Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Sabtu, 21 Februari 2015

Pasola: Tarian Perang di Atas Kuda

Seorang petarung Pasola sedang memancing lawan (lok. Rara Winyo, desa Wura Homba)
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya. (sumber: Wikipedia)

Akhirnya aku punya alasan untuk menulis tentang Pasola. Sebenarnya Pasola sendiri sudah aku lihat dua kali sebelumnya, dua-duanya di Lamboya. Yang pertama sudah lama sekali mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Tahu kan apa yang terjadi 10 tahun lalu? Yup, kamera masih jadi mainan mahal dan karenanya aku gak punya gambar-gambar Pasola yang aku lihat. Yang kedua beberapa tahun lalu, saat aku sudah punya kamera prosummer. Entah waktu itu Canon S5 IS atau Fuji S200 EXR. Yang pasti aku waktu itu inget bawa tripod dan perlengkapannya tapi justru malah lupa bawa kameranya.. uassyeeemm... wal hasil hasil nonton Pasola kedua nangkring di kamera China (mati kecemplung di pulau Kambing) dengan resolusi 0,3Mp..

Kecil tapi lincah di atas kuda Sambutan balik untuk para penantang
Menantang lawan sendirian Perang tombak terjadi
Nah yang ketiga inilah aku bisa dapet foto-foto Pasola. Mau ngambil foto dari internet gak asyik lah, lah asyiknya itu tuh ngeliat sendiri kok sekaligus moto sendiri. Mungkin sebagian orang sudah tidak asing karena Pasola sudah menjadi salah satu destinasi wisata yang dijual di luar negeri.
 
Jangan banyak-banyak nanya asal-usul Pasola dan ceritanya gimana ada Pasola ya, itu di om Wiki banyak banget ceritanya dari sejarah, prosesi sampe pendaftarannya.. eh terakhir gak ada ding.... :D Kalau aku jelasin satu, percaya deh pasti kalian akan nerocos nanya lebih banyak lagi, mending kalian baca om Wiki trus masukin barang-barang ke tas ransel dan cao ke Sumba mumpung sekarang masih belum abis Pasola-nya.. ayo buruan, keburu cuti abis buat ngorok doang.
Ini nih jadwal yang dikirim mas Eko lewat forum Tapaleuk Ukur Kaki tapi hanya untuk jadwal yang di Sumba Barat Daya.
10 Februari 2015Homba Kalayo, Desa Waikaninyo, Kec. Kodi Bangedo
13 Februari 2015Bondo Kawango, Desa Pero Batang, Kec. Kodi
14 Februari 2015Rara Winyo, Desa Wura Homba, Kec. Kodi
11 Maret 2015Maliti Bondo Ate, Desa Umbu Ngedo, Kec. Kodi Bangedo
13 Maret 2015Wai Ha, Desa Wai Ha, Kec. Kodi Balaghar
14 Maret 2015Wai Nyapu, Desa Wai Nyapu, Kec. Kodi Balaghar

Nah, aku dapet acara paling bontot di Februari di desa Wura Homba. Sayang aku gak dapat untuk jadwal acara di Lamboya dan Wanokaka. Kemungkinan sampai saat ini masih ada acara Pasola yang dapat dilihat di Lamboya atau Wanokaka.
Jangan tanya apakah jadwal itu pasti, termasuk kalau tahun depan ada jadwal serupa. Walaupun itu penting bagi wisatawan apalagi yang waktunya juga tidak panjang namun tak bisa dipungkiri bahwa Pasola bukan sekedar permainan yang bisa dimainkan kapan saja dan dimanapun. Untuk memulainya tergantung para Rato (tetua suku) yang akan berembuk setelah ritual Nyale. Ritual Nyale selalu mengawali acara Pasola, bahkan disanalah awal untuk menyebut apakah sebuah Pasola bisa dimulai.
Menunggu musuh mendekat Saling berhadapan siap perang
Kalau mau jujur, aku jauh lebih terkesan dengan Pasola di Lamboya. Pertama karena lokasinya yang di perbukitan yang terpisah dengan rumah penduduk sekitar. Yang kedua, hawa perang lebih terasa makanya sering kali acara Pasola menjadi rusuh. Teriakan-teriakan penonton dan pekikan khas begitu kuat membakar para petarung sehingga tak terelakkan acara ini kadang menjadi begitu panas. Di Lamboya, dua kali acara berakhir dengan kerusuhan yang melibatkan para penonton juga juga sering membawa lembing. 

Mila Ate, temen pns yang ikut acara Pasola
Dan selesainya acara diakhiri dengan raungan mobil dalmas yang berlari kencang mengejar penonton yang terlibat kerusuhan. Seru dan menegangkan.

Walaupun sekedar lembing kayu tumpul jangan anggap remeh, tak kurang beberapa kali aku melihat peserta Pasola terluka sampai darahnya bercucuran bahkan ada yang matanya buta. Tapi bagi mereka, cucuran darahnya itu justru akan menjadikan tanah mereka subur dan membuat mereka nanti akan panen besar.
Ketegangan juga kadang bertambah jika ajang Pasola diselipi dendam pribadi akibat kekalahan sebelumnya dari salah satu peserta. Jadi walaupun melihat Pasola mengasyikkan, tak bisa dipungkiri ada ketegangan di sana.. Tak ada yang menjamin penonton aman dari lembing peserta yang melayang apalagi jika memilih duduk di depan. Padahal justru itulah posisi yang dicari seorang pemotret.
Aku juga nyaris hampir merasakan kaki kuda jika tak lekas menyingkir. Pada saat mencari tempat memotret entah kenapa seekor kuda berwarna putih yang dikendarai peserta mendadak berontak. Beberapa kali kaki belakangnya menyepak ke belakang. Akibat ulah kuda ini beberapa kuda yang didekatnya ikut gelisah. Untung aku sempat menyingkir agak jauh sebelum akhirnya kudanya berhasil ditenangkan pemiliknya, itu pun dia sendiri sempat terjatuh satu kali.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 20 Januari 2015

Bandung: Yang Penting Jalan Kaki

Nongkrong kek gini jadi kayak moto gigolo lagi nongkrong di pinggir jalan, tapi liat belanjaannya yang segede gaban jadi kayak liat cowo lembut gemulai.
Aku sebenarnya nyaris lupa mau menulis tentang Bandung ini karena ngotot nunggu ada foto yang cukup bagus buat aku tampilin di blog ini. Terus terang, belakangan memang agak kurang semangat moto. Jadi waktu di bandung juga cuma bawa kamera plus lensa yang udah terpasang. Lupakan tripod, aku bahkan tidak berpikir aku membutuhkannya selama di Bandung.
Padahal walaupun aku tidak punya foto-foto bagus di Bandung, selama seminggu menikmati malam di Bandung sangat seru apalagi kalau bukan karena bareng satu tugas bareng teman yang hobinya sama suka nyendal kemana-mana alias jalan-jalan.
Akhirnya bulan November, kesempatan ke Bandung itu datang. Tapi terus terang melihat ketatnya jadwal acara aku gak yakin bisa ke tempat-tempat yang menarik di Bandung. Faktanya memang tiap hari dari pagi sampai ketemu malam full acara. Itu balai diklat di jalan Jawa jadi saksi bisu penderitaan kami menerima materi tentang pekerjaan umum yang dipadatkan (mungkin setara Beton K-300) dari materi jalan, irigasi sampai urusan tinja (sanitasi) musti dilalap dalam 5 hari (faktanya 3 hari karena yang dua hari praktek lapangan).

Tapi hawa Bandung adem (kalo malem) tetep membuat kita tetep semangat cari waktu buat jalan-jalan apalagi dari Kupang kita sudah punya bayangan banyak mau ngapain di Bandung. Apalagi kalau bukan mau hedon belanja barang-barang backpackeran. Siapa yang menolak kalau Bandung itu tempat yang dengan mudah kita menemukan segala pernik tetek bengek peralatan gituan. Tapi gak perlu diceritain hedonnya kita toh tetep aja standar kere. Lagian kayak bencong kalo tiap malem wira-wiri ke mall balik nenteng belanjaan banyak. Kalau itu standarnya, maka Ardi lah yang aku tunjuk karena itu anak memang hedonnya gak ketulungan. Bahkan untuk menyadarkan dia harus dipanggil dukun beranak berulang-ulang. 


MasyaAllah, maafkan kesalahanku telah narsis begini...



Foto ini hasil dari bujukan dua tokek yang berhasil yang memaksaku moto narsis sebagai konsekuensi logis untuk mengabadikan perjalanan yang bersejarah. Foto narsis memang momen menjijikkan yang kadang harus di jalani (wajib mandi junub).
Jadi sekitar malam ketiga (seingatku malam itu malam Jum'at mungkin kliwon) kita mau tau dimana Dago. Supaya tahu dengan benar maka jalan satu-satunya ya jalan kaki. Maka dimulai dari perempatan di salah satu mall (jangan tanya nama mall aku gak pernah inget) kita naik angkot jurusan Dago. Dago mana? tanya abang Angkot... eh, bukan abang tapi aa'... Pokoknya Dago, jawaban sekenanya Imam. Jadi kita pasrah mau dibawa kemana sama sopir angkotnya. Satu demi satu turun, dimulai dari dari yang cantik sampai terakhir kuntilanak juga sudah turun tetep aja kita di angkot nunggu sopirnya ngusir kita. Akhirnya memang di terminal Dago kita diusir turun. Dago menjelang jam dua belas malem saat kuntilanak lagi nyusuin anaknya, ngapain coba???
Pikiran jorok Ardi memang menyesatkan, walhasil kita hanya melihat serangkaian bangunan yang tinggal hidup lampu luar bukan hingar bingar Bandung. Lho emang mau cari tempat dugem di Dago, mase? Gak sih, kali aja ada kuntilanak cantik susunya panjang mau nemeni kita jalan-jalan.. Jadi sampai sekarang aku juga gak tau, sebenarnya ada apa di Dago sebenarnya.. please, internet mabok nih.
Di mulainya terapi penurunan lingkar pinggang, untuk jalannya menurun sehingga jarak yang sekitar 6,5 km kata mas google gak terasa. Beneran gak terasa lho, cuma kaku dikit-dikit di persendian, nyeri tumit, sesak napas, mata melotot, dan ketek basah.. (hueekks!!!)
Ternyata acara nyendal jalan-jalan ini cukup sukses kita lakukan beberapa malam dengan tujuan yang serba gak jelas. Ide gilanya sederhana saja, yang penting jalan dulu kek mau kemana terserah baru kalau ketemu papan nama jalan baru browsing internet untuk tau ada hal apa yang menarik disitu.
Bandung tuh kek gini kalau lagi bener, kalo lagi mendung ya gitu deh
Sebenarnya selain jalan-jalan, acara di Bandung juga menjadi acara kuliner terutama buat Ardi, gak tau naik berapa kilo tuh anak setelah diusir dari Bandung. Pokoknya kalau pengen makan paling ya ngajak Ardi, ditanggung tidak akan ditolak. Aku sendiri hanya beberapa tempat yang ikut kayaknya salah satunya waktu Ardi ngajak ke kafe Infinito buat nyobain makan pizza durian. Ya Allah, pizza kok durian, kenapa gak sekalian pizza jengkol topi petai gitu pasti lebih waw.... tempatnya lumayan asyik, asyik buat berteduh maksudnya. Bulan begini emang Bandung itu gak ikhlas matahari nongol, lebih sering mendung dan gerimisnya. 
Selain jalan kaki dari Dago sampai di jalan Jawa, kita juga jalan dua kali dari Cihampelas. Lebih deket jalan kaki daripada naik angkot yang gak jelas muter kemana dulu. Gini nih kalau Bandung kebanyakan jalannya verboden (satu arah) jadi angkot satu jurusan tidak bolak balik. Angkot juga satu kali sukses membuat kita jalan kaki lebih jauh gara-gara kepedean angkot bakal turun di depan hidung gedung kita nginep padahal tuh angkot justru
jalan muter lebih jauh. Akhirnya jalan lagi, sedaaap.....
Enak naik taksi... eit nanti dulu, itu Bandung kalau lagi jamannya macet kek malam Sabtu atau malam Minggu lebih ngeri, naik taksi sama saja dengan kasih sopir taksi duit nunggu. Enakan di Kupang, naik taksi gak kena macet walau gak jelas juga ada taksi atau gak (kecuali ke bandara). 
Udah ah, malah blog jalan foto jadi ajang curhat gini ya.... daripada yang baca neg trus gak enak makan tigak hari tiga malem. 
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 21 November 2014

Jalan Nyasar (Kesasar?) di Rote

Berhubung gak moto waktu jalan malem2 jadi diwakili lewat gambar (all by photoshop)
Seminggu yang begitu-begitu... ya begitu-begitu itu, bangun tidur - kerja - molor - kerja - molor... mandi sekali sehari plus makan 3 kali sehari satu sendok kuda nil. Itulah kira-kira yang aku kerjain seminggu di Rote. Cuaca panas, itu alasan pokok kenapa males banget mau keluar. Ini bulan awal November memang bulan paling pas buat orang-orang tanning (menggelapkan kulit) dengan segera. Tak perlu berjemur dua jam, cukup lima menit langsung mateng setengah gosong. Itu juga kalau gak mati dehidrasi. Alasan kedua ya tidak ada kendaraan. Yah kalaupun ada juga belum tentu jalan sih.
Tapi asli, bulan-bulan ini memang panas ngaudzubilah..... gak kira-kira, itu sehari jemur pakaian juga bisa sampai 5 shift kali (kayak pernah jemur pakaian aja)..
Betewe baidewe, akhirnya ada satu hari terakhir yang sayang kalau gak acara jalan-jalan. Padahal aku lagi satu tim sama Imam yang emang doyan jalan dan yang paling utama gak perlu tanning lagi karena udah gak mempan tanningnya (piss Mam...).

Salah satu pantai dari perjalanan menuju pantai Tiang Bendera.
Cuma berhubung Imam juga lagi takut hitam (mungkin tanning sebelumnya sudah pas) jadi akhirnya aku dan Imam memutuskan jalan sore saja. Arah tujuannya tetep sama seperti perjalananku sebelumnya ke arah pantai Tiang Bendera yang langsung bisa kelihatan dari beranda belakang hotel Grace.
Jarak terdekat ya tetap dengan jalan menyusuri pantai. Agak kesorean sebenarnya tapi perhitunganku biasanya gak nyampai setengah jam sudah bisa sampai ke pantai Tiang Bendera. Kalau mau tau ceritaku waktu mengunjungi pantai Tiang Bendera sendiri baca tulisan ini ya: http://awalnya.blogspot.com/2011/10/rote-ndao-tiang-bendera-bagian-3.html

Perjalanan menyusuri pantai lancar awalnya. Biasanya tiap sore banyak aktivitas anak-anak yang bermain di pantai seberang kali, begitu pula di pantai Mokdale juga tampak sepi. Salah satu yang aku sukai nongkrong di tempat ini salah satunya melihat aktivitas anak-anak di pantai dari yang mandi, ngumpulin batu sampai cari ikan di tempat-tempat surut. Selepas pantai Mokdale hanya ada jalan dengan menaiki bukit karena ada pagar penghalang yang dibangun masyarakat setempat supaya binatang ternak tidak keluar. Pagar seperti hal lumrah di daerah NTT, jangan heran lihat pinggir pantai atau jalan ada dibuatkan pagar. Itu bukan untuk menandai sebagai daerah daerah privat tetapi untuk menjaga agar ternak mereka tidak hilang. 
Saat naik ke atas bukit ternyata aku melihat seekor sapi yang terjepit diantara pagar dengan kepala terkulai. Bingung juga lihat sapinya tidak bergerak sama sekali sehingga aku kira mati. Saat mulai naik bukit aku lihat ke belakang ternyata sapinya mengerakkan kepala. Duh, ternyata masih hidup. Lihat sekeliling kosong tidak ada orang, tapi karena aku juga tidak mungkin membiarkan sapi itu sendiri jadi aku mencoba kembali ke arah rumah terakhir yang ada di pinggir pantai berharap ada orang.
Untungnya ada 2 orang dewasa sedang berdiri ngobrol di samping rumah, aku melambai-lambaikan tangan ke arah mereka memberikan isyarat. Sesampainya disana aku beritahu kalau ada sapi berwarna putih terjerat pagar. Ternyata benar itu milik mereka karena mereka langsung tahu sapinya. Ternyata di pagar ada pengikat dari tali yang menyebabkan sapi itu terjerat. Untungnya, akhirnya sapinya bisa terlepas dan tidak jadi mati. Mungkin jika dia begitu terus semalaman pasti modar juga.
Acara ini bikin matahari sudah hilang, bahkan warna kuning di langit sudah memudar mulai berubah jadi biru. Setelah melewati dua perbukitan akhirnya sampai di titik yang benar-benar terjal. Just info seperti yang aku tulis sebelumnya, pantai Tiang Bendera memang dikelilingi bukit yang sangat terjal juga kondisi karangnya yang sangat tajam. Tapi sayangnya sudah bisa dibilang malam. Dengan berbekal cahaya bulan yang saat itu purnama dan sebuah senter, aku dan Imam mencoba mencari jalan menaiki bukit ini. Ternyata naik ke atas bukit karang yang sudah dipenuhi semak tidak mudah, beberapa kali jalan yang tampak ada ternyata terhalangi semak kering yang kadang banyak durinya. Sampai di pertengahan akhirnya aku dan Imam menyerah karena semua jalan yang aku ingat pernah melewatinya mentok dengan tumbuhnya semak belukar yang tidak jelas terlihat saat malam begini. Akhirnya aku turun dari sisi pinggir bukit yang langsung berhadapan dengan laut, karena lewat jalan awal jelas lebih sulit. Sesampainya di bawah kami beristirahat sebentar menarik nafas. Gobloknya saat itu kita tidak membawa minuman sama sekali, karena berharap bisa minum saat kembali dari pantai Tiang Bendera.
Sekarang kami harus kembali, tapi tidak mungkin melewati menyusuri pantai, karena waktu di daerah bakau di pantai Mokdale, kami harus berjalan meloncati beberapa genangan air. Jadi pasti lebih sulit untuk dilewati kondisi malam. Apalagi lihat posisi bulan sepertinya air mulai terus naik. 
Salah satu kesukaan saya nongkrong di pantai melihat mereka main bola seperti ini (Pantai Mokdale)
Karena sama-sama tidak tahu jalan, aku hanya berpatokan pada satu buah lampu yang tampak dari atas bukit. Lampu rumah itu penanda kalo ada aliran listrik yang artinya di dekat situ pasti ada jalan. Untung ada cahaya bulan yang bantu lihat jalan jadi gak perlu pake senter. Sampai akhirnya ketemu rumah tetep aja bingung cara untuk sampai jalan, karena ternyata kita di pekarangan belakang rumah dan semua jalan telah dipagari. Nah lho, setelah tanya-tanya ternyata harus melewati pagar belakang rumah orang sampai tembus depan baru ketemu jalan. Baru ketemu jalan eh lampu mati. Syukur, coba kalo lampu mati sebelum ketemu jangan bisa bingung kita cari jalannya.
Ada kejadian, gara-garanya kita mau lewat jalan lain setelah ketemu perempatan. Harusnya emang lurus ke arah kuburan umum tapi iseng pilih lewat jalan ke kiri yang hasilnya mentok ketemu pantai lagi. Coba nanya-nanya, di kasih tau jalannya lewat sebelah rumah eh mondar-mandir cari jalan gak nemu-nemu yang ada cuma pager, eh ternyata ditunjukin caranya yaitu naikin pagar. Ternyata di ujung pagar itu ada kayu yang disusun berjajar melintang bertingkat jadi kayak tangga. Ternyata itu untuk menghalangi binatang biar tidak bisa keluar, gak tahu juga kenapa bukan dibikin pintu pagar ya. Salah satu keunikan di NTT, binatang punya kandang besar karena kebun yang dipagari keliling. Pantesan ya, kualitas ternaknya pasti lebih mantap karena binatangnya lebih bahagia. Gimana gak, tempat main sama cari makannya luas gak kayak di Jawa di kandangin makanannya itu-itu aja... 

Tapi ternyata setelah melewati pagar masih bingung juga karena mentok di saluran irigasi mau kemana-mana kena pagar, mau lewat takut salah, mau jalan menyusuri saluran irigasi takutnya ada ular hijau. Untung ada rombongan orang jalan ke pematang, dan olala ternyata jalannya sama seperti pertama naik ke pagar lain lagi baru ketemu jalan... Kata mereka jangan lewat sawah karena kalau malam banyak ular hijau di sekitar sawah. Pelajarannya: kalau jalan di Rote jangan coba-coba nyasar kalau gak mau muter bingung sendiri gak nemu jalan.
Pagi hari dapat kabar dari pak Herson kalau gak masuk kantor hari ini karena salah satu keponakannya meninggal kena gigit ular hijau. Wiih, merinding dengernya.. untung gak lewat sawah tadi malam. Kasian Imam kalo mati kena ular hijau, padahal belum merasakan indahnya malam pertama hahahaha.... (kawiiiiiinnn Mammm!!)

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 28 Oktober 2014

Logo Pemda NTT (1)

Agak keluar dari jalur, kali ini aku bukan mau menulis tentang foto atau perjalanan tapi mau sharing hasil iseng otak atik photoshop buat logo-logo pemda, udah jadi empat tapi yang satu masih belum puas karena masih ada gambar yang belum pas.
Ini gegaranya sih karena waktu cari2 di internet logo/lambang pemda di NTT gak dapet yang ukuran bagus jadi akhirnya iseng bikin sendiri. Format logo ini png, mungkin beberapa ukurannya besar jadi mungkin bikin lemot. Kenapa aku tampilkan di sini, karena kalo lewat pesbuk lagi-lagi harus puas dikonversi ke JPG dalam ukuran maksimal 900px, kalo gambar ini tidak akan pecah walau untuk foto baliho.
Logo ini asli bebas download dan digunakan tanpa harus permisi ke saya, mohon jika ada kesalahan gambar bisa beritahukan ke saya untuk diperbaiki.


Baca keseluruhan artikel...

Senin, 26 Mei 2014

Air Terjun Bekor, Nangahale

Air terjun Bekor, Nangahale
Air terjun yang keluar dari balik bebatuan
Perahu melaju pelan membelah perairan Pangabatang menuju ke Tanjung Darat. Inilah daratan terdekat yang paling mungkin kucapai dengan perahu nelayan kecil seperti ini. Pak Sartono sengaja memutar perahunya supaya memudahkan aku mengambil gambar kondisi perairan yang bening dan dipenuhi koral dan ikan warna-warni. Tak berapa lama perahu kami memasuki kawasan bakau dan mendarat di sebuah cerukan dalam di antara bakau. Saat di laut aku sendiri tidak bisa mengenali dimana kita bisa mendarat karena sepanjang pantai yang tampak adalah bakau saja. Selepas di darat, aku memutuskan naik ojek ke arah Likong.
Air terjun Bekor, Nangahale
Air terjunnya mengalir kecil di musim panas
Sesuai dengan informasi yang aku terima dari salah seorang kerabat pak Sartono yang sekarang bekerja di Dinas Pendidikan di daerah Nangahale terdapat satu air terjun yang menurut mereka menarik. Mereka sendiri tidak tahu nama air terjun itu namun mereka menyebut nama pak Blasius yang biasa menjadi pengantar tamu jika ingin ke air terjun itu. Dan sekarang nama pak Blasius di dusun Likong menjadi arah tujuanku.
Sekitar sepuluh jam di atas motor melintasi jalur jalan yang lebih banyak berupa tanah, akhirnya ojek bisa mencapai jalan raya. Sepuluh menit berikutnya ojek yang aku tumpangin sampai ke daerah Likong. Ingat ya bacangnya Likong bukan Lekong, beda banget gitchuu... *keselek biji duren*.. Berbekal informasi nama Blasius, aku diantar seorang anak kecil masuk ke gang kecil hingga ke sebuah rumah sederhana. Saat menyebutkan namaku, pak Blasius masih tampak kebingungan namun menjadi jelas saat aku menyebutkan nama pak Aswadi yang pernah bekerja menjadi guru di sini. Sayangnya hari Minggu ini beliau sedang ada keperluan keluarga sehingga tidak mungkin mengantarku. Saat aku minta dia menunjukkan arahnya saja, dia katakan kalau jalurnya baru saja dibuka dan tidak mudah untuk dilalui. Dia takut aku tersesat karena belum ada jalan ke sana, baru saja ada jalan dibuka tapi sebatas untuk pekerjaan pembangunan reservoir oleh PDAM yang akan menggunakan air terjun di situ. Untungnya pak Blasius menawarkan agar anaknya Rikardus yang akan membantu mengantarku ke air terjun. Aku setuju karena anaknya juga yang membantu saat ada obeservasi lapangan oleh sebuah tim beberapa kali. Aku sempatkan membeli pisang molen goreng dan minuman karena memang aku belum makan dari pagi selain kue-kue kering saat di Pangabatang.
Air terjun Bekor, Nangahale
Trap-trap air terjunnya cantik apalagi jika pas airnya banyak
Sambil berjalan, aku mendengarkan cerita Rikardus tentang awal mula air terjun ini ditemukan dan kondisi asli ke lokasi itu. Katanya, air terjun ini ditemukan oleh orang kampung Likong Gethe yang sedang gila. Dia lah yang memberitahu penduduk kalau ada air terjun disana. Katanya pulau, orang gila itu akhirnya sembuh. Mereka menamai air terjun ini Bekor (ingat Bekor, jangan salah lagi mengeja Boker... beda bangeetttt). Rikardus sendiri beberapa kali menemani orang-orang yang melakukan survei ke air terjun ini yang katanya mau dibuat sebagai sumber air bersih. Dia juga sering menemani rombongan tamu yang ingin ke air terjun. Dulu katanya hampir tiap minggu dia bisa bolak balik mengantar tamu ke air terjun, namun entah kenapa tahun ini belum ada lagi orang yang mau mengunjungi air terjun ini.
Jalur sungai dengan tebing curam
Dari Likong, Rikardus memilih mengajakku mengunakan jalan potong melalui kebun jagung dan kelapa milik penduduk. Menurutnya jarak dari Likong Gethe (itu nama lengkap kampungnya) ke air terjun Bekor sekitar 4,5 km. Entah apakah itu jarak betul atau kira-kira. Di sini kalau orang sudah mengatakan 1 km kadang-kadang kalau ditempuh 3 km juga belum sampai hahaha jadi jangan senang dulu kalau mendengar jaraknya dekat kecuali sudah mengalaminya sendiri.
Perjalanan sendiri seperti yang aku duga tidak mulus karena harus melewati sungai. Artinya jika musim hujan, air terjun ini sangat sulit dilalui. Di beberapa tempat aku melihat pipa-pipa yang terpasang di sepanjang pinggir sungai tapi masih belum terhubung semuanya. Pemasangan pipa ini juga menguntungkanku karena beberapa jalan jadi tidak terlalu menanjak. Menurut Rikardus, sebelum dibuat jalan ini, kondisi menuju air terjun tergolong jauh lebih sulit. Bahkan ada beberapa titik yang kita harus melewati bukit sambil berjalan merambat karena tidak ada jalan hanya berupa bekas jalan yang kondisinya tanahnya miring. Tak terhitung berapa kali aku dan Rikardus melewati sungai. Untung aliran airnya kecil jadi mudah kami lewati. Namun dari aliran airnya aku justru curiga kalau air terjun Bekor ini seperti air terjunnya umumnya di NTT yang debitnya di waktu musim hujan dan musim kering sangat jauh.
Aliran air terjun yang turun banyak di musim kemarau
Entah berapa jam aku berjalan aku sendiri sudah lupa, bahkan aku tak pernah menengok jam tanganku. Perjalanan yang harus menembus hutan ini melenakanku. Beberapa kali aku harus masuk ke dalam hutan yang katanya merupakan hutan yang hampir tidak pernah dijamah masyarakat. Jalan menuju air terjun memang naik turun bukit, namun arahnya makin menanjak. Di kilometer terakhir kami tidak bisa lagi melewati sungai karena sungai lebih dipenuhi batu-batu besar yang akan sulit untuk dilewati. Untungnya jalan terakhir yang dulunya paling sulit berupa jalan miring dengan bergerak merayapi bukit sudah tidak ada menjadi jalan tanah yang baru dibuat. Tapi kondisi jalan ini hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, jika dengan motor trail mungkin masih bisa walau juga tidak mungkin sampai ke air terjun juga.

Sebenarnya sebelum sampai di air terjun kami juga melewati sungai yang mengalir sumber air panas. Sumber air panas ini tidak besar hanya berupa 2 pipa bambu yang menancap di dinding. Air dari bambu ini mengalirkan air panas. Di titik kelokan terakhir juga ada tebing batu kering yang katanya juga kalau musim hujan berubah menjadi air terjun. Artinya jika musim hujan banyak air terjun di daerah ini walau aku gak membayangkan bagaimana bisa kesana jika musim hujan.
Air terjun Bekor, Nangahale
Rikardus duduk di bawah pohon yang tumbang
Dari pinggir sungai tak tampak air terjun hanya terlihat trap-trap air mengalir karena air terjunnya sendiri terhalang oleh pepohonan. Setelah turun melewati sungai dan naik ke atas trap-trap air mengalirnya barulah tampak pemandangan air terjun yang tingginya mungkin sekitar 30 meteran. Dari dinding batu kapur yang ada tampaknya air terjun di sini pada waktu musim hujan cukup lebar, namun saat ini hanya ada 2 titik air terjun itu pun air terjunnya tidak deras sedangkan tiga dinding batu di sekitarnya sudah mengering.
Suasana sekitar air terjun terasa sejuk apalagi pepohonan rindang disekelilingnya. Aku sempat mampir mandi disumber air panasnya. Sekitar jam 2 siang aku sudah kembali ke dusun Likong. Aku hanya berhenti sebentar di batas terakhir hutan untuk sejenak minum dan makan gorengan walaupun sebenarnya kaki sudah terasa kebal.
Dari Likong aku naik ojek dengan biaya 50rebu walaupun setelah sampai tukang ojeknya minta tambah untuk uang bensin karena setelah sampai kota baru sadar kalau ternyata jauh... hahaha ada-ada saja, mereka yang orang asli masak gak tau jarak dari Likong ke kota Maumere. Akhirnya aku tambah uang 7rebu karena cuma itu uang kecil yang tersisa di kantongku.
Sebenarnya pada waktu yang sama, teman-teman dari Mofers Photography juga sedang melakukan perjalanan ke air terjun Murusobe yang jauh lebih besar debitnya dan lebih tinggi. Namun sayang aku memang ingin ke Pangabatang sehingga ajakan ke Murusobe terlewatkan. Tak apalah, yang penting suatu ketika nanti aku juga bisa mampir ke Murusobe.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 22 Mei 2014

Kembali ke Pulau Pangabatang

Dua anak pulau Pangabatang menatap matahari terbit

Aku berangkat jam setengah tiga setelah memastikan kalau pak Agus tidak bisa ikut, tentu persoalannya masalah transportasi dan penginapan. Jadilah aku berangkat sendiri. Mempertimbangkan waktu akhirnya aku memilih naik ojek yang setelah tawar menawar sepakat harga 50ribu. Perjalanan dengan ojek lebih cepat sehingga tak sampai 45 menit kemudian aku telah sampai di desa Nangahale. Inilah desa yang terletak di teluk Maumere dan merupakan jarak terdekat untuk menyeberang ke pulau-pulau sekitar, dan menjadi tempat tujuan penduduk pulau untuk ke darat. Nangahale juga menjadi lokasi perumahan yang dibangun pemerintah untuk menampung korban tsunami tahun 1992 dari pulau-pulau sekitar. Sesampai di Nangahale, aku masuk ke dermaga perikanan karena disanalah biasanya perahu penumpang bersandar. Untung hari ini aku masih mendapatkan perahu terakhir yang akan ke pulau Parumaan. Saat kutanya apakah bisa singgah ke pulau Pangabatang, pemilik perahu mengiyakan.
Perkampungan di pulau Parumaan
Aku duduk di belakang tepat di depan kemudi sambil memperhatikan penumpang dibantu pemilik perahu menaikan barang-barang seperti semen, cat, minuman kaleng, makanan kecil, beras dan banyak yang lain. Mungkin itu adalah barang-barang jualan. Cuaca cerah dan lautpun tampak tenang saat perahu mulai melaju meninggalkan desa Nangahale. Aku duduk santai sambil menikmati percakapan yang tak kumengerti, entah mereka menggunakan bahasa setempat atau bahasa lain karena kudengar penduduk pulau kebanyakan adalah pendatang dari Buton, Bajo, Bugis yang tentu juga berbeda bahasanya.
Galaksi Bima Sakti
Semuanya masih biasa sampai cuaca berubah tiba-tiba, awan yang semua hanya mengitari tanah di sekeliling pulau mengepung kami. Warna gelap di depan menutup pandangan kami, menghalangi kami melihat pulau arah tujuan. Rupanya jauh di depan telah terjadi hujan disertai angin kencang yang menciptakan air di lautan menjadi bergelombang agak besar. Terpal yang terpasang tidak bisa menahan kami dari basah karena air hujan datang dari sisi kanan. Segera beberapa perempuan berpindah ke sisi kiri menghindari hujan dan terpaan gelombang, yang justru mengakibatkan perahu menjadi oleng ke kiri. Di tengah angin yang terus menderu, tukang perahu berteriak “Jangan ke kiri.. jangan ke kiri.” Dia memperingatkan kami agar bertahan sisi di kanan. Aku dan berada penumpang terpaksa bertahan di sisi kanan untuk menyeimbangkan perahu. Dadaku berdegup kencang seperti hujan badai ini yang membuat kami sama sekali tidak bisa melihat kedua pulau yang kami tuju. Untungnya hujan kencang ini tidak berlangsung lama, hanya seperempat jam saja. Walaupun hujan badai itu tidak membuat perahu terbalik tapi sukses membuat seisi perahu basah kuyup termasuk barang-barang dagangan yang penumpang bawa. Tukang perahu mengatakan padaku kalau tidak bisa singgah di Pangabatang. Aku mengiyakan saja dengan kondisi seperti ini, di samping kiri, aku hanya melihat pulau Pangabatang samar-sama tertelan badai yang rupanya masih turun di sana  
Suasana pagi di Pangabatang
Setelah seperempat jam terhempas badai, seperempat jam kemudian perahu mulai memasuki perairan pulau Parumaan yang tampak tenang. Rumah-rumah panggung mendominasi penampakan perkampungan ini. Kondisi perairan sedang surut membuat perahu bersandar di bagian rumah penduduk yang lebih landai. Penumpang mulai turun lewat samping perahu tetapi tetap harus loncat ke air karena tidak ada jalan langsung ke darat.
Mas Joko orang Solo yang baru kukenal mengajakku menginap di rumahnya supaya besok pagi aku bisa jalan ke Pangabatang. Sebenarnya bukan rumahnya tapi rumah temannya karena dia sendiri hanya mampir tiga bulan sekali, katanya sih pekerjaannya mengumpulkan besi bekas. Hebat ternyata di pulau-pulau seperti ini, masih bisa mengais rejeki dari besi bekas. Jadi ingat perjalananku pertama empat tahun lalu ke sini dan bertemu seorang pria dari Surabaya yang pekerjaannya mampir ke pulau-pulau untuk mencari rumput laut. Katanya kualitas rumput laut di pulau-pulau seperti ini lebih bagus kualitasnya, ternyata rejeki bisa dari mana saja jika mau berusaha dan mencarinya.
Perahu bersiap meninggalkan Pangabatang
Aku meloncat ke air mendahului mas Joko dan menunggunya di bawah salah satu rumah panggung milih penduduk seperti ini. Sebagian besar rumah di Parumaan berbentuk rumah panggung. Aku sempat berjalan-jalan sebentar menyusuri jalan beton kecil tapi tampaknya tak ada tempat untuk menginap tersendiri. Namun sebenarnya mudah saja kalau ingin menginap karena rata-rata mereka akan dengan senang hati menerima kita menginap di rumahnya. Tapi jika tidak mau bisa juga menginap di mesjid yang ada di tengah kampung.
Saat hujan sudah reda akhirnya aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Pangabatang sebuah sebuah perahu kecil bermesin. Bukan perahu penumpang namun hanyalah perahu nelayan biasa untuk mencari ikan, sehingga aku harus bersedia duduk di atas tumpukan jaring. Masih lumayan perahu ini menggunakan motor, 4 tahun lalu saat kesini aku malahan hanya menggunakan perahu lesung yang didayung.
Mesjid kecil di Pangabatang
Pangabatang tidak banyak berubah, hanya ada beberapa rumah baru yang dibangun namun juga ada beberapa rumah yang ditinggal penghuninya. Aku sempat mampir ke rumah pak Ba'ding yang menjadi kepala dusun di kampung Pangabatang ini. Sebagai gambaran, pulau Pangabatang (dari bahasa Bugis yang airnya Pembatas) adalah sebuah pulau kecil dari sederetan pulau di Kabupaten Sikka. Saat ini jumlah rumah yang ada sudah sekitar 60 rumah dengan 85 kepala keluarga, bertambah 20 rumah dari kedatanganku empat tahun lalu yang hanya sekitar 40 rumah. Berbeda dengan desa pusat di Parumaan (bahasan Bugis artinya Perumahan) yang merupakan etnik Bajo, maka di Pangabatang sebagian besar masyarakatnya beretnik Buton. Penduduk hanya menempati sepertiga pulau, dan sisanya adalah kawasan kosong yang belum dihuni. Menurut pak Ba'ding, pulau ini milik seorang haji yang tinggal di pulau Pamana. Pantainya berpasir putih dan lautnya yang bening masih kaya akan terumbu karang yang masih terjaga terutama di perairan antara pulau Pangabatang dan pulau Babi.
Pohon khas di Pangabatang yang sekarang sudah patah batangnya
Dengan pak Ba'ding aku minta ijin akan menginap sehari disini. Meskipun pak Ba'ding menawarkan agar aku menginap di rumahnya aku bersikeras mau menginap di mesjid saja. Seperti biasa juga, begitu melihat aku beberapa anak langsung mengikutiku sehingga bisa menjadi teman mengobrol. Mereka sepertinya antusias sekali setiap melihat orang baru yang datang kesini. Ada sebuah pohon yang khas tumbuh sendiri di pinggir pantai, pohon itu pulalah yang ingin pertama kutuju. Namun sayang pohon itu sekarang sudah tinggal pendek karena batang-batang bagian atasnya sudah patah katanya belum lama ini patahnya. Duduk-duduk di pasir bersama anak-anak aku mengeluarkan satu kotak sosis yang langsung menjadi rebutan dengan mereka. Aku selalu ingat untuk membawa makanan-makanan seperti ini setiap ke pulau, kadang permen atau coklat seperti saat datang kesini pertama kali empat tahun yang lalu. Namun tak berapa lama aku mendengar lamat-lamat suara perempuan yang memanggil anak-anak ini.
View bawah laut Pangabatang (dari perahu berjalan)
Sebenarnya aku juga berencana membuat api unggun di sini, namun sayang karena habis hujan jadi semua kayu-kayu kering yang teronggok di sepanjang pantai menjadi basah tidak bisa digunakan untuk membuat api unggun. Sambil memotret dan ngobrol bareng anak-anak tak terasa langit berubah menjadi gelap. Tak berapa lama selepas azan Maghrib, beberapa pria dewasa menggunakan pakaian gamis mendekati aku, sepertinya mereka habis pulang dari sholat Maghrib berjamaah di mesjid. Mereka meminta aku untuk mampir ke kampung. Mereka juga menyarankan agar aku menginap saja di salah satu rumah mereka karena beberap waktu ini banyak sekali nyamuk yang datang menjelang senja, hal yang tak mereka temui selama ini. Memang aku sendiri merasakan jumlah nyamuk yang sangat banyak saat memotret di pinggir pantai. Dari mereka aku juga baru tahu, saat ini ibu-ibu suka kuatir jika ada tamu dari luar karena sekarang mereka sering melihat berita tentang pencabulan anak-anak. Wah, untung mukaku bukan tampang kriminil karena bisa-bisa aku kena tuduh bisa panjang urusannya.
Terumbu karang di perairan agak dalam
Rupanya pak Sartono punya andil menjelaskan ke penduduk kalau aku ini fotografer (ngaku iya ajalah walau sebenarnya aku biasanya menolak disebut fotografer) sehingga membuat mereka bisa menerima keberadaanku. Pak Sartono menawariku ke rumahnya, sebuah rumah panggung juga untuk bersantap malam. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan mereka namun aku tidak kuasa menolak ketulusan mereka sehingga memutuskan mengiyakan ajakan mereka.
Pak Ba'ding yang rumahnya berseberangan dengan pak Sartono ikut menemani sehingga malam itu kami ngobrol lama tentang banyak hal terutama hal-hal yang berbeda dari yang ketemui empat tahun lalu. Seperti mengapa sekarang masyarakat di sini tidak lagi menanam rumput laut seperti yang mereka lakukan dulu, termasuk suara genset yang tidak lagi terdengar saat menjelang malam. Setahuku dulu di sini adalah sebuah genset umum yang digunakan bersama-sama yang dihidupkan dari jam enam sore Ternyata pak Sartono lah yang mengoperasikan genset itu, namun sekarang tidak beroperasi lagi dan sudah rusak. Masyakat sekarang menggunakan fasilitas penerangan dari PLN yang berupa listrik tenaga surya. Beberapa masyarakat juga memilih memakai genset masing-masing untuk tambahan pemakaian listrik.
Bukit batu yang pernah menyelamatkan penduduk waktu tsunami 1992
Pantas saja suasana sekarang jauh lebih tenang. Kalau dulu setelah selesai acara tivi barulah menjadi tenang karena saat itulah genset dimatikan dan suasana menjadi gelap. Pak Sartono memaksaku supaya menginap di rumahnya karena menurutnya di mesjid pun masih terlalu banyak nyamuk. Aku akhirnya menerima permintaannya namun tetap meminta agar dibolehkan tidur di balai teras. Walaupun hanya teras di rumah panggung, namun lantai bambu membuat suasana rumah tetap enak untuk tidur. Bahkan karena di teras, saat bulan menghilang aku bisa dengan mudah melihat gugusan bintang di galaksi Milky Way. Suasana inilah yang membuat aku selalu rindu melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti ini.
Suasana tenang dan nyaman seperti ini membuatku dengan cepat tertidur. Galaksi bergerak merangkak di langit timur, bunyi malam yang begitu tenang seperti mengayunku pelan dalam buaian mimpi.
Setengah empat pagi aku sudah terbangun dan bersiap turun untuk memotret galaksi karena bulan sekarang sudah menghilang. Sebenarnya aku mau cuci muka namun aku urungkan karena air tidak tersedia banyak disini. Di Pangabatang tidak ada sumber air tawar sehingga masyarakat harus mengambil dari pulau Besar di sebelahnya atau mengambil dari daratan, biasanya jalur paling dekat mengambil ke Tanjung Darat. Terus terang di teras rumah ada beberapa jerigen air namun itu biasanya persediaan untuk seminggu. Untuk mandi dan aktivitas cuci biasanya masyarakat menggunakan sumur yang terletak di tengah pulau yang airnya payau. Letaknya di belakang batu-batu besar yang membelah pulau. Pulau ini terdapat dua bukit batu yang membelah pulau, bukit batu inilah yang menjadi penduduk Pangabatang menyelamatkan diri saat terjadi bencana tsunami. Pak Sartono menceritakan betapa keanehan pernah terjadi saat itu, karena saat bencana tsunami tidak mencapai lebih dari pertengahan bukit padahal saat itu gelombang bahnya tinggi melebihi pohon kelapa. Karena itulah penduduk sering mengadakan syukuran tiap tahun di batu ini. Sayang menurutnya, kebiasaan ini sekarang sudah ditanggalkan dengan alasan syirik. Banyak cerita dari bibir pak Sartono tentang bagaimana kisah mereka saat tsunami 1992 waktu itu.
Memasuki kawasan bakau di Tanjung darat
Karena tak ada perahu yang datang hari ini (menurut mereka memang tidak ada perahu penumpang yang jalan hari Minggu kecuali ada permintaan), pak Sartono menawarkan untuk mengantarkan aku kembali dengan perahunya. Sekitar jam delapan aku kembali ke darat ke Tanjung Darat karena itu jarak terdekat dari pulau ini. Perahu pak Sartono sendiri perahu kecil yang terlalu berisiko kalau harus ke Nangahale. Menurutnya walau kelihatannya tenang namun sebenarnya ada waktu-waktu tertentu arus yang ada di perairan ini sangat kuat dan itu sangat membahayakan.
Aku sebenarnya mau mampir ke pulau Koja Doi dan Koja Gethe karena di sanalah ada jembatan batu yang menghubungkan kedua pulau namun sayang karena tidak ada perahu besar jadi aku harus mengurungkan perjalanan kesana kali ini.
Perjalanan ke Pangabatang kali ini menorehkan banyak kenangan, aku berjanji kalau suatu ketika jika mereka telah membangun pondok di Pangabatang aku akan membantu mempromosikan tempat ini. Aku berharap pariwisata dapat menaikkan taraf hidup mereka, juga masyarakat bisa lebih terbuka dengan pariwisata. Aku juga tentu berharap bahwa pariwisata akan membuat terumbu disini menjadi terjaga.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya