ikan. Disepanjang pantai yang kita lalui itu terdapat aktivitas penanaman rumput laut oleh masyarakat sekitar.

Di depan Balai inilah tempat yang paling menarik dari pantai Tablolong. Karena dari hamparan pasir putih di Tablolong di daerah ini hamparan pasir putih yang paling luas dan panjang.


Memang tempat yang paling sering dikunjungi orang-orang yang ingin bersantai di pantai Tablolong adalah disini karena hamparan pasirnya yang luas dan bersih.
Airnya yang bening juga enak untuk berenang, walaupun harus berhati-hati karena di samping kiri dan kanan banyak bertebaran botol-botol bekas dan plastik-plastik. Ya, botol dan plastik itu digunakan para petani rumput laut untuk mengikat tali sangkutan rumput laut dan penanda yang memudahkan untuk diawasi.

Namun ada hal lain yang menarik kita di pantai Tablolong yaitu terumbu karangnya. Memang dari hasil penelusuran kita beberapa kali, kita mendapati banyak wilayah bekas-bekas terumbu karang yang telah rusak parah akibat kegiatan penangkapan ikan para nelayan. Kebiasaan-kebiasaan lama nelayan dengan menggunakan bom ikan untuk menangkap ikan telah menyebabkan area pantai ini mengalami kerusakan terumbu karang yang cukup parah.

Meski begitu masih terdapat beberapa spot terumbu karang yang mulai tumbuh di daerah karang. Kegiatan penanaman petani rumput laut juga ikut membantu menjaga ekosistem terumbu karang. Spot yang mulai tumbuh bagus ada di sekitar daerah karang, tepatnya di sebelah kanan dari batu bolong.

Siapkan peralatan anda jika ingin menikmati terumbu karang di pantai ini karena tidak ada tempat penyewaaan. Jangankan tempat penyewaan, bahkan anda harus menyiapkan perbekalan makan dan minum karena jika anda lupa membawanya bersiaplah anda kelaparan dan kehausan. Sampai saat ini belum ada orang yang berminat berjualan di kawasan pantai ini.

Oh iya, di daerah karang ini ada kawasan karang yang bawahnya berlubang sehingga waktu air laut naik anda dapat menikmati air yang menyembur dari bagian bawah karang akibat gelombang yang menumbuk karang.


Ayo berkunjung ke pantai Tablolong, tinggal memilih apakah sekedar ingin menikmati hamparan pasir putih dan laut biru yang tenang atau siapkan peralatan snorkling anda dan menikmati sisi dalam pantai Tablolong.


Baca keseluruhan artikel...

Senin, 26 April 2010

Potensi Terlupakan: Air Terjun Ogi

Beberapa waktu kemarin saya menyempatkan diri mengunjungi beberapa situs yang memuat tentang tempat wisata di Nusa Tenggara Timur. Beberapa situs memberikan informasi yang cukup bagus namun lebih banyak yang penulisannya agak kacau kalau tidak boleh saya bilang kopas (kopi-paste) dari sana-sini tanpa memperhatikan keterkaitan antar kalimatnya.
Yang agak menyedihkan justru foto-foto yang ditampilkan. Sebenarnya saya sangat mengharapkan foto-foto yang ditampilkan mampu secara visual menarik perhatian pengunjungnya. Dari kunjungan ini saya berharap ada keinginan kuat dari pemilik situs selain keindahan dalam menampilkan pesona wisata NTT melalui tulisan juga membangkitkan minat melalui bahasa gambar.

Tiba-tiba saya teringat satu tempat yang pernah saya datangi bersama seorang teman yang bekerja di Pemkab Ngada yang sering menjadi guide orang-orang yang menginap di Bajawa.
Air terjun Ogi namanya, jauhnya sekitar 11 km dari kota Bajawa. Tidak terlalu jauh sebenarnya namun kondisi jalan ke tempat itu memang lumayan sulit, disamping kondisi jalan yang rusak dan curam serta berbelok-belok tajam masih ditambah satu kesulitan tambahan: tidak ada papan penunjuk satupun yang menunjukkan lokasi air terjun Ogi ini.
Bahkan saya harus rela melalui pematang sawah sejauh satu kilometer untuk menuju lokasi. Sungguh memprihatinkan!

Padahal begitu sampai ke tempat itu, saya disuguhi pemandangan air terjun yang sangat kencang. Dengan kondisi yang terletak di celah perbukitan, air terjun Ogi yang terkurung bukit itu tampak begitu gagah di mata saya.

Dari kondisinya sepertinya benar bahwa tempat ini digunakan olah PLN untuk menjadi pembangkit listrik, walaupun saat ini saya kurang tahu apakah masih digunakan atau tidak. Namun di tempat ini masih terlihat bangunan yang waktu itu kosong. Di sisi samping air terjun juga terdapat anak tangga dari besi yang tampak usianya sudah lama.

Sebenarnya dulu tempat ini ada jalan yang sampai ke lokasi, dan tempat ini juga sering dijadikan tempat wisata penduduk dari Bajawa tiap akhir pekan. Namun mungkin kondisi itu sudah lama sekali, terbukti waktu saya bertanya tentang air terjun ini ke penduduk Bajawa banyak yang malah tidak tahu.

Ini adalah satu-satunya foto paling layak (masih kurang sebenarnya) saya tampilkan karena terus terang saya kurang siap dengan kondisi lingkungan waktu itu. Bahkan tripod yang saya ganjal dengan kayu tetap saja goyang.
Saya masih berharap bisa mengunjungi lagi tempat ini dan menghasilkan karya yang jauh lebih baik dari ini. Semoga.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya