Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label air panas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label air panas. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Maret 2017

Pemandian Air Panas - Guci Bumijawa

Musim hujan bukan berarti absen jalan-jalan. Alternatif wisata pemandian bisa jadi contohnya. Pilihanku kali ini jatuh pada Guci, wisata pemandian air panas yang terletak di Bumijawa, Tegal, Jawa Tengah.

Dari Jakarta ke Tegal ditempuh selama 5 jam perjalanan dengan kereta api malam jurusan Semarang. Kali ini aku ditemani dua kakakku. Pagi hari kami tiba di Tegal.Keluar dari Stasiun Tegal sudah ada angkutan umum yang bisa mengantar kita sampai Slawi. Angkutan umumnya tiap lima menit lewat di depan warung tempat kita sarapan. Sampai Slawi disambung dengan angkutan umum berupa mobil pick up bak terbuka menuju Bumijawa.
Akhirnya tiba juga aku di Guci. Kawasan hutan wisata yang terletak di kaki Gunung Slamet.Setelah check-in hotel, aku bersiap-siap pergi ke  tempat pemandian umum. Kebetulan aku memilih hotel yang terbesar di kawasan ini dengan pertimbangan hotel ini memiliki kolam renang yang luas. Jadi setelah selesai mandi dari pancuran pemandian umum bisa lanjut ke kolam renang.

Tempat pemandian pertama yang aku kunjungi adalah Pancuran Tigabelas. Disebut Pancuran Tigabelas karena memiliki tiga belas pancuran. Terdiri dari tiga bagian berundak-undak. Bagian yang berada di undakan tertinggi berdekatan air terjun dengan aliran sungai yang mengikutinya. Penduduk sekitar menyebutnya Air Terjun Bedor. Diambil dari nama orang yang pertamakali menemukan air terjun itu.

Serasa dipijat punggung dan kepalaku saat air pancuran yang deras menyentuh tubuh. Mandi dan berendam di air panas membuat tubuh jadi rileks sekaligus terapi stres hehehe. Istimewanya mata air panas Guci ini berasa tawar dan tidak mengandung sulfur atau belerang jadi tidak membuat kulit menjadi kering.

Menurut legenda mata air panas Guci berasal dari tongkat yang ditancapkan ke tanah oleh Sunan Gunung Jati yang hendak mencari sumber mata air. Dari tongkat yang diangkat menyemburlah air panas yang tidak berbau dan berasa. Legenda lain menyebutkan anak buah Nyi Roro Kidul turut menjaga keberadaan mata air Guci, itu sebabnya ada patung naga di Pancuran Tigabelas.

Selesai berendam di Pancuran Tiga Belas, aku beranjak ke Pancuran Lima. Air di Pancuran Lima terasa lebih panas dikulit. Oleh karena itu aku hanya berendam selama lima menit, lalu pindah ke kolam sebelahnya. Disini pengunjung lebih sedikit dibanding Pancuran Tiga Belas. Puas berendam disini, aku kembali ke hotel.

Niatku setelah sampai hotel mau melanjutkan berendam di kolam renang tidak jadi. Perutku mengirim sinyal untuk segera diisi hehehe. Selesai mandi berbilas, saatnya isi perut.

Diseberang hotel ada pasar dan tempat parkir bagi para pengunjung wisata pemandian air panas. Kios-kios berjejer sepanjang area parkir, sehingga memudahkan untuk mencari makanan, minuman, jajanan dan cinderamata/oleh-oleh.

Sate kambing muda, sate kelinci dan teh poci menemani makan siang yang telat. Hhmmm yummy.... Kelar mengisi perut, aku balik ke hotel menghabiskan sore di pinggir kolam renang. Rencana nanti menikmati suasana malam di Guci.

Menikmati malam sambil berpayungan. Berjalan hati-hati untuk menghindari cipratan air. Hujan dari sore membuat aku mencari yang panas dan berkuah untuk makan malam. Mie instan, kopi dan wedhang jahe jadi pilihan yang asik.

Keesokan pagi aku langsung berendam di kolam renang karena kemarin belum sempat berenang disini. Setelah mandi dan sarapan di hotel, aku mengunjungi hutan wisata dan Pancuran Tigabelas lagi. Sekedar untuk berfoto dan mencicipi kuliner sepanjang jalan ke sana. Tak lupa membeli oleh-oleh. Saatnya check out hotel, kembali ke Jakarta.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 03 Februari 2013

Bajawa Lagi: Air Panas dan Foto Makro

Air terjun yang panas bercampur dengan air dingin: Pemandian Air Panas Mengeruda, SoA
Nyaris tiap hari mendung menutupi langit saat sore mulai menjelang, kadang pula pagi pun langit sudah dipenuhi mendung. Bajawa yang berada di ketinggian di atas 1.100 dpl memang bulan-bulan seperti ini harus rela menikmati mendung atau kabut seharian. Untungnya cuaca begini justru Bajawa tidak terlalu dingin. Aku yang tidak mempersiapkan untuk penugasan di tempat yang terkenal dingin tidak terlalu risau jika keluar dari hotel hanya memakai rompi saja. 
Sore yang sering berkabut dan hujan
Coba saja kalau kondisi begini terjadi di bulan Mei sampai dengan Agustus, mungkin aku tidak akan berani keluar dengan baju seperti itu. Meski hawa lebih hangat, tetap saja air yang mengalir dari kran kamar mandi serasa air es yang dicairkan. Jadi tetap saja pagi-pagi aku, Angga dan Putra teriak-teriak cari om Sipri yang menjaga hotel Kembang untuk minta disiapkan air panas. Wal hasil, mandi pagi dengan air panas menjadi rutinitas tiap hari, tapi cukuplah mandi sekali sehari. Malas juga kalau harus minta dibuatkan air panas sore hari.
Menu kopi pagi dan sore hari juga menjadi kebiasaan tersendiri jika di Bajawa. Memang aku sendiri tidak minum kopi tiap hari, namun aku mengambil setengah cangkir kopi pagi kadang-kadang. Aroma kopi yang sedap membuatku membiarkan aku keluar dari kebiasaanku, toh tidak setiap hari kulakukan. Jangan tanya Angga, bahkan dia bisa membawa satu termos kopi untuk diminum semalaman. Tak heran jika dia sering tidur di atas jam dua belas malam. 


Berita buruknya aku menjadi tak bisa keluar hotel untuk sekedar jalan-jalan, padahal aku berniat untuk kembali memotret sungai Waewoki yang aliran air sungainya mengelilingi sebagian kota Bajawa. Angga sendiri berminat untuk bisa mengunjungi kampung Bena. Aku juga mau kembali melihat air terjun Ogi. Putra tidak ada rencana karena memang dia baru sekali ini penugasan kesini sehingga tidak punya gambaran mau kemana. 
Setiap pagi, untuk memanaskan kameraku aku akhirnya lebih sering memotret di sekeliling hotel. Kebetulan bagian belakang hotel banyak dipenuhi tumbuhan merambat yaitu tanaman labu jepang dan ubi rambat, sehingga banyak sekali serangga seperti kutu, kepik, tawon juga bekicot namun yang berukuran kecil.
Yah, kegiatan kecil ini cukup menghiburku saat menunggu kendaraan yang menjemput kami datang. Kadang kalau sedang keasyikan berburu binatang-binatang kecil ini aku sampai harus diingatkan Angga bahwa kendaraan sudah menunggu.
Sampai akhir penugasan aku dan teman-teman tidak juga mendapatkan kesempatan. Akhirnya kami mencoba berspekulasi untuk mencoba mampir ke air panas Mengeruda di Soa yang berada satu arah dengan bandara. Kebetulan pesawat dari Bandara Soa ke Kupang berangkat jam 10.20 WITA, sehingga jika kami berangkat pagi-pagi kami dapat ke sumber air panas itu setengah atau satu jam cukuplah.
Hari Sabtu pagi cuaca cerah, kami sendiri sudah selesai berkemas-kemas. Namun celakanya acara makan soto pagi ini justru yang batal karena soto telah habis padahal itulah hal pertama yang harus kami lakukan jika hendak berendam di air panas. Dulu waktu pertama kali kesini, ada kejadian buruk menimpa teman kami. Selesai berendam dia pusing dan lemas sekali karena sebelumnya tidak makan. Mungkin karena sudah terlalu lemas sekembalinya ke hotel dia sempet sakit sampai muntah-muntah. Untunglah pagi ini ada tukang bubur lewat, semangkuk bubur kacang hijau campur ketam hitam langsung mengisi lambung kami.

Air Panas Mengeruda, SoA
Jam setengah delapan, aku berempat dengan Angga, Putra dan pak Joko mulai keluar hotel. Setelah kenyang dengan bubur dan roti tentunya. Dul sendiri yang menyetir kendaraan Innova, sehingga kendaraan bisa diambil dengan memotong jalan. Aku kurang tahu persis dari titik mana dia memotong jalan tapi lumayan juga waktu yang dihemat. Jam delapan lewat sepuluh menit kemudia kami telah sampai di pelataran parkir.
Sungai pertemuan air panas dan dingin
Hal pertama yang tampak adalah tempat ini sangat sepi bahkan penjaga pintu masuk dan petugas penjual tiket tidak ada sama sekali. Deretan tempat berjualan juga belum berisi satu penjual pun, padahal sudah jam delapan. Di depan pintu masuk dengan jelas terpampang jam buka lokasi jam 07.00 - 19.00. Kalau boleh dibilang ada penjaga, maka itu seekor anjing hitam yang sedang nyenyak tertidur di depan pintu gerbang sebelah kanan.
Untungnya pintu gerbang sebelah kiri masuk. Daripada menunggu penjaga gerbang, kami memutuskan masuk lewat gerbang kiri dengan pertimbangan nanti uang masuk bisa dibayar saat kami kembali.
Terlihat sudah ada beberapa bangunan baru yang berdiri dibanding beberapa waktu dulu aku kesini pertama. Namun sayangnya, justru beberapa bangunan lama banyak yang rusak. Rupanya masalah pemeliharaan memang menjadi momok bagi pemerintah daerah. Kegiatan pemeliharaan yang seharusnya lebih diutamakan sepertinya malah justru yang seringkali mendapat perhatian terakhir.
Kami berlimalah rombongan pertama dan sepertinya satu-satunya. Menurut pak Dul, memang pemandian air panas Soa ini hanya ramai di hari libur itu pun tidak pagi-pagi tapi siang dan sore harinya.
Pemandian Soa bagian tengah yang paling panas
Angga langsung memilih masuk ke kolam di tengah, sebuah cekungan yang berbentuk lingkaran yang sudah disemen di sekelilingnya, bagian tepat dimana sumber air panas itu muncul. Perjalanan sebelumnya aku menghindari bagian kolam yang di tengah ini karena menurutku memang panas sekali. Karena Angga sudah masuk terlebih dahulu akhirnya aku ikut masuk juga yang disusul pak Joko, sedangkan Putra memilih tidak mandi dan hanya mencelupkan kakinya saja. Air di sini awalnya terasa panas sekali dan bau belerang juga tercium walau tidak terlalu kuat, tapi setelah masuk ke dalamnya beberapa saat akhirnya tubuhku bisa menyesuaikan diri. Hampir lima belas menit kami berendam di sini, lalu kami mencoba pindah ke bawah. Jadi dari cekungan tengah ini, air mengalir ke bawah menuju ke sungai. Nah di bagian turunan bawah sini terjadi pertemuan air panas yang berasal dari cekungan dan air sungai yang dingin. Air panas yang turun terasa kencang sekali menunjukkan kalau saat ini memang debit air panas sedang tinggi. Mungkin itulah suhu bagian tengah tidak sepanas pada saat debit airnya tidak sebesar saat ini.
Aku baru merasakan lemas saat ganti baju, padahal aku hanya berendam tak lebih dari setengah jam. Untung saat di luar, aku melihat ada warung kecil yang sudah buka. Jam sembilan kami mulai meluncur untuk check-in di bandara. Sambil menunggu check-ini aku, pak Joko dan Dul mencari makan di sekitar bandara. Semangkuk soto Lamongan membuat tenagaku terasa kembali, padahal dari tadi aku merasa lemas terus walau sudah minum di warung di depan pemandian.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya