Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label danau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label danau. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 September 2019

Matahari Terbit di Puncak Kelimutu

Sunrise dari puncak KelimutuCahaya kekuningan tengah menghiasi langit timur, tapi matahari tak juga menunjukkan diri. Matahari dan kabut tipis di pagi ini seakan sedang bermain-main dengan harapan puluhan pasang yang sedang menanti detik-detik keajaiban pagi dari sang surya. Beberapa detik kemudian... momen itu terjadi. Sepotong cahaya bulat kuning muncul dari balik horison langit timur. Pendaran kuning cahaya matahari berpadu harmoni dengan warna biru hijau danau Kelimutu di depanku. Segelas kopi panas di tangan tertahan diseruput, sepasang bule saling mempererat genggaman tangan dengan senyum merekah, dan seorang jomblo yang duduk terdiam di atas tugu dengan sebotol air ditangannya. Tak lama kemudian kesunyian sesaat ini dipecahkan dengan bunyi klik.. klik.. kamera yang dijepretkan, pertunjukan sesaat telah selesai.


"Matahari pagi adalah keajaiban yang mengingatkan kita bahwa hari ini kita telah diberikan keberkahan satu hari lagi untuk menghirup segarnya udara dan kidung alam yang indah"


Segelas kopi instan panas diserahkan kepadaku oleh seorang bapak tua penjual minuman. Aku menarik kerah jaket lebih tinggi menghindari rasa dingin dari angin yang berhembus. Duduk sebentar setelah beberapa waktu berjongkok menghadap layar kamera di depan pagar untuk memotret, ada kelegaan setiap kali momen seperti ini. Sesuatu yang tak bosan kulakukan berulang kali dimanapun.

Cahaya kuning sesaat mulai berubah lebih terang, bayangan pepohonan yang menghitam sudah berubah menjadi hijau. Bambang dan Adhyt yang sebelumnya bareng aku sudah berjalan entah kemana. Masing-masing kita bercanda dengan benaknya sendiri. Aku sendiri masih sibuk berbagi dengan segelas kopi panas dan kabel shutter yang terhubung di kamera Fuji di atas tripod kecil.

Perjalanan Tengah Malam Buta
Jam setengah dua dini hari aku sudah membangunkan Adhyt dan Bambang, rencana untuk dapat menikmati matahari terbit di Kelimutu tidak boleh gagal. Mereka masih setengah mengantuk sebenarnya, maklum rombonganku baru sampai kemarin. Sekitar jam dua aku sudah meluncur dari Ende ke arah Timur menggunakan mobil mas Tommy. Pemilik hotel Satarmese ini asli baik banget, makanya kalau aku ke Ende selalu nginep di sana. Bukan promo lho, kalian bisa buktikan sendiri kalau kebetulan bermalam di Ende.

Jalan malam hari dari Ende ke Moni memang harus hati-hati karena kondisi jalannya berkelak-kelok menyusuri punggungan bukit. Sebelah kanan didominasi oleh jurang sementara sebagian besar jalan belum ada penerangan jalan yang memadai. Adhyt sendiri sudah njiper (baca: kecut) untuk menyetir dengan kondisi seperti itu di malam hari, plus ini baru pertama kalinya dia ke Kelimutu. Jadi perjanjiannya, untuk berangkat aku yang nyetir sedangkan pulangnya gantian Adhyt yang nyetir.

Dalam perjalanan dari Ende ke Kelimutu ini ada pemandangan unik yaitu di pasar Nduaria yang berada di sepanjang pinggir jalan. Malam itu pasar tentu tutup dan tidak ada yang menjual. Namun mereka membiarkan sayur-sayuran, buah-buahan dan barang-barang jualan lainnya di atas meja terbuka begitu saja. Kok tidak takut diambil orang? Hal itu menggambarkan bahwa di daerah ini masih sangat aman. Kalau di tempat lain, haduh jangan-jangan besok tinggal meja kosong.


Jam setengah empat pagi aku sudah sampai di Moni, tentu saja masih terlalu sepi. Tak lebih dari setengah jam kemudian aku sudah sampai di depan gerbang masuk Kelimutu. Angin terasa dingin menusuk tulang. Bambang yang lupa tidak membawa jaket tenang saja menggulung badannya dengan selimut yang dia bawa dari hotel.

Ternyata palang pintu masih terpasang dan tak ada petugas, di samping gerbang ada sebuah papan petunjuk yang menjelaskan jika jam buka Danau Kelimutu 05.00 - 17.00 WITA. Fix, kita harus nunggu setengah jam lebih. Untung di samping gerbang ada sabuah warung yang memang buka 24 jam. Dih kebayang kayak apa rasanya buka warung di tempat seperti ini. Lumayan sambil menunggu palang dibuka kami dapat menikmati minum kopi dan mie instan.

Sunrise di Puncak Kelimutu
Beberapa rombongan telah berangkat naik terlebih dahulu mendahuluiku, karena aku masih sholat Subuh dulu di salah satu ruangan kantor yang jagawana yang ada di area parkiran. Bulan Mei memang mulai memasuki musim dingin di Nusa Tenggara Timur, ditambah Kelimutu sendiri berada di ketinggian.

Dalam remang kegelapan kami berjalan masuk ke jalan setapak di dalam yang cukup lebat menuju ke puncak Kelimutu. Saat itu sedang bulan purnama, cahaya bulan yang menyinari balik pepohonan cemara cukup membantu terutama di area yang tidak ada penerangan.

Karena masih gelap, aku memutuskan untuk langsung menuju tugu yang merupakan titik pandang tertinggi untuk bisa melihat ketiga danau dengan leluasa sekaligus merupakan titik terbaik untuk melihat matahari terbit.


Dari pengalamanku selama ini memang yang lebih niat datang pagi-pagi buta untuk melihat matahari terbit biasanya para bule. Wisatawan lokal sering kali datang ke Kelimutu setelah terang. Namun kali ini aku melihat beberapa rombongan yang datang justru turis dari negeri China. Ada rombongan bis segala yang didominasi golongan tua. Ada juga beberapa muda-mudi yang memisahkan diri dari rombongan tua, entah mereka rombongan yang sama atau mereka datang sendiri.

Selain turis dari China, ada pemandangan unik lain saat itu. Danau Kelimutu yang berdiri sendiri yang disebut "Tiwu Ata Mbupu" tidak tampak airnya karena dipenuhi kabut di bagian dalamnya. Ini berbeda dengan kedua danau lainnya: "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan justru cerah tanpa kabut. Tulisan tentang cerita perjalananku ke Kelimutu sebelumnya sudah kutuliskan di sini.

Mampir di Air Terjun Murundao
Aku turun sekitar jam setengah tujuh kurang dan sempat mampir sebentar ke dua danau yang saling berdekatan "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang saat itu berwarna biru tosca dan hijau. Tak lain untuk memenuhi permintaan Adhyt yang ingin melihat lebih dekat kedua danau. Di depan titik pandang yang telah dibangun pembatas itu telah ramai rombongan anak sekolah yang mungkin sedang ada acara Darma Wisata.

Karena hanya makan mie tadi pagi tentu saja kami kelaparan dan memutuskan mencari tempat makan di sekitar Moni. Ternyata tak seperti yang aku bayangkan, nyaris tidak ada tempat makan yang sudah buka sepagi ini. Untunglah setelah menyusuri kawasan Moni akhirnya menemukan sebuah tempat makan yang letaknya dekat dengans sebuah air terjun. Namanya air terjun Murundao. Dari pinggir jalan ada jalan turun sekitar seratus meteran tangga menurun sudah akan melihat air terjun itu. Pemandangannya? Yah so-so gitulah. Lagian kalau ada pemandangan air terjun sebagus itu di pinggir jalan besar pasti sudah ramai dikunjungi orang dari dulu.


Tips-tips untuk yang ingin ke Danau Kelimutu:
  1. Patuhi larangan-larangan yang ada di kawasan Danau Kelimutu seperti dilarang membuang sampah, dilarang mengambil pohon-pohon yang dilindungi, dilarang berdiri di luar pagar (terutama yang ada di dekat dua danau berdekatan).
  2. Jika ingin melihat matahari terbit disarankan menginap di daerah Moni. Namun jika menginap di Ende, usahakan sudah berangkat sebelum jam 3 pagi karena jalur Ende-Kelimutu merupakan jalan Trans Flores yang seringkali dilewati truk-truk besar.
  3. Bawa senter, karena jalur perjalanan menuju puncak Kelimutu melewati hutan yang penerangannya kurang memadai. Mungkin sekarang bawa hape sudah bisa menggantikan senter, tapi lebih nyaman jika menggunakan senter tersendiri.
  4. Bawa pakaian hangat termasuk jaket karena Danau Kelimutu berada di ketinggian yang tentu saja udaranya dingin. Apalagi saat naik ke atas saat pagi buta tentu akan terasa lebih dingin. Akan lebih bagus jika memakai topi yang bisa menutup telinga, kaos tangan dan kaos kaki.
  5. Jika perjalanan bersama teman, pertimbangan waktu yang dibutuhkan untuk naik. Walaupun jalur perjalanan ke atas Kelimutu tidak terlalu sulit mungkin beberapa orang akan merasa kecapean terutama saat menaiki anak tangga menuju tugu tertinggi.
Teman perjalanan kali ini: Adhyt dan Bambang
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 20 Januari 2019

Matayangu: Air Terjun atau Danau?

Air terjun Matayangu
Suatu kali pernah ada turis asing yang penasaran mencoba mengukur kedalaman danau. Untuk mengukur, dia menyiapkan 5 rol tali yang panjang tiap rolnya 500 meter. Namun setelah rol demi rol tali disambungkan sampai habis 5 rol itu tetap tidak menjangkau dasar danau. Itulah cerita mitos air terjun Matayangu yang dituturkan oleh Jumad, pemandu kami. Atas dasar cerita itu, masyarakat sekitar percaya kalau danau ini terhubung dengan laut Wanokaka yang berada di sisi selatan Sumba. Mitos lebih jauh mengatakan jika ada gurita raksasa yang dipercaya masyarakat menjaga danau ini. Seru mendengar cerita mitos tentang tempat-tempat seperti ini.

Air terjun atau Danau?
Air terjun Matayangu
Dari atas tempatku berdiri, sebuah danau luas yang airnya berwarna biru tosca tampak jelas walau masih terhalangi pepohonan. Di ujung lain berhadapan dari tempatku berdiri, tampak sebuah air terjun yang keluar dari bagian tengah tebing batu. Air terjun itulah yang mereka sebut Matayangu. Mungkin air itu keluar dari sungai bawah tanah.

Aku tak tahu, apakah Matayangu lebih pas disebut sebagai air terjun atau danau. Tingginya air terjun Matayangu jadi tampak kecil bagaikan sebuah 'grojokan' kecil bila dibandingkan luas danau di bawahnya. Terlepas dari hal itu, Matayangu tetaplah salah satu air terjun terbaik yang ada di Sumba. Berada di kedalaman hutan di kawasan Taman Nasional Tanadaru Manupea, air terjun ini menawarkan sensasi air danau dengan warna biru toscanya.

Air terjun Matayangu
Air terjun ini terkurung lengkung tebing dalam lebatnya hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Dalam satu kawasan ini selain air terjun Matayangu juga ada air terjun Lapopu. Bedanya air terjun Matayangu posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan air terjun Lapopu. Meskipun berada dalam lokasi yang sama namun sumber air kedua mata air ini berbeda.

Perjalanan Menuju Air Terjun
Dengan naik mobil travel, aku dan Imam baru sampai di Waikabubak agak sore sekitar jam 3-an. Saat itu, aku sudah diinformasikan kalau hotel sudah penuh semua. Dari informasi seorang ibu yang mengajakku ngobrol selama di mobil, akhirnya aku menginap di sebuah hotel kecil bernama A. Sebuah keputusan yang kusesali kemudian, karena ternyata pemilik hotel ini sangat tidak ramah. Itulah mengapa kemudian aku mengisi rate hotel ini bintang satu alias sangat tidak direkomendasikan.

Sungai di Air terjun Matayangu
Masalah kedua adalah soal sewa motor. Ternyata bukan cuma kamar-kamarnya saja yang penuh, motor-motor dari hotel yang biasa bisa kita sewa ternyata sudah tidak tersedia. Untungnya, ada seorang teman dari Waikabubak, pak Hans biasa kita memanggilnya bersedia meminjamkanku sebuah motor. Dia juga menyarankanku untuk berangkat lewat jalur air terjun Lapopu.

Memang ada dua jalur untuk bisa ke air terjun Matayangu. Pertama adalah jalur yang umum yaitu masuk melalui gebang masuk ke air terjun Lapopu. Jalur kedua adalah lewat jalur Sumba Tengah tepatnya di desa Waimanu. Secara administratif memang air terjun Matayangu masuk ke Sumba Tengah. Namun untuk akses ke air terjun lebih disarankan lewat jalur gerbang masuk air terjun Lapopu. Informasinya, jalur yang melalui Sumba Tengah belum ditata sehingga medannya lebih susah. Secara jarak juga lebih jauh dibandingkan jalur dari Lapopu. Belum lagi untuk parkir kendaraan lebih susah karena tidak ada penjaga di sana.

Perjalanan dari Waikabubak sampai ke cabang masuk menuju gerbang masuk air terjun Lapopu bisa dikatakan lancar karena sebagian jalan sudah diperbaiki. Waktu tempuh hanya sekitar setengah jam saja. Namun selepas percabangan masuk itulah terdapat beberapa ruas yang agak susah dilewati karena rawan bikin roda kendaraan slip.

Di titik jalan rusak menuju ke gerbang masuk, aku memilih turun dari motor. Di tempat ini dulu Imam pernah jatuh dari motor, yang aku tulis disini: Terpesona di Lapopu. Sebagian besar jalan memang sudah perbaikan namun jalan masuk ke arah gerbang masuk bekas jalan aspal yang sudah habis terkelupas menyisakan tanah dan batuan. Mungkin karena masih trauma dengan kejadian sebelumnya, saat jalan menurun Imam sangat hati-hati. Aku membantu memegangi kendaraan dari belakang. Beberapa kali roda motor mengalami slip namun untuk tidak sampai terguling. Setelah jalan menanjak, aku minta Imam naik motor sendiri sementara aku berjalan kaki. Dan ternyata, bikin sehat ngos-ngosan!

Sampai di gerbang masuk rupanya sudah banyak kendaraan terutama mobil. Sebagian mobil itu berisi wisatawan dari luar. Perkiraanku mungkin dari Taiwan atau China Daratan (RRC). Saat aku tanya ke Jumad, salah satu guide di sana ternyata mereka lebih memilih ke air terjun Lapopu. Kemajuan pertama yang aku lihat di tempat ini adalah sudah dibangunnya beberapa bangunan lopo juga beberapa tempat duduk untuk beristirahat tamu. Selain itu juga sudah ada beberapa warung yang berjualan makanan. Bandingkan dengan dulu waktu pertama kali ke air terjun Lapopu  dimana tidak ada satu pun penjual.

Perjalanan langsung dimulai dengan jalan naik ke atas melalui sebuah tangga kecil. Tangga ini memiliki pegangan dari besi yang dibuat sepanjang pipa besi besar yang diameternya tidak kurang dari setengah meter. Tangga ini adalah tangga inspeksi yang dibangun untuk memantau jalur pipa yagn digunakan untuk mengalirkan air ke pembangkit listrik mikro hidro. Kata Jumad sih ada sekitar 200 anak tangga, entah jumlahnya sebanyak itu atau kurang aku tidak tahu. Lagi-lagi acara naik tangga bikin sehat ngos-ngosan!

Selepas berakhirnya tangga, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri hutan berpijak di atas pipa langsung. Aku yakin, berjalan di atas jalur pipa dilarang, namun apa daya saat itu jalur jalan yang ada di bawah tidak bisa digunakan karena yang ada becek oleh aliran air. Selain itu jalur banyak terputus karena mungkin sudah lama tidak pernah lagi digunakan orang. Mungkin selama ini wisatawan selalu diarahkan guide untuk berjalan di atas pipa seperti kami. 

Berjalan di atas pipa jelas harus lebih hati-hati karena tidak ada pegangan, belum lagi kadang kala pipa menggantung dengan tinggi dua meter lebih dari tanah. Untung pipanya tidak terasa licin di kaki, entah jika datang pas musim hujan. Setelah menempuh setengah perjalanan kami sampai ke ujung pipa, yaitu sebuah bak penampungan dari sebuah sumber mata air. Mata air itulah sumber dari air terjun Lapoppu. Sayang mata air saat itu kecil debet airnya, musim kemaraulah penyebabnya. Suasana yang rindang membuat kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Baru setengah jalan namun menguras tenaga. Untungnya di sepanjang perjalanan riuh terdengar bunyi burung-burung hutan. Satu dua kali tampak burung ekor biru panjang lewat. Sayang tidak ada penampakan burung Kakatua Jambul Kuning atau Julang Sumba, entah dimana mereka semua kini. Jangan salah, Sumba punya banyak burung endemik yang sering dikira bukan burung Sumba. Jenis burung seperti Julang Sumba, Nuri Pipi Merah, Jalak Sumba, Betet Kelapa, Rawamano, Sikatan sumba, Pipasan, dan Kakatua Jambul Kuning adalah burung-burung endemik Sumba.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menyusuri punggungan bukit. Perjalanan kembali sulit karena kondisi jalan yang miring dan naik turun. Untungnya di titik-titik jalan yang rawan dilewati terbantu dengan dipasangnya kayu-kayu yang di ikat antar pohon sebagai petunjuk jalan sekaligus sebagai alat kita berpegangan. Melihat kondisi jalan yang seringkali tidak jelas, keberadaan pemandu seperti Jumad ini memang sangat diperlukan. Bahkan jika kalian pernah dua kali ke Matayangu tetap berpotensi akan tersesat tanpa jasa pemandu. Golok di pinggangnya berguna sekali untuk membantu memangkas cabang pohon yang kadang tumbuh menutupi jalan.

Danau Biru Tosca yang Luas
Setengah jam kemudian suara guruh air terdengar makin jelas. Dari balik pepohonan tampak aliran air bening berwarna kebiruan mengalir melewati bebatuan turun ke bawah. Begitu mencapai area terbuka, pemandangan danau yang luas tampak didepan mata. Benar dugaanku, air terjun Matayangu itu menipu mata. Jika dilihat dari foto-foto yang ada di internet air terjun nampak kecil saja. Padahal dalam kondisi kering dan menyisakan air terjun yang dari tengah (air bawah tanah), ketinggiannya tidak kurang dari 30 meter. Namun karena danaunya luas, jadilah air terjunnya tampak kecil saja di foto.

Air terjun Matayangu
Sebenarnya jika aliran air terjun yang paling atas sedang tidak kering, ketinggian air terjun Matayangu itu sekitar 75 meter. Jadi air terjun itu ada 2 sumber, dari sungai yang paling atas dan air yang keluar dari bagian tengah (sungai bawah tanah). Aku kurang beruntung tidak mendapatkan pemandangan air terjun yang lebih tinggi, tapi tetap saja tidak mengurangi kekagumanku akan keindahan alam Sumba.

Baru mulai masak air untuk membuat minuman pas dan mie rebus, tampak beberapa bule mulai berdatangan dari seberang lain danau. Setidaknya ada tiga rombongan terpisah yang datang bergantian. Bule-bule ini adalah tamu dari Nihiwatu Resort. Artinya ada 3 jalur yang bisa digunakan untuk menjangkau Matayangu.

Sayangnya aku tidak berenang karena tidak ada celana ganti sama sekali. Mungkin lain kali kalau kesini aku bisa membawa baju ganti dan perlengkapan berenang. Rugi rasanya hanya bisa melihat air danau yang bening segar. Padahal bule-bule dari Nihiwatu saja pasti kesini untuk berenang.

 

Selain bule-bule itu, praktis cuma kami saja yang melancong ke tempat ini. Baru saat kembali pulang bertemu dengan rombongan muda-mudi yang baru akan ke Matayangu. Rombongan muda-mudi ini rupanya berangkat dari jalur Sumba Tengah. Jalur yang katanya lebih susah walau secara jarak lebih dekat.

Catatan:
  1. Dari jalur manapun, perjalanan ke air terjun Matayangu menempuh jarak yang lumayan memakan waktu dan cukup berat, siapkan perbekalan makanan dan minuman yang cukup. Jangan berharap ada penjaja makanan di lokasi.
  2. Pada musim khususnya penghujan adalah saat terbaik menikmati keindahan air terjun Matayangu, namun perjalanan juga makin sulit. Penggunaan sepatu boat bisa dipikirkan, baju dan celana panjang untuk menghindari terkena tanaman liar beracun dan berduri serta pacet/lintah.
  3. Gunakan jasa pemandu, medan jalan di semua jalur sama susahnya. Harga pemandu sekitar 150ribu menurutku wajar saja karena sehari mereka paling hanya menemani 1-2 kali turis/pejalan. Ikut rombongan adalah cara lain untuk sharing biaya terutama jika menjadi solo traveller.
  4. Sepertinya pilihan menginap/memasang tenda bukan pilihan baik. Bagaimanapun daerah Lamboya dan Manokaka masih dianggap sebagai daerah yang rawan kejahatan. Sebaiknya hindari pulang terlalu sore/malam demi keamanan.
(catatan perjalanan satu minggu keliling sumba bareng Imam)
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 17 November 2018

Kabut Pagi Danau Situ Gunung


Menunggu matahari terbit bagaikan menunggu anggukan seorang gadis yang sedang dipinang. Yakin kalau si gadis tidak akan menolak tapi tetap saja rasanya deg-degan. Ah tidak persis seperti itu sebenarnya, hanya saja ada perasaan kuatir bahwa hari ini pemandangannya tidak seperti yang aku harapkan. Ini hari kedua aku kembali pagi-pagi ke danau Situ Gunung, setelah hari sebelumnya aku gagal mendapatkan gambar danau Situ Gunung yang menawan. Namun saat cahaya pagi muncul dari balik pepohonan dan bersambut dengan kabut pagi yang naik dari air danau, Uereka!! Aku mendapatkan pemandangan yang sungguh tak pernah terlupakan. Tidak sia-sia aku kembali lagi ke danau ini esok harinya.

Danau Situ Gunung yang terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memang sudah terkenal di kalangan fotografer lansdskap. Suasana pagi berkabut dan sinar mataharinya selalu menghasilkan gambar-gambar yang dramatis. Walaupun memiliki pesona alam yang ciamik, namun sebenarnya Danau Situ Gunung ini bukanlah danau alam namun danau buatan.

Menurut cerita. Danau Situ Gunung ini dibuat oleh seorang buronan saat Belanda berkuasa yang dikenal dengan nama Mbah Jalun atau Rangga Jagad Syahadana. Mbah Jalun ini konon adalah seorang bangsawan Mataram yang menentang Belanda. Beliau melarikan diri bersama istrinya dari Mataram menembus jalur Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang akhirnya membawa mereka sampai di sebuah lembah.

Lembah yang dialiri air yang sangat jernih ini dijadikan tempat tinggal sekaligus persembunyian Mbah Jalun dan istrinya sampai mereka mempunyai seorang anak. Mbah Jalun kemudian membuat sebuah danau kecil sebagai wujud syukur atas kelahiran anaknya. Danau ini diberi nama Situ Gunung yang mempunyai arti danau yang ada di sebuah pegunungan.

Menuju Sukabumi
Danau Situ Gunung, nama itulah yang terpatri di kepalaku saat aku memperpanjang waktu penugasanku dengan menambah cuti dua hari. Keindahan danau Situ Gunung yang bertebaran di hasil pencarian Google membuatku semakin bersemangat, walau kali ini aku harus melakukan perjalanan sendiri.

Dari Ciawi, aku naik kendaraan Elf yang biasa nongkrong di pertigaan Ciawi ke arah Sukabumi yang melalui jalur Caringin-Cigombong-Cibadak dan turun di Cisaat. Keuntungan naik Elf ini salah satunya lebih cepat, karena rata-rata supirnya agak berani mengambil jalan begitu ada kesempatan. Yah sedikit terkesan ugal-ugalan. Masalahnya karena jalur Bogor-Sukabumi ini bisa menjadi macet parah menjelang sore. Asal kalian kuat mental dan sudah siap apapun yang terjadi. Jalur Bogor-Sukabumi yang jalannya tidak terlalu lebar dan banyak titik berbahaya bisa dilahap sampai mepet jurang dengan santainya.

Sesampai di pertigaan Cisaat, aku turun untuk mencari makan. Karena sudah terlalu sore akhirnya aku memutuskan untuk mencari penginapan. Aku naik ojek ke arah jalur Kadudampit untuk mencari penginapan di sana. Banyak hotel/penginapan di sekitar tempat itu antara 100-150ribu. Jangan mencari hotel atau penginapan di sekitaran kawasan wisata Situ Gunung karena harganya cenderung lebih mahal. Hasil tanya-tanya ojek akhirnya aku diantarkan untuk menginap di Wisma Panineungan.

Hari Pertama Situ Gunung
Jam setengah lima pagi, langit masih gelap gulita. Bayangan pohon Damar (Agathis Alba) yang tinggi menjulang di sepanjang jalan bagai raksasa hitam penjaga danau. Lutung-lutung yang biasa berloncatan di pohon Damar pun belum memulai aktivitasnya. Jalan yang meliuk turun makin terasa gelap oleh rerimbunan pohon. Sangat sepi, bahkan langkah kaki pun terdengar jelas saat menjejak tanah kering yang berdebu. Hanya ada satu motor yang lewat di depanku yang membuat aku menepi sebentar. Tanah yang kering dan tidak tersiram air hujan beberapa lama membuat roda motor dengan mudah menerbangkan debu ke udara.

Sesampainya di tepi danau mataku disambut serombongan muda mudi yang sedang memasang tenda dan tikar di dekat danau. Sambil bermain gitar dan bernyanyi, suara mereka menjadi pengisi alam yang masih tidur. Katanya mereka rombongan yang langsung datang pakai motor jam 2 malam dari Bekasi. Setelah berbasa-basi sebentar dengan mereka, aku pamit menuju ke arah bangunan yang persis berdiri di depan danau. Aku tak ingin mengganggu pasangan muda-mudi itu, toh aku juga tak punya kepentingan dengan mereka.

Sambil merapatkan jaket untuk menepis dingin, aku mencoba berjalan-jalan di seputar danau untuk menghangatkan badan. Danau masih tampak hitam, ah aku rupanya salah waktu. Seharusnya aku tak sepagi ini di danau yang berada di ketinggian. Matahari tidak mungkin terbit pagi karena pasti terhalang perbukitan di sekitarnya.

Hari pertama ternyata tidak sesuai dengan dugaanku, cuaca yang sangat cerah membuat danau tidak diselimuti kabut sedikitpun. Pandangan yang jelas seperti ini memang enak buat dinikmati namun tidak menciptakan momen pencahayaan yang dramatis. Akhirnya aku banyak berjalan-jalan berkeliling di sekitar. Beberapa anak kecil yang kemungkinan anak kampung sekitar sedang mencari udah menggunakan jaring kecil yang dibuat terbuka dengan melengkungkan dua buah bambu yang diikat di tiap ujung jaring.

Dari pinggir danau, aku mencoba masuk lebih dalam kebalik rerimbunan pepohonan. Di dalam rerimbunan pepohonan itu aku baru tahu jika ada sekumpulan rumah-rumah yang sudah rusak terbengkalai. Malahan dari beberapa rumah yang rusaknya parah ada pohon yag tumbuh menerobos tembok yang sudah terbelah.. Kemungkinan besar dulu ini adalah tempat penginapan yang dibuat oleh pengelola langsung dekat dengan danau. Entah alasan apa sehingga rumah penginapan ini tidak laku, padahal di sekitar kawasan ini mulai dibangun hotel dan penginapan baru. Mestinya penginapan yang dekat danau justru lebih laku. Entah kalau justru lebih horror hiiiii...

Aku menerobos bekas jalan yang sudah mulai ditumbuhi tumbuhan di kiri kanan sampai bertemu jalan setapak lain. Yakin kalau ini jalan satu-satunya dan tidak mungkin tersesat aku terus berjalan menyusuri jalan tanah. Semakin ke dalam aku masuk, suasana jalan semakin redup karena tertutupi oleh pepohonan. Aku ikuti terus hingga akhirnya selepas beberapa puluh meter melewati sebuah jembatan kecil, aku sampai diujung jalan.. dan sebuah air terjun kecil.

Curug Cimanaracun, sebuah curug yang airnya mengalir kecil. Sepertinya curug ini sangat mengandalkan curah hujan. Sangat mungkin pada saat musim hujan air yang jatuh di curug ini sangat melimpah dan menarik untuk dinikmati. Tapi tentu saja ada konsekuensi lain, di sepanjang jalan menuju ke Curug ini akan banyak lintah yang bertebaran.

Hari Kedua Situ Gunung
Pagi pertama di Danau Situ Gunung bisa dibilang aku gagal mendapatkan suasana pagi yang terkenal itu sehingga aku memutuskan menambah satu hari untuk kembali ke danau ini.

Pagi-pagi jam lima aku sudah keluar dari hotel, hawa hari kedua ternyata tidak sedingin hari pertama. Kali ini aku mendapatkan sebuah angkot yang bersedia mengantarkan naik sampai ke pintu gerbang Kawasan Wisata. Lumayan cukup membayar 5ribu rupiah saja. Setelah membayar tiket masuk, aku kembali memilih berjalan kaki menuju ke danau Situ Gunung. Bagi yang tidak kuat berjalan kaki, ada pilihan untuk menggunakan jasa ojek yang akan mengantar dari pintu masuk sampai ke tepi danau. Tapi itu jelas bukan pilihanku, menukar berjalan kaki dengan naik ojek sungguh rugi.

Beruntung di hari kedua ini, tampaknya suasana danau telah berpihak kepadaku. Tampak kabut pagi yang menyelimuti hutan di sekitar danau. Sementara tukang perahu sudah banyak yang mulai menunggu di tepi kolam berharap ada wisatawan yang akan menggunakan jasa mereka. Ada tiga jenis perahu yang mereka sewakan: petahu biasa, rakit bambu, dan perahu fiber berbentuk bebek-bebekan.

Mungkin karena hari ini Minggu sehingga jumlah pengunjung jauh lebih banyak daripada hari kemarin. Waktu yang banyak aku hindari di tempat wisata seperti ini. Sayangnya walaupun pengunjung lebih ramai tapi tidak ada satupun yang menyewa perahu.

Adakah momen wanita cantik tinggi semampai bergaun merah panjang dengan belahan sampai ke pangkal paha dan sebuah payung yang warnanya senada sedang naik rakit sendiri dengan latar suasana magis Danau Situ Gunung? Aku tepok jidat sambil tertawa.. tentu saja momen seperti itu tidak akan ada. Momen seperti itu pastilah hasil foto konsep.. menunggu momen seperti itu rasanya seperti menunggu keajaiban.. atau kecelakaan..

Semakin lama semakin ramai pengunjung yang datang sehingga aku memutuskan kembali, toh momen cahaya pagi telah lewat. Untungnya tempat-tempat wisata umumnya tidak terlalu ramai saat pagi bahkan di hari Minggu sekalipun, karena memang tidak mudah orang untuk rela bangun pagi hanya demi mendapatkan secarik momen cahaya pagi. Bahkan oleh orang-orang yang menginap di sekitar tempat ini sekalipun.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 22 Januari 2018

Danau Oemenu: Gelombang Tinggi

Danau Oemenu I yang airnya berwarna kehitaman dan banyak batang pohon tumbang

Aku terus bergerak menerobos, aku mulai tidak bisa membedakan jalan karena jalur yang coba aku ikuti bisa tiba-tiba menghilang tertutup belukar. Saat aku memilih jalur lain hal yang sama kembali terjadi. Atau saat aku memaksa menerobos belukar, beberapa meter kemudian tiba-tiba aku menemukan jalan lagi.

Aku sesekali menengok ke belakang memastikan Obet dan Adis tidak jauh tertinggal di belakang. Semakin mendekati suara gelombang aku semakin bersemangat menaiki tebing karang sehingga beberapa saat lupa tidak menengok ke belakang sampai kemudian aku menyadari Obet sudah berada persis di belakangku namun tidak dengan Adis.

Adis berdiri diam terpaku beberapa meter dengan pandangan ke arah bawah tebing. "Dis!" aku memanggilnya pelan tapi dia seperti tidak menyadari. Aku memutuskan kembali untuk membantunya,
"Bet kamu di sini aku mau nyusul Adis".
"Dis, aku kesana ya" Tanpa menunggu persetujuannya aku kembali turun.
Baru beberapa langkah aku kembali, seperti menyadari sinar senterku yang mengarah kepadanya Adis seperti tersentak menengok ke arahku. "Tidak usah, lanjut" teriaknya.

Melewati tebing menuju ke danau Oemenu II
Di atas tebing terbuka barulah aku bisa melihat ada laut di depan kami. Ah, ada kelegaan di dada kami yang tidak terungkapkan. Setidaknya kami lebih mudah mencari jalan kembali dari pinggir laut. Kami pelahan mencari jalan pelan menyusuri karang terjal menuju ke arah pantai.

Tapi kelegaan kami hanya sebentar, ternyata tebing karang ini tidak memiliki pantai. Dan aku benar-benar tidak mengenal daerah ini. Entah di pantai mana sekarang kami berada. Hanya dalam gelapnya laut mata kami masih bisa melihat adanya sebuah pulau di depan yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Nantinya kami akan tahu bahwa kami sampai di depan Pulau Tubafu (ada yang menyebutnya Tubuafu yang artinya tugu batu).

Kami terduduk lemas di salah satu tebing karang. Jam sebelas malam, kelelahan, kehausan, tidak ada sinyal dan tak ada arah yang harus kami tuju. Empat jam lebih kami berjalan, akhirnya kami memutuskan akan bermalam di atas tebing yang kebetulan ada pasir-pasir pantai yang menutupinya sehingga dapat kami gunakan untuk sekedar duduk bersandar. Pertimbanganku dengan kondisi seperti ini, mencoba berjalan kembali justru akan banyak menguras tenaga.

Suasana siang hari di danau Oemenu II
Sayangnya kondisi tebing yang kami pakai tidak dapat untuk tidur rebahan juga masih cukup terbuka. Kondisi ini selain menyulitkan untuk istirahat juga sulit melindungi kami sekiranya ada angin kencang.

Aku berinisiatif mencari tempat yang lebih layak, karena aku lihat muka Adis dan Obet yang sudah tampak kecapekan, akhirnya aku memutuskan mencari sendiri. Pelahan aku mencari jalan ke arah pantai berharap ada daerah turunan yang cukup tersembunyi dan rata untuk kami bermalam.  
Pelahan aku mendekati ke ujung karang, namun tampaknya tidak ada tempat yang cukup rata atau pantai yang bisa kami gunakan untuk bermalam.

Samar-samar mataku melihat karang yang agak tinggi di sebelah kanan. Karena mungkin karang itu tempat yang paling pas untuk melihat kesekeliling aku memutuskan naik ke atas. Berdiri di atas karang itu pemandangan yang aku lihat lebih luas, walaupun di sekeliling tetap saja didominasi kegelapan. Bayangan pulau Tubafu dari atas sini semakin terlihat utuh. Sepertinya pulau itu tak lebih dari pulau batu dari karang-karang tinggi yang naik ke permukaan.

Ujung danau Oemenu II tempat pak Koster menangkap kepiting
Ombak pantai selatan ada beberapa meter di hadapanku malam ini tampak tenang. Memang tidak setenang pantai utara. Bunyi ombak yang menabrak karang deburnya memang masih terdengar keras. Benakku berkecamuk banyak pertanyaan yang tiada habisnya.

Dalam pekat malam yang nyaris tak bisa terlihat apa-apa aku mendengar suara gelombang yang mendekat ke karang. Seharusnya setelah itu aku mendengar suara debur saat gelombangnya terpecah dinding karang. Namun ternyata kembali sunyi. Apakah telingaku salah .........

Tiba-tiba beberapa saat kemudian ada warna putih muncul mengambang beberapa meter di atas kepalaku. Dalam waktu singkat penglihatanku itu, aku mencoba menerka. Apakah itu GELOMBANG??

Terlambat! Sesaat kemudian gelombang besar itu menghantamku. Aku dilanda kekagetan luar biasa, sepersekian detik sebelum gelombang itu menerjangku, aku membalikkan badan. Byarr!! Punggungku dihantam gelombang cukup keras, aku oleng namun tetap keras bertahan untuk tidak terbanting. Sekali aku terjatuh karang-karang tajam ini akan melalapku habis.

Laut kembali sepi.... Jantungku berdegup kencang, kejadian yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Masih masih berdiri dengan posisi punggung melengkung mendekap tas Adis. Dalam selintas pikiran itu, aku justru terpikir untuk menyelamatkan tas Adis yang berisi kamera. 
Beberapa menit berlalu dalam suasana mencekam. Setelah aku yakin tidak ada kejadian lagi, aku beringsut kembali ke tempat Adis dan Obet.

Obet dan Adis tampak keheranan saat aku kembali dalam kondisi basah kuyup. Entah apakah mereka bisa memperhatikan mukaku yang pucat. Adis cuma diam memandangku, antara prihatin dan iba. Obet yang biasanya cerewet pun kali ini tidak berkomentar apapun.

Aku meletakkan tas Adis yang dari tadi aku dekap dan melepaskan kaos yang sudah basah semua. Aku bersandar di salah satu dinding karang tanpa bisa berkata-kata. Apakah ini peringatan.... atau kah sekedar salam kenal? Aku tak mengerti.......

Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini, batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini. Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Malam yang Panjang di Hutan Puru
Aku tersentak, refleks kaget terbangun saat kepalaku terantuk karang yang tajam. Aku mencoba memperbaiki dudukku dalam kondisi mata yang masih berat. Aku coba melihat dua orang temanku yang juga mencoba tidur di antara sela-sela karang yang bisa digunakan untuk bersandar. Tidak mudah tertidur di situasi seperti ini. Sekeliling kami adalah karang-karang tajam, hanya sedikit yang rata itu pun karena tertutup oleh pasir pantai. Inilah satu-satunya tempat kami beristirahat malam ini.

Suasana danau Oemenu II
Tiba-tiba aku bergidik merasakan hawa dingin. Saat musim panas seperti ini memang justru pada malam hari menjelang pagi justru suhu sering drop. Hal yang sama aku alami jika di Kupang. "Mam kita cari ranting ke hutan sana untuk api unggun?" Obet rupanya juga telah terbangun. 
Aku meraba kantong berharap masih ada korek api yang aku simpan, ah syukur rupanya masih ada di saku celanaku.

Aku dan Obet pelahan turun ke bawah mencari ranting yang bisa kami gunakan untuk api unggun. Tuhan masih menyayangi kami, saat mencari kayu aku menemukan sebuah sandal di sela karang entah milik siapa. Plastik, sendal adalah keajaiban dalam kondisi kami saat ini yang akan membantu api menyala lebih lama.

Akhirnya api unggun yang kami buat bisa menyala, lumayan mengusir rasa dingin yang kami rasakan. Kami duduk mengelilingi api unggun, beberapa percakapan kecil terjadi sekedar untuk membunuh waktu yang rasanya bergerak melambat. Tapi tidak ada yang mencoba percakapan dengan apa yang barusan kami alami. Tidak ada.. setidaknya saat ini....

Satu demi satu kami tumbang lagi setelah tidak kuat dijalari rasa kantuk. Ya kami harus menyimpan tenaga untuk perjalanan pagi nanti.....

Suara Yang Menyelamatkan
Sekitar jam enam pagi saat kami mulai berjalan, suasana agak redup tapi kondisi sekitar jauh lebih jelas terlihat dibanding semalam. Tiba-tiba aku seperti mendengar sayup bunyi lonceng. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk memastikan suara itu yang tercampur dengan bunyi debur ombak.

Aku melihat Obet yang wajahnya seketika berubah cerah, "Mam itu lonceng gereja kan? Iya, Mam! Itu bunyi lonceng gereja" katanya saat suara seperti lonceng terdengar makin menguat. "Puji Tuhan.." Wajah Obet benar-benar tampak cerah. Wah aku lupa kalau pagi ini hari Minggu pastilah itu lonceng gereja untuk kebaktian Minggu.

Kami berjalan lebih semangat kembali ke hutan menerobos semak belukar mengikuti suara lonceng yang kami dengar. Kali ini kami bergerak lebih pasti karena suara gereja terdengar jelas arahnya. Langit yang terang juga membantu kami melewati hutan. Sekaligus kami jadi menyadari bahwa di belakang pantai Eno'niu itu sebenarnya adalah hutan bukan hanya beberapa pepohonan milik masyarakat seperti yang aku kira.

Jam setengah delapan akhirnya kami bertiga bertemu jalan. Ada kelegaan luar biasa yang melingkupi kami. Saat menelusuri jalan, beberapa puluh meter di depan kami lewat seorang mama tua yang berdandan rapi yang menurutku mau ke gereja.
"Mam, aku yang meminta tolong ibu itu ya?" Obet menawarkan diri dengan sangat bersemangat. Yah giliran seperti ini, dia lah yang paling semangat. Dan taukah kalian, adegan selanjutnya tidak lebih adalah melihat pemutaran film India dengan semua melodrama-nya. Obet memang jago kalau urusan seperti itu.

Akhirnya aku bisa merasakan nikmatnya air yang memasuki tenggorokanku setelah semalaman didera kehausan. Kebetulan mama Viko juga ada kue-kue yang rencananya mau diberikan ke gereja. Ah rejeki anak sholeh, akhirnya bukan cuma mendapatkan minuman kami juga diberikan makanan. Kata Mama Viko, kue-kue yang kami makan itu memang rencananya mau dibawa ke gereja. Mama Viko sendiri biasa berjualan kue di pantai Puru.

Tapi ada satu keanehan yang aku simpan dalam hati. Sejak Obet menceritakan tentang peristiwa kesasarnya kami dan pengalaman bertemu danau, rasanya tidak ada yang menjelaskan tentang keberadaan danau itu. Entah kenapa, mereka tampaknya menghindari menceritakan danau itu.



======= 

Note: Cerita ini bukan pengalamanku sendiri melainkan teman-temanku yang kesana. Awalnya aku diajak namun karena ada kesibukanku akhirnya mereka bertiga yang kesana yaitu: Imam "Bocil" , Adisti "Pipi", dan Alberth "Obet"
Seharusnya aku ikut kesana, namun karena sedang ada kesibukan akhirnya cuma mereka bertiga. Aku kesananya pada hari Minggu setelah pagi-pagi ada telepon dari Vivi, temennya Adis, yang tanya apa Adis menghubungiku. Kata dia waktu itu, malam kejadian itu ada pesan masuk dari Adis, yang berpesan kalau sampai pagi tidak menerima kabar dari dia supaya menghubungiku.



Catatan Tentang Danau Oemenu
Beberapa bulan sebelumnya aku (penulis) dan mas Eko pernah datang ke danau Oemenu  ditemani pak Frengki dan pak Koster. Kata pak Koster waktu itu tempat itu jarang diketahui orang umum bahkan masyarakat sekitar sini. Pak Frangki sendiri mengakui kalau dia sendiri jika tidak ditemani pak Koster masih suka kesasar ke tempat ini.

Pak Koster cerita jika ada beberapa kali orang bule yang datang ke sini minta diantarkan ke danau Oemenu. Bukan pantai Puru? tanyaku waktu itu. Tidak pak, mereka datang ke sini ya maunya melihat Danau Oemenu. Sebelumnya mereka kesini dan membantu masyarakat memasang pipa untuk menarik air dari mata air menggunakan mesin genset. Sayangnya sekarang sudah tidak ada jejaknya, entah karena mesin gensetnya rusak.

Kebetulan sekitar danau Oemenu itu ada sebuah gua bawah tanah yang ada mata air besar yang tidak pernah kering. Mata air ini dulu suka disebut gua ABRI (sorry kalau salah, aku agak lupa penyebutan pak Koster tentang mata air ini) karena dulu tentara pernah memasang pipa untuk mereka gunakan mengambil air di sini. Cukup dalam, aku bisa mendengar suara airnya saat tes dengan melemparkan batu ke dalam gua. Tapi tetap tidak bisa melihat airnya, mungkin juga karena bentuk lekukan guanya.

Pertanyaan yang belum dijawab pak Koster waktu itu darimana orang-orang bule itu tahu tentang keberadaan danau Oemenu dan mata air itu. Setelah kejadian itu, aku baru berpikir lagi apakah ada hubungan antara bule-bule yang datang itu dengan penampakan orang-orang Belanda di danau Oemenu? Entahlah, alam kadang memberikan cerita kepada kita dalam potongan-potongan puzzle.


Tulisan sebelumnya: Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 18 Januari 2018

Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu

Danau Oemenu I yang airnya berwarna gelap
Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini , batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini . Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Rencana Nenda di Snaituka
Sore sekitar jam lima sore, kami bertiga baru masuk ke gerbang wisata Pantai Puru. Jalan dari desa Puru ke pantai ini yang paling memakan waktu. Tanah putih berdebu yang sudah tidak rata membuat motor tidak dapat dipacu. Jam lima namun cuaca masih terasa panas, maklum bulan Oktober seperti ini memang Kupang lagi panas-panasnya.

Pantai Snaituka rencana kami menginap
"Wah, pak Imam..." sapa ramah seorang pria berbadan gempal yang bertugas menjaga tempat ini sambil menyalamiku, "Eh, ada mbak Adis juga" senyumnya makin terbuka lebar saat mengetahui Adis juga datang.
"Mau nginep pak hari ini?" tanyanya. Namanya Pak Frengki, pria ramah ini memang sudah kami kenal lama, hanya Obet yang belum kenal dia karena memang baru sekali ini kesini.
"Iya, sudah sepi ya pak?" tanyaku sambil memandang sekeliling. Jika sudah terlalu sore seperti ini, sebagian besar pengunjung sudah kembali sehingga pantai Etiko'u tampak sepi.
"Iya biasa kalau hari begini. Nginap di tempat biasa kan pak," tanya pak Franki sambil menunjuk lopo yang biasa aku gunakan untuk menginap jika kesini.
"Mau ke pantai sebelah saja pak, bisa kan?"
"Bisa, tapi saya gak bisa temani. Ada acara malam ini."
"Nanti malam kalau sempat saya mampir ke tempat mas Imam," ujar pak Frangki sambil mulai membenahi beberapa barangnya. Katanya sih ada acara di tetangganya hari ini. Pak Frangki memang biasanya kalau pas kami menginap suka datang ke sini buat ngobrol-ngobrol sambil membakar api unggun.

Tanpa menunggu pak Frangki jalan, kami langsung berjalan masuk ke kiri menuju ke arah rerimbunan bakau. Kali ini tidak seperti biasa, kami berencana akan menginap di pantai Snaituka. Pantai Snaituka terletak disebelah pantai Etiko'u yang dibatasi pepohonan bakau dan bekas rawa yang mengering selama bukan musim hujan.

Sesampai di pantai Snaituka kami menaruh semua barang di dekat pepohonan yang pasirnya agak tinggi karena di bawah pohon kelapa masih terlalu banyak tanaman perdu yang batangnya banyak duri, tempat yang ideal untuk memasang tenda . Aku melihat matahari sudah mendekati batas horison dan pantai Snaituka bukan lokasi terbaik untuk menikmati pemandangan itu. Yap, tenda kami berencana tidur di pantai Snaituka tapi kami menghabiskan hari di pantai Eno'niu. Pantai terbaik untuk menikmati senja karena dari tempat itu matahari tampak tepat jatuh di horison air. Setelah berembuk, kami sepakat untuk menunda pasang tenda dan menikmati senja dulu di pantai Snaituka.

Aku bahkan memilih meninggalkan semua peralatan termasuk air minum karena aku pikir pantai Eno'niu yang cuma berjarak seratusan meter dari pantai Snaituka tidak praktis jika sambil membawa air minum. Walau jaraknya dekat tapi menuju pantai Eno'niu tidak mudah karena antara dua pantai ini dibatasi karang tinggi. Memang ada jalur yang dalam dilewati sesuai namanya yaitu Eno'niu (pohon asam), tapi tetap saja harus melewati karang tinggi yang tajam.

Kemalaman di Eno'niu
Pantai Eno'niu yang terlindung karang di kiri kanan
Karena terlalu asyik menikmati pantai Eno'niu, kami bertiga baru tersadarkan jika langit sudah terlalu gelap. Giliran mau balik ini lah yang menjadi masalah. Jalan kita masuk ke tempat ini sudah terlalu gelap padahal saat terang saja kita harus ekstra hati-hati.

"Mam, kita lewat jalan lain ya" Obet bertanya tapi aku tahu anak ini sebenarnya takut.
"Takut Bet?"
"Gak lah, aku cuma takut kalian kesusahan lewat.. Aku cuma pengen lewat jalan lain saja kok"
"Ya udah. lewat balik jalan tadi aja" 
"Jalan lain aja, aku gak suka jalannya kalau gelap. Bukan takut sih, tapi agak gimana gitu. Lewat jalan lain ya"
Tokek satu ini memang begini. Aku tahu dia sebenarnya takut dengan ketinggian, apalagi harus lewat melalui jalan masuk tadi saat gelap begini. Tapi tetap saja kelakuannya sok cool (baca: kedinginan).

Sebenarnya kalau sedang surut kita bisa berjalan menyusuri pinggir pantai. Tapi saat ini justru air baru setengah tinggi sehingga ombak bisa menjangkau sampai ke pinggir karang jelas bukan ide bagus. Masalahnya beberapa kali ke sini aku belum pernah ditunjukkan jalan lain selain lewat karang dan pinggir pantai. Aku sendiri tidak tahu ada apa dibalik pepohonan pantai Eno'niu. Aku pernah naik di salah satu karang bareng mas Beki tapi waktu itu yang tampak disekeliling hanya pepohonan dan karang-karang tinggi. Entah berapa jauh jarak ke perkampungan dari tempat ini.

"Dis, bawa minum?"
"Gak"
"Obet?"
"Gak lah, kan kita tinggal semua di tenda"
"Ah, sial!"

Salah satu jalan menuju ke pantai Eno'niu
Cukup lama aku harus menimbang. Tidak ada minuman, tidak ada pisau, dan tentu saja tak ada sinyal di sini. Cuma ada satu senter, dan itu aku saja yang bawa. Tidak ada pilihan untuk bertahan disini. Memang ada ceruk di salah satu tebing yang bisa kita gunakan untuk bermalam hanya bukan saat ini, bukan pada saat seluruh barang kami tinggal di dalam tenda.

Akhirnya aku memutuskan masuk ke dalam rerimbunan pepohonan dimana ada sebuah jalan kecil disitu. Aku melihat sebuah jalan kecil temukan saat langit masih cukup tadi sore. Aku sendiri tidak tahu pasti di balik pantai Eno'niu adalah sebuah hutan, hanya perkiraanku saja. 

Aku fikir setidaknya jika aku terus berjalan mengikuti arah kiri aku akan bisa sampai ke salah satu pantai entah pantai Etiko'u atau syukur bisa ke pantai Snaituka. Atau sesial-sialnya tetap akan ketemu jalan kampung.

Di depan jalan kecil yang tidak kami kenal ini kami terhenti sejenak. Ada secuil doa yang diam-diam aku panjatkan bahwa ini bukan keputusan yang salah. Aku di depan memimpin jalan dengan senter di kepala. Obet di belakangku dan yang paling belakang adalah Adis dengan mengunakan cahaya senter dari hape masing-masing. Kenapa justru Adis yang notabene cewek justru yang paling belakang? Kalian pasti tahu apa sebabnya.

Bertemu Danau Oemenu
Aku menyusuri jalan dengan hati-hati. Setiap ada kemungkinan ke kiri aku akan memilih jalan itu. Semakin dalam aku masuk, pepohonan semakin lebat, jalan pasir putih mulai digantikan dengan karang yang tidak rata. Semakin ke dalam jalan yang mulai tambah tak jelas, beberapa kali kakiku harus terantuk akar kayu yang menjalar di sepanjang jalan.

Danau Oemenu I menjelang tengah hari
Aku terus berjalan yang pelahan menanjak sampai pada titik tertinggi dan berhenti di antara bayangan tinggi karang yang menjulang dengan akar pohon yang menutupinya, mungkin pohon beringin.

Dalam keremangan malam, cahaya senterku menangkap bayangan gelap air jauh di bawah. Aku tidak terlalu yakin. Aku berhenti menunggu Obet dan Adis mendekat. "Itu dibawah air Bet?" tanyaku setelah Obet menjajariku.
Mata Obet menatap lekat-lekat ke bawah mengikuti arah pandanganku. Tak ada jawaban.
"Bet, kita cek ke bawah dulu?"
"Kamu aja cek mam, aku tunggu di sini jagain Adis," usul Obet disambut muka galak Adis yang merasa dimanfaatkan sama Obet.

Danau Oemenu II yang airnya berwarna hijau
Sambil mencari pijakan pelahan aku turun ke bawah meninggalkan mereka berdua menunggu di atas. Beberapa langkah turun, samar aku bisa mencium bau anyir. Aku diam agak ragu, aku melihat ke atas melihat apakah mereka berdua juga membaui hal yang sama. Semakin turun ke bawah bau anyir semakin tercium kuat. Jalan menurun agak curam tapi terbantu dengan sulur-sulur yang melintang sepanjang jalan bisa untuk membantu pijakan atau pegangan.

Sekarang di depanku tampak sebuah kubangan air sebesar rawa yang airnya yang tampak pekat kehitaman. Pepohonan besar yang mengelilinginya tampak seperti bayangan mahluk hitam besar penjaga rawa. Hawa dingin menerpa sebelah kananku begitu halus. Refleks aku menolehkan pandangan ke kanan dan sebuah jalan kecil samar dan di depannya ada ............

Tak ada apa-apa.. hanya hitam gelap....

"Dis.. Bet.. turun, kayaknya ada jalan di depan sini," aku berteriak ke arah Adis dan Obet berdiri menungguku di atas.

========
Malam terasa begitu sunyi sehingga bunyi-bunyian dari binatang malam sangat jelas terdengar seperti bersahut-sahutan. Aku bahkan dengan jelas bisa mendengar kaki Imam merosot turun ke bawah. Satu-satunya yang membantu mengusir sunyi pada saat ini adalah celotehan Obet yang tidak jelas. Cukup membantuku mengabaikan kelebatan-kelebatan suara kaki yang bergerak cepat di belakangku.

"Dis, kita turun," Obet menoleh kepadaku. Sebelum aku mengiyakan ternyata Obet sudah turun duluan, padahal kukira dia mau meminta aku turun duluan. Mahluk satu ini dalam situasi tertentu kadang kelihatan kampretnya.

Mas Eko menuju ke danau Oemenu II
Kami berdua turun mengikuti jejak Imam sambil menjangkau sulur-sulur pohon untuk dijadikan pegangan. Tak berapa lama Obet sudah berdiri menjajari Imam. Aku yang masih beberapa meter di belakang Obet dan Imam saat tiba-tiba merasakan beberapa langkah kaki bergerak mendahuluiku.  

Saat aku menoleh ..... pandanganku terpaku pada sosok pendek bergerak turun di sampingku. Wajahnya terlihat samar gelap seperti muka yang bersembunyi di balik bayangan. Satu satunya tiba-tiba berhenti dan seperti menyadari sesuatu tiba-tiba menengok ke dan menatapku. Mata bulat menyudut berwarna merah sesaat membuatku diam terpaku. Lalu dia bergerak menghilang di kegelapan hutan. Mata itu mengingatku pada mata seekor rusa.

Seperti tersadar kalau tanganku sudah tidak memegang hape yang aku gunakan sebagai pengganti senter, sontak aku meraba-raba tanah mencarinya. Untung cahaya hape menyala sehingga sebentar sudah aku temukan lagi. Aku memejamkan sejenak, pengalaman tadi membuat jantungku berdetak kencang. Sepertinya ini adalah permulaan, batinku.

Aku mendengar Imam dan Obet memanggil-manggil namaku. "Iya, gak pa-pa!" sahutku supaya mereka tidak merasa kuatir.

Pelahan aku kembali turun ke arah mereka. Tak berapa lama kemudian aku sudah berdiri beberapa meter di depan mereka. Ada kelegaan di mata mereka melihatku.

Tiba-tiba ada hembusan angin dingin dari belakang mereka ke arahku. Aku menahan diri untuk tidak melihat. Sedetik.. dua detik.. tidak ada apa-apa. Tiba-tiba ada beberapa kali yang melintas di sampingku yang membuatku tanpa sadar melihat ke arah mereka.

Mataku mengikuti arah mereka hingga akhirnya tertumbuk ke arah dimana angin dingin tadi bertiup dan di balik bayangan pepohonan aku melihatnya.....
=========

Aku dan Obet menoleh ke arah Adis karena tiba-tiba merasakan suasana senyap. Aku melihat Adis terdiam. Karena tidak melihat gerakan gadis itu akhirnya aku dan Obet bersamaan teriak memanggilnya. Untung tak lama kemudian Adis menjawab. Ah aman, pikirku.

Aku berjalan beberapa langkah ke depan untuk memastikan jalan yang akan kami lewati. Saat aku menimbang arah tiba-tiba mataku tertumbuk pada pandangan Adis di belakangku. Sontak aku mengikuti arah pandangnya dan ...........  

Hanya ada kegelapan kosong, selain bau anyir air lumpur rawa ini tentu saja. "Dis," panggilanku pelan seperti tidak didengarkannya, pandangannya tetap seperti semula seperti terpaku.
"Dis," aku memanggil sedikit lebih keras. Adis tidak menjawab tapi buru-buru bergerak ke arahku disusul dengan Obet kemudian. "Kita jalan," katanya seperti menghindari sesuatu.

Milkyway di atas langit Puru
Kami kembali berjalan menembus hutan yang tidak tahu kapan berakhirnya. Perjalanan berikutnya bukan makin mudah karena kami justru harus melewati karang yang lebih tajam-tajam dibanding sebelumnya. Beberapa sulur ternyata ada duri. Aku tak tahu kalau beberapa sulur yang mirip akar itu sebenarnya pohon tuba yang memang tumbuhnya menjalar, cuma bedanya sepanjang batangnya banyak duri. Aku sudah mengabaikan rasa perih yang beberapa kali kurasakan saat salah memegang sulur.

Aku selalu mencoba memilih ke kiri berharap untuk setidaknya bertemu dengan pantai. Namun entah mengapa selalu ada dinding karang terjal yang membuat aku harus berjalan memutarinya. Ada suara ombak yang aku dengar tapi sulit menentukan di sisi mana karena suara itu bisa jadi dari pantulan bukit-bukit karang. Suara ombak itu seperti berasal dari beberapa sisi. Beberapa kali aku coba mengikuti suara ombak tapi berakhir di dinding karang yang tidak bisa dilewati.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tidak ada tanda-tanda bakal menemukan pantai. Rasa kuatir mulai merambati hatiku. Celotehan Obet bahkan sudah tidak terdengar lagi, hanya sekali-kali. Tapi cukup membantu mengurangi beban, apalagi berjalan tak tentu arah selama tiga jam membuat kerongkongan kami kehausan.

Dalam langkah dengan keyakinan yang makin goyah, langkahku seperti menemukan titik terang saat aku bisa mendengar lamat-lamat di depanku. "Bet, itu suara ombak dari depan kan?" aku coba mencari pendapat lain. Obet menganggukkan kepada enggan, semangatnya mulai patah.
Aku cuma berharap dia tidak benar-benar kehilangan semangat. Satu-satunya yang tetap membuat kami bertahan di saat seperti ini. 

Dengan sebagian semangat yang masih tersisa, aku mulai baik pelahan ke atas batu karang menembus sulur-sulur yang makin rapat. Makin ke atas, asal suara ombak makin terdengar jelas, sehingga aku makin yakin kami makin mendekati pantai.

=========
Aku tidak peduli betapa tenggorakanku sudah mengering dari tadi, aku hanya mengikuti langkah mereka berdua yang terus berputar-putar di hutan ini. Bahkan saat Imam mulai tampak semangat mengikuti bunyi ombak yang diyakini telah dekat pantai.

Aku hanya ingin keluar dari hutan ini, tidak ada yang lain. Perkenalan dua kali tadi cukup membuatku yakin bahwa mereka tidak menyukai kami di sini.

Beberapa kali aku harus merelakan kakiku terluka terkena ujung karang yang tajam. Awalnya memang terasa pedih namun karena terlalu sering aku justru malah mengabaikannya. Lain dengan Obet, tiap kali kakinya terkena sulur atau tersangkut karang masih saja sumpah serapahnya keluar. Mujur masih ada suara dia, setidaknya keheningan hutan ini tidak segera membunuh semangatku.

Aku sempat berfikir untuk mengajak mereka turun ke danau itu, tapi lagi-lagi aku memilih diam. Walaupun aku bisa melihatnya belum tentu perjalanan ke bawah mudah. Sambil terus berjalan mataku mencuri lihat ke arah danau berharap ada jalan mudah turun ke sana.

Tiba-tiba di ujung danau aku melihatnya......... Dia hanya menatapku, tidak hanya satu...
==========


(bersambung ke Danau Oemenu: Gelombang Tinggi)
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya