Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 06 Desember 2011

Tapaleuk Nagekeo (Bagian II)

Tapaleuk Pantai Pipitolo
Jam dua lewat tiga puluh menit, aku bertiga dengan Kadek dan Eddy sudah siap di hotel, rencana perjalanan kita majukan supaya kita punya waktu lebih untuk mengeksplorasi daerah tujuan. Argumentasi yang masuk akal dari Eddy, sehingga begitu persiapan semua peralatan selesai kita langsung meluncur menjemput Didi. Pey yang biasanya menyetir mobil kali ini tidak ikut, sebagai gantinya untuk perjalanan berangkat Kadek lah yang menjadi driver. Kemarin Pey memang tampaknya lelah setelah pergi ke Mauponggo sehingga aku memutuskan menggunakan mobilnya saja. Dan ini adalah pengalaman pertama Kadek mengendarai ‘Ford Ranger’ menjelajahi medan Mbay-Nangaroro, jadi acara berdoa masing-masing dimulai sebelum perjalanan dilakukan hahahaha. 


Hari Minggu memang kadang agak menyusahkan, apalagi kalau bukan masalah perbekalan karena seluruh toko tutup hari Minggu seperti ini. Setelah mengisi perut terlebih dahulu dan mengisi solar di pom bensin, kendaraan ‘Ford Ranger’ kami langsung melesat membelah jalur lurus kota menuju ke arah jalur Mbay-Ende. Masalah kendaraan juga hampir kita salah isi, di depan pom bensin kita nyaris mau mengisi kendaraan dengan bensin, untung waktu telepon Pey diangkat jadi kita tahu kalau kendaraan ini berbahan bakar solar. Coba kalau sampai salah seperti kejadian dulu, alamat bakal hancur nih mobil hehehehe. 
Cuaca sepanjang jalan cerah walaupun di daerah Aigela mendung dan kita melihat bukit-bukit sedang diguyur hujan yang lebat namun untungnya jalan sendiri tidak ada hujan. Kita sempat juga menaikkan empat anak kecil dan seorang ibu yang sedang jalan kaki menuju ke perkampungan sebelah. Mereka naik di bagian belakang yang berupa bak terbuka, Eddy beberapa kali harus mengingatkan anak-anak itu supaya tidak duduk di pinggir atau berdiri di atap karena memang anak-anak suka dengan sensasi yang kadang kurang disadari bahayanya. 
Beberapa menit setelah melewati pertigaan Nangaroro, kendaraan kita berbelok ke kanan di pertigaan sebelum Puskesmas Nangaroro sampai menuju pinggir pantai, setelah menelusuri pantai beberapa meter Kadek menghentikan kendaraan di depan sebuah sekolah SD. 
Turun ke pantai kita disambut hamparan batu putih sebesar buah kelapa memenuhi sepanjang alur pantai yang sebenarnya berpasir hitam ini. Vegetasi pohon Waru, Pandan Hutan, Kelapa dan Cemara paling banyak ditemui di sekitar area pantai ini. Ombak pantai keras menampar bebatuan sebelum tertarik kembali ke laut, saat ini memang bulang baru separuh yang artinya sore hari justru sendang puncaknya pasang. Menurut orang yang nanti aku temui, pantai ini dinamakan Pantai Pipitolo. 
Sebenarnya, beberapa tahun lalu sebelum tahun 2000 Eddy sendiri pernah sampai ke sini dan pantai Pipitolo ini tidak ada bebatuan ini hanya sebuah hamparan pantai berpasir hitam. Mereka menyebut batu-batu putih yang kini memenuhi hamparan pantai muncul dengan sendirinya belakangan ini, fenomena ini belum ada penjelasannya sedangkan masyarakat sendiri lebih mudah menghubungkan kejadian seperti ini dengan hal-hal yang mistis. Kondisi beberapa tempat yang berupa bukit-bukit terjal memang memungkinkan batu-batu gunung runtuh ke laut dan berproses kembali sehingga menghasilkan batu-batu bulat berwarna putih ini. 
Sayangnya dari sini, matahari senja tenggelam di bagian lain pulau Flores yang menjorok ke laut sehingga kami tidak bisa benar-benar melihat matahari terbenam walau sebenarnya posisi saat bulan begini saat memudahkan daerah berpantai di sisi selatan melihat matahari terbit dan terbenam di cakrawala tanpa terhalangi seperti halnya di pantai Mbuu. 
Kami terus menelusuri pantai ke arah Timur karena di dekat sekolahan dan puskesmas banyak ditemui beberapa sampah berserakan walau tidak seberapa. Di daerah yang langsung berhadapan dengan perbukitan terjal barulah kami menemukan hamparan batuan yang masih bersih, sepertinya masih jarang orang yang sampai ke tempat ini. 
Acara hunting foto ini sedikit menimbulkan insiden. Insiden pertama menimpa Kadek. Awalnya aku yang pertama yang naik ke atas batu bertanah yang berbentuk kerucut tumpul terbalik untuk mendapatkan spot aliran air yang tertarik kembali ke laut setelah terhempas di bebatuan. Tak lama kemudian Didi menyusul di sambung Kadek. Aku terus menjepretkan kamera untuk mendapatkan gambar aliran yang bagus, kuhitung setidaknya ada lima belas foto di titik yang sama. Didi turun terlebih dahulu menyusul Eddy yang terus menyusuri pantai ke Timur. Aku turun terlebih dahulu sementara Kadek masih di atas batu, saat loncat itulah terjadi insiden. Entah pecahan kaca dari mana, saat turun tiba-tiba tangan Kadek menyentuh pecahan kaca, karena dalam posisi meloncat tentu saja tangannya menekan lebih kuat. Tak ayal, pecahan kaca itu mengiris kulit telapak tangan sampai ke daging. Karuan saja, darah segar langsung mengucur dari lukanya. Tapi dasar anak geblek, dia cuma cengar-cengir meringis sambil mengisap darahnya, takut rugi darahnya habis rupanya. 
Insiden kedua, saat aku hendak menyusul Eddy dan Didi ketemu Charles yang ternyata baru berenang. Ternyata waktu dia berenang, kunci motor ada di sakunya. Wal hasil, setelah berenang dia harus rela kehilangan kunci motor. 
Setelah beberapa lama berjalan tidak menemui jejak kedua mahluk itu, aku berhenti saja di bawah cemara yang tumbuh menjorok ke laut tempat Eddy pertama mengambil spot. Langit selatan tampak mendung pekat, kilatan-kilatan petir bersahutan menandakan hujan badai sedang terjadi di tengah laut. Akhirnya aku melihat Didi dan Eddy kembali, akhirnya kita kembali ke tempat semula. Dari Eddy baru aku tahu, kalau dia juga baru mengalami luka akibat mata kakinya terperosok ke batu. 
Memang kalau berjalan di sini harus ekstra hati-hati. Batu-batu bulat putih memang menarik untuk digunakan berjalan tapi sekaligus mudah bergerak sehingga rawan tergelincir. Aku sendiri beberapa kali nyaris tergelincir sehingga memilih menginjak batu-batu yang bentuknya agak ceper. 
Selesai berbenah aku ganti kebingungan karena tidak menemukan Didi, sepertinya Didi berjalan saat aku dan Eddy sedang mencoba peruntungan memotret kilatan-kilatan petir walau berakhir nihil. Setelah beberapa kali dikontak akhirnya Didi menjawab telpon dan meminta kita menjemputnya di puskesmas, rupanya Didi sedang mencari obat dan plester di puskesmas untuk Kadek. 
Karena tangan Kadek sedang terluka mau tidak mau aku yang harus ganti memegang setir. Sesampainya di depan puskesmas aku melihat Charles dan seorang montir sedang mencoba membongkar motor miliknya yang sudah hilang kunci. Karena hari Minggu agak lama juga menunggu perawat, aku menawarkan Kadek membungkus lukanya dengan daun Waru untuk menghentikan darahnya tapi rupanya dia memilih menunggu perawat. 
Aku dan Eddy sempat berbincang dengan ibu-ibu yang sedang rawat inap. Darinya aku mendapatkan cerita tentang pantai Pipitolo ini termasuk sebuah pantai yang katanya lebih bagus dari pada pantai Pipitolo. Katanya untuk ke sana dari pertigaan setelah jembatan Nangaroro masuk ke kiri menuju ke pantai sekitar tujuh kilometer ke arah Selatan. Dari pantai sana, kita bisa bebas melihat matahari tenggelam di cakrawala barat. 
Jam tujuh lewat tiga puluh menit, kami mulai berangkat kembali ke Mbay. Perjalanan pulang kami harus menambah seorang penumpang, teman Charles yang ikut menumpang ke Mbay. Perjalanan lebih santai karena dari awal aku bilang kalau aku menyetir cenderung santai tidak terburu-buru. Kebetulan pula beberapa ruas jalan sedang ada pekerjaan besar pemangkasan bukit sehingga ruas-ruas jalan menjadi menyempit karena sebagian badan jalan dipenuhi longsoran tanah dan batuan sehingga tentu tidak nyaman kalau memaksa kendaraan berlari. 
Karena perut yang kosong, kami memutuskan untuk berhenti di sebuah warung di Aegela yang merupakan persimpangan antara ke Bajawa dan ke Mbay. Setelah menghentikan kendaraan di depan sebuah terminal, kami berempat memesan mie telur rebus. Hawa agak dingin karena memang pertigaan ini agak di ketinggian. Untunglah penjual warung ini buka sampai jam sembilan malam, karena kalau tidak ada warung ini alamat kita harus menahan lapar satu jam lagi sampai di Mbay. Kami memasuki kota Mbay sekitar jam sepuluh lewat dua puluh menit.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 05 Desember 2011

Tapaleuk Nagekeo (Bagian I)



Tapaleuk Perbukitan Rendu 
Debu naik tinggi saat roda-roda truk menerobos jalan tanah kering berbatu. Debu nyaris menghalangi pendangan mata memaksa kami menutup kaca kendaraan. Tapi Pey yang mengendarai kendaraan yang kami tumpangi tetap melaju menembus bubungan debu jalan, menunjukkan kepiwaiannya yang sudah malang melintang dengan daerah Nagekeo yang penuh dengan jalan meliuk-liuk ini. 
Perjalanan ke Rendu yang melintasi jalur tengah merupakan jalan terdekat untuk menuju ke Bajawa, ibukota kabupaten Nagekeo ini memang dipenuhi dengan jalan naik turun dengan tikungan tajam mungkin karena daerah adalah kawasan perbukitan bebatuan, sepanjang jalan banyak diapit bukit-bukit berbatu yang telah terpotong. Jalannya pun banyak berupa jalan yang sempit sehingga kalau harus berpapasan dua kendaraan roda empat harus salah satu mengalah dahulu. 
Sekitar jam lima lewat dua puluh kami sampai di kawasan Rendu. Rendu ini merupakan kawasan perbukitan kosong yang sangat luas, daerah yang sangat cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan ternak. Walaupun ketinggiannya sekitar 450 meter, namun rupanya Rendu bukanlah daerah subur. Meski masih terlihat kering namun rumput-rumput mulai tampak tumbuh menghijau. Hujan yang sekali dua turun beberapa waktu lalu kemungkinan penyebabnya. 
Dari Rendu ini bisa dilihat gunung Ebulobo yang sering tampak diselimuti awan bagian tengahnya dan gunung Inerie yang tampak bagai sebuah cungkup runcing segitiga. Menurut Didi yang pernah naik di kedua gunung, Ebulobo jauh lebih mudah didaki daripada Inerie karena gunung Inerie bagian atasnya lebih banyak dipenuhi pasir sehingga mudah longsor. 
Di atas salah satu bukit kami duduk-duduk menunggu senja turun. Matahari kuning sempat muncul sesaat sebelum awan menelannya kembali. Keasyikan menikmati senja di sini, entah sudah berapa banyak mangga yang masuk ke perutku. Mangga-mangga ini kami beli di pertengahan jalan menuju kesini, di daerah itu beberapa rumah yang punya mangga menjual mangganya di depan rumah, waktu itu yang menjual mangga seorang anak kecil perempuan. Ada sekitar dua puluh buah mangga, karena kami mendapat harga lima ribu rupiah per harga lima buah. Mangga-mangga ini rasanya manis bahkan walau masih keras, sehingga sedikit membuat aku dan yang lain agak lupa diri. Nanti setelah ini ada yang harus rela perutnya mulas karena sudah dalam kategori overdosis makan mangga hahaha. 
Setelah malam turun kami turun kembali ke Mbay, di rumah pak Ndus kami singgah dan ngobrol-ngobrol ditemani segelas kopi yang nikmat. Kadek sepertinya ketagihan sama kopi pak Ndus. Tanpa sadar jam 22.20 saat kami pamit dari rumah pak Ndus, suasana beranda rumahnya yang adem membuat kami jadi betah disana.


Tapaleuk Perbukitan Kesidari 
Ini adalah daerah yang paling sering aku kunjungi karena memang letaknya dekat dari Mbay. Dulunya kalau aku memotret disini sering aku tulis sebagai kawasan perbukitan Mbay, ternyata nama daerah ini adalah Kesidari. 
Besok sorenya, kami kembali tapaleuk ke kawasan perbukitan Mbay yang baru aku tahu namanya kalau daerah ini namanya Kesidari. Kalau kemarin kami hanya berempat maka kali ini mas Didi ikut serta, sayang Selvianto tidak bisa ikut karena sedang keluar kota untuk mempersiapkan pernikahannya. Di kawasan perbukitan Kesidari, kami memilih daerah yang cukup tinggi untuk bisa mendapatkan view senja. Sekarang kawasan perbukitan ini sering secara olok-olok kami sebut dengan TK (Tai Kerbau) karena memang banyak sekali ranjau tahi sapi di sepanjang perbukitan ini. 
Agak berbeda dengan dua minggu sebelumnya dimana kawasan ini lebih kering dengan rumput-rumput kering berwarna putih, sekarang telah tumbuh rumput-rumput hijau walau belum cukup rata. Hujan masih belum turun banyak sehingga belum semua daerah perbukitan hijau rata. Sore itu perbukitan di bawah tidak turun kabut seperti biasanya, langit sedang cerah walaupun di ujung barat matahari masih terhalang awan tipis. Bulan separuh tepat berada di atas kepala saat jam menunjukkan pukul enam sore. Berbeda dengan dua minggu kemarin yang saat matahari tenggelam di sisi timur bulan purnama kuning sebesar tempayah muncul di sebelah timur. 
Minggu pagi berikutnya, kami berempat, aku dengan Kadek, Eddy dan Didi kembali ke Kesidari dengan sepeda motor . Kali ini motor bergerak lebih jauh. Target kita kali ini adalah di kawasan perbukitan di sisi sebelah selatan bukit TK. Berangkat sekitar jam lima lewat tiga puluh pagi, aku yang hanya memakai rompi dan Kadek yang hanya berbaju kaos dalam putih harus rela kedinginan di boncengan saat motor-motor kami melintas ke arah perbukitan. Ini berbeda dengan penampilan Eddy dan Didi yang lengkap berjaket dan tas kamera model punggung. 
Kawasan Kesi deri ada banyak pohon yang baru belakangan baru kuketahui kalau itu adalah pohon Mengkudu hutan. Bentuk daunnya lebih kecil dibanding dengan daun Mengkudu pada umumnya, dan itu yang membuatku hampir tak mengenali. Buahnya yang bulat dan kecil-kecil juga berbeda, yang sama adalah motif dan bau buahnya. Sepertinya penduduk sekitar tidak memanfaatkan keberadaan pohon ini kecuali sekedar untuk kayu bakar, karena sepertinya pohon-pohon ini tumbuh liar. 
Kami sempat menelusuri perbukitan sampai kesisi miring menuju ke arah bawah lembah. Sisi bawah lembah ternyata banyak pepohonan, mungkin karena letaknya yang terlindungi sehingga bagian lembah tidak kering seperti bagian atas. Beberapa rombongan sapi melintas di kawasan perbukitan ini, baru kutahu kemudian bahwa masyarakat juga biasa tidak mengandangkan ternak melainkan hanya menggiring ternak-ternak ke lembah saja
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 23 November 2011

Mandi di Pantai Malam-malam

Ha! akhirnya aku berhasil mandi malam-malam di pantai, tustas sudah hasratku untuk bisa mandi di Pantai Kawaliwu ini malam-malam. "Lho apa sih nikmatnya mandi di laut malam, kan dimana-mana bisa" mungkin itu pikiranmu atau pikiran orang lain melihat aku semangat sekali menulis hanya untuk sebuah mandi malam di pantai lagi.
Kalau mandi malam sih memang biasa, mandi malam di laut juga sebenarnya pernah juga. Tapi untuk mandi di Pantai Kawaliwu ini lain ceritanya. Tak lain dan tak bukan karena di Pantai Kawaliwu ini ada banyak sumber air panas yang mengalir di celah bebatuan di pinggir pantai. Asyik kan, mau berenang malam-malam dingin sekali pun tidak masalah karena air panas alami selalu tersedia yang penting mau bikin lubang tampungan air saja. Cerita Pantai Kawaliwu tak perlu aku ceritakan lebih jauh ya karena sudah pernah aku tulis dua kali, yang pertama Sunset di Kawaliwu yang aku tulis di bulan Maret 2010 saat aku pertama kali mengunjungi tempat ini dan yang kedua Nyiur dan Senja yang ditulis bukan Juni 2011.


Sebenarnya ceritaku kali ini bukan cuma masalah mandi malam tapi juga pengalaman pertama naik pesawat kecil Cesna Grand Caravan dengan balik-balik satu biji di depan. Pesawat berpenumpang 12 orang inilah yang membawaku terbang dari Kupang ke Larantuka. Walaupun ada embel-embel propeler jet (memang agak beda dengan pesawat lama karena di bagian samping baling-baling satu biji terdapat knalpot besar) tetep aja rasanya berbeda jauh dengan pesawat jet. Tapi tetap lebih untung naik pesawat ini ke Larantuka daripada dua kali perjalanan, Kupang-Maumere disambung perjalanan darat Maumere-Larantuka.
Susi Air lumayan tepat waktu maklum jadwal penerbangannya padat terutama ke daerah-daerah yang sudah tidak diminati penerbangan komersil, bisa dikatakan Susi Air ini pesawat perintis komersil. Jam sembilan, aku bertiga bareng Kadek dan bos Joko sudah ada di ruang tunggu bandara Eltari, dan setengah jam kemudian suara merdu wanita memanggil penumpang untuk naik ke pesawat. Sebelum naik ke pesawat ternyata kami dikumpulkan di bawah untuk mendapatkan instruksi penyelamatan penerbangan oleh mas-mas. Jadi semua mendengarkan sambil berlindung di bawah sayap pesawat karena memang panas Kupang lagi bener-bener tidak bisa diterima akal sehat hehehehe. Untungnya mas-mas penganti pramugari menyadari kondisi itu sehingga cukup satu bahasa Indonesia saja, entah mungkin saja dia tidak lancar pakai bahasa Inggris. Ah tak masalah, yang penting masuk pesawat. Untung ini pesawat ini masih baru jadi tempat duduknya masih enak dan biar pun kecil hanya untuk 12 penumpang (14 orang kalau dihitung dengan pilot dan copilotnya) tapi rupanya tetep ada AC-nya. Karena aku dan Kadek baru pertama kali naik pesawat kecil begini, maka kita langsung mengincar tempat duduk di samping apalagi kalau bukan mau cari obyek foto dari atas pesawat.
Dan ini dia keuntungan kedua, karena pesawat kecil jadi terbangnya juga tidak terlalu tinggi tapi juga tidak rendah amat-amat lah bisa-bisa nabrak pohon kelapa dong. Pesawat menyusuri pinggiran pulau Timor ke arah Timur, perkiraanku sampai di bagian selatan SoE baru pesawat berbelok ke arah Utara menuju ke arah pulau Solor, dari pulau Solor pesawat bergerak terus ke utara menyusuri ujung Barat pulau Adonara hingga kemudian pesawat berbelok ke Barat untuk mendaratkan pesawatnya ke bandara Gewayantana. Begitu pesawat turun ke bawah, pilotnya yang bule mengucapkan kata-kata selamat jalan dan sebagainya dalam bahasa Indonesia dengan logat khas. 
Begitu mendarat aku harus mengucak-ngucak telinga yang terasa agak sakit, yah maklum saja itu pilot saja pake headset besar buat menutup telinganya lha kita penumpang malah rela  menelan semua suara bising pesawat bagaimana tidak jadi sakit. Untung aku tidak sedang pilek, kalau saja sedang pilek pasti penerbangan ini akan menjadi penerbangan yang menyiksa. Pelajaran hari ini, jangan lupa pakai headset besar dan setel musik kalau suatu ketika naik pesawat seperti ini.


Karena hari pertama terlalu lelah untuk perjalanan sehingga kita memutuskan kalau ada waktu akan kita set untuk perjalanan di hari kedua. Untung di hari kedua kegiatan hanya berlangsung sampai siang hari sehingga kita punya waktu longgar. Begitu jam empat kita sudah mulai siap-siap, celana renang langsung kupakai dan kurangkap dengan celana sepanjang butut hijau lumut sepanjang lutut. Pak Joko yang belum pernah ke Kawaliwu berhasil aku ajak untuk ke sana dan berenang sehingga masing-masing membawa handuk. Akhirnya setelah perjalanan setengah jam melewati bagian leher kepala pulau Flores sampailah kita di Kawaliwu dan seperti biasa, kendaraan langsung di arahkan ke tanah agak tinggi yang ada kumpulan batu-batu hitam besar menjorok ke laut.


Karena matahari masih terlalu panas, aku dan Kadek memanfaatkannya untuk memotret, sebenarnya bukan memanfaatkan karena dari awal memang salah satu tujuan kita kesini ya untuk memotret. Karena di Flores Timur, dari sini lah kita bisa leluasa melihat matahari terbenam. Tapi tidak seperti biasanya, rupanya kali ini posisi tenggelam  jauh ke arah pulau tidak seperti pada bulan Maret kemarin dimana matahari tenggelam tepat di horison laut. Aku terlupa kalau bulan November ini matahari lebih condong ke selatan. Aku sempat mendapati seseorang yang berdiri memancing di atas salah satu batu paling pinggir ke laut juga seorang tua berewokan bertelanjang dada dengan badan kurus tipis dan rambut keriting keputihan. Dengan posisi yang duduk diam tenang di atas batu hitam besar, sepertinya Kadek agak takjub, semoga saja dia tidak sedang mengira bertemu pertapa sakti seperti Dalsingh hahahaha.
Di bagian bawah tepat di tempat cerukan sumber air panas ternyata sudah ramai orang yang berkumpul disitu. Sepertinya mereka rombongan satu mobil lengkap dengan perlengkapan amunisi makanan. Jam sudah menunjukkan lewat enam saat rombongan itu mulai mandi di laut. Rupanya air laut sudah mulai pasang kembali, teringat aku menaruh peralatan kameraku di batuan pinggir laut agak jauh dari sini aku segera berlari mencari dengan bertelanjang kaki. Untung peralatan kameraku dan Kadek masih belum sampai terkena air laut walau sudah di pinggir sekali. Yang sial justru aku malah kehilangan sandal yang juga aku taruh di pinggir laut karena baru ingat setelah selesai mandi dan laut sudah pasang. 
Akhirnya aku dan pak Joko juga ikut menyusul terjun ke laut. Air lautnya sangat bening walau batuan dan pasirnya berwarna hitam, bahkan dalam keadaan gelap aku masih bisa melihat samar-samar kakiku di dalam air. Sekitar sepuluh menit aku dan pak Joko mandi sementara Kadek hanya berdiri di pinggir laut walaupun tadinya juga sudah berencana mandi. Rupanya dia baru ingat kalau badannya masih luka-luka akibat kecelakaan kendaraan minggu kemarin.
Sebenarnya berenang lebih lama lagi sudah masih enak karena kalau sudah mulai dingin tinggal kita berpindah di pinggir yang agak hangat karena bercampur antara air laut dan air panas. Aku kemudian ikut berkumpul bersama rombongan tadi duduk di pinggir sumber air panas. Salah satu rombongan kalau tidak salah salah satu bernama mas Dirga menawarkan gayung air. Begitu aku siramkan, spontan aku teriak. Busyet, kutu busuk seragunan, airnya memang terasa panas sekali. Ini pasti gara-gara aku dan pak Joko habis berenang di air dingin, pantas saja tadi juga aku dengan pak Joko berteriak ternyata memang panas. Tapi nekat saja, aku siramkan air yang terasa menyengat kulit ini beberapa kali ke tubuhku. Walaupun disini sumber air panas alam tapi airnya tidak berbau belerang, dan tetap tawar. Hanya kadang-kadang saja saat pasang naik tinggi sekali terutama bila purnama maka airnya menjadi agak payau karena bercampur dengan air laut.
Akhirnya tuntas sudah keinginanku untuk mandi di Kawaliwu, tapi sepertinya tetap akan menyenangkan berenang disini. Kapan lagi bisa berenang di laut dengan air panas alami yang bersih di pinggir laut.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 20 November 2011

Kampung Kambajawa Deri

Dari balik kaca ruangan kantor, aku memandang hujan di luar yang tumpah dari langit begitu lebatnya. Langit gelap menandakan bahwa hujan kali ini hampir merata diseluruh tempat. Menurut Enos, hampir tiap hari hujan turun mengguyur Sumba Tengah sejak dari bulan Oktober. Padahal perjalananku dari Waingapu ke Waibakul aku banyak menemui padang-padang dan perbukitan savana yang masih kering, menandakan bahwa hujan belum juga turun.


Suasana di kota Sumba Tengah masih terasa suasana perkampungan, kota yang masih banyak dikelilingi persawahan ini terasa menyenangkan. Pagi hari selalu dimulai dari kabut tebal yang secara pelahan naik seiring naiknya matahari. Masih mudah menemui rumah-rumah asli Sumba dan batu-batu kubur, namun sayangnya sebagian rumah-rumah itu sudah banyak yang telah dimodifikasi seperti atapnya yang sebagian besar sudah menggunakan seng bukan alang-alang, batu-batu kubur dari beton yang telah dikeramik bukan dari batu asli yang dipotong. Sebenarnya ada beberapa perkampungan yang suasananya masih asli namun sayang lokasi agak jauh dan agak sulit ditempuh jika masih sering hujan seperti ini.


Untungnya Enos yang tiap pagi rajin mengantarku mengatakan kalau perkampungan dari neneknya yang berada di daerah Deri tidak jauh dari kota sekitar sepuluh kilometer saja. Bahkan para penghuni di daerah itu masih erat memegang kepercayaan Marapu. Informasi yang tidak bisa ditolak, apalagi menurut kabar di lokasi ini pernah digunakan untuk syuting Etnic Runaway. Hari ketiga aku, teman dan Enos menjelang sore sudah jalan menuju ke lokasi, beberapa kilometer setelah percabangan kompleks Kantor Bupati, Enos membelokkan mobil ke kanan masuk ke jalan agak kecil. Jalan menanjak dan berliuk-liuk langsung menhadang kami, untunglah walau jalan tidak beraspal namun kondisi jalan yang disusun dari batu kapur masih bagus dan tidak terpengaruh kondisi hujan sehingga dengan mudah Enos meliuk-liukkan mengikuti kontur jalan yang terus menanjak menerobos diantara hutan kebun milik penduduk.


Suasana saat ini memang kurang menentu, kabut datang dan pergi dengan cepat. Namun menjelang di ujung jalan cuaca kembali terang walau masih mendung rata di langit. Kami berhenti tepat di samping sebuat kubur batu besar yang masih terdapat sebuah karangan bunga yang masih baru. Tampaknya ada yang baru dimakamkan di dalam kubur baru yang sudah tampak tua ini. Kubur batu megalitik ini dibuat dari 2 buah baru utama, batu pertama berupa batu kotak yang tengahnya dilubangi sebagai tempat untuk jenazah, sedangkan batu kedua berupa batu persegi berbentuk plat untuk penutup. Satu batu kubur ini bisa digunakan untuk memakamkan beberapa kali namun mengikuti hirarki hubungan kekeluargaan tertentu. 


Suasana perkampungan yang rindang yang dipenuhi pohon-pohon besar begitu tampak damai. Desain arsitektur khas rumah sumba juga menarik dan nyaman. Rumah berbahan kayu dengan atap rumbia ini dibangun dengan konsep tiga tingkat. Tingkat pertama digunakan untuk gudang menyimpan perkakas dan tempat tinggal hewan piaraan, tingkat kedua digunakan untuk tempat tinggal penghuni rumah, sedangkan tingkat ketiga digunakan untuk menyimpan persediaan pangan. Dengan konsep ini, bangunan tingkat kedua yang merupakan hunian manusia dibangun dengan kontur bertingkat. Bagian depan dibangun agak rendah agar orang bisa mauk ke rumah sekaligus sebagai beranda tamu. Di bagian samping rumah depan dibangun bale-bale yang bisa digunakan untuk tempat bersantai atau tiduran. Masuk ke bagian dalam dibuat lebih tinggi dari bagian depan, disini aktivitas dalam seperti ruang tidur dan sebagainya berada. Yang unik adalah dapur yang berada ditengah-tengah rumah yang dengan tingkat paling tinggi, jadi dapur adalah akses utama para penghuni. Biasanya dapur ini dilapisi tanah atau pasir dibagian bawah. Jika dinding bangunan itu dari kayu maka dapur biasanya boleh dibangun di luar rumah. Dan itulah aktivitas yang sedang ada bagian paling depan perkampungan, sebuah bangunan untuk dapur sedang dibangun secara gotong royong.   Membangun rumah juga tidak sembarangan, karena rumah dibangun bersama-sama dengan warga kampung ada beberapa perayaan yang harus dilakukan. Seorang bapak tua pemilik rumah sedang asyik membuat tali yang berasal dari rotan yang akan digunakan sebagai ikat antar kayu dan atap.


Enos yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kampung ini mengajakku masuk lebih ke dalam, melewati jalan batu kami masuk ke dalam dan disambut aktivitas beberapa penghuni kampung. Seorang kakek tampak asik memukul-mukulkan sebuah alat penjepit dan hasil dari benda yang pecah dari pukulan itu dipilah oleh seorang nenek, ternyata mereka sedang membuka biji kemiri. Pohon-pohon kemiri memang banyak tumbuh di hutan-hutan adat kampung ini dan ini menjadi tambahan pendapatan mereka selain mereka juga berkebun dan memelihara ternak. Namun untuk ternak seperti kerbau, sapi atau babi sering tidak mereka jual karena lebih sering dipersiapkan untuk kegiatan upacara-upacara adat seperti perkawinan atau kematian yang sering membutuhkan korban dalam jumlah besar. Tentu saja yang menjadi ternak favorit mereka adalah kerbau apalagi jantan yang memiliki tanduk panjang.

Enos menunjuk sebuah bangunan paling tinggi yang dinaman rumah kilat, Bangunan berpondasi batu kapur dengan ukiran ini digunakan sebagai upacara memanggil kilat. Menurut cerita, jika ada warga atau permintaan orang lain yang kehilangan barang atau ternak maka mereka akan melakukan persembahan dan upacara di rumah kilat dan meminta bantuan Marapu  untuk menyambar kilat orang yang telah mencuri tersebut. Aku hanya bisa mengamati di dekat rumah kilat itu karena ada undakan tangga batas yang tidak dapat dilewati oleh orang luar.  


Di depan bagian bawah undakan terdapat sebuah kayu yang diukir dan dibagian atas dibuat bercabang. Konon kayu ini dibuat untuk meletakkan kepala manusia yang mereka tebas baik karena kasus pencurian atau peperangan antar kampung. Walaupun konon, tapi kejadian itu bukan berarti tidak terjadi lagi. Jika ada warga kampung lain yang terpergok mencuri ternak maka kasus penebasan dapat terulang kembali karena kasus-kasus pencurian ini juga masih  terjadi. Menurunnya kasus pencurian sekarang ini juga salah satunya sumpah antar kampung bahwa kasus pembunuhan akibat kasus pencurian tidak akan membawa dendam di antara mereka.


Saya masih ingat tahun 2010 sewaktu saya melintasi daerah ini dari Waingapu menuju Waikabubak. Waktu itu karena aku tunggu orang yang menjemput ternyata tidak muncul, dan baru muncul menjelang sore. Saat aku meminta jalan langsung dia menawarkan untuk berjalan esok harinya untuk menghindari jalan malam, karena menurutnya jalur antara Anakalang-Waikabubak di sekitar kawasan hutan sangat rawan pencurian biasanya dengan memasang balok-balok kayu penghalang kendaraan.


Enos mengajakku sampai ke belakang dimana terdapat satu bangunan tunggal yang diberi nama tiang delapan. Itulah induk rumah dari semua rumah itu dan menjadi rumah paling sakral yang tidak boleh dimasuki sembarang orang kecuali warga kampung. Biasanya tamu-tamu asing dari pemilik rumah tiang delapan ini diterima di rumah lain. Ada batas baru yang disusun sebagai batas yang tidak boleh dilanggar oleh orang luar bahkan oleh Enos sendiri. Menurutnya, semenjak dia memeluk agama Kristiani maka keluarganya keluar dari kampung ini karena disini masih erat dengan keyakinan Marapu. Listrik belum sampai di kampung ini namun sudah ada beberapa rumah yang memiliki panel tenaga surya kecil yang digunakan untuk menyalakan barang-barang elektronik mereka seperti handphone atau televisi.
Kabut kembali datang dan kali ini lebih tebal membuat kami harus segera kembali. Di perjalanan turun kami menemui salah satu penduduk kampung sedang mengiring kerbau-kerbau kembali yang dinaiki olah beberapa anak kecil. Dengan mata bercahaya dan senyum lebar mereka melambai-lambaikan tangan ke arahku. Sungguh suasana damai dan sederhana dan masih begitu dekat dengan alam. Semoga perkembangan zaman tidak menggilas mereka dan tetap menjadikan mereka orang-orang yang bersahabat dengan alam, sebuah hubungan harmoni yang menjadi tanah Sumba ini masih begitu damai dan dipenuhi mistis alam.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 07 November 2011

Sesaat Sebelum Hujan Menghampiriku...





Kesibukan beberapa hari ini benar-benar membuatku jenuh. Kesibukan itu juga yang membuatku sering kehilangan menikmati moment ‘cantik’. Namun semua itu kuanggap berkah, kuterima dengan hati yang gembira. Toh, dapat menatap keindahan alam ini dengan mata saja sudah teramat sangat menghiburku. Memberikanku tenaga extra untuk selalu giat bekerja.


Senja nanti pasti datar, begitu pikiranku pada awalnya. Langit tidak terlalu berwarna terlalu banyak awan kelam. Plus teman huntingku, Didimoezh, masih lembur di kantornya. Tak ada niat untuk hunting atau trekking sebenarnya, walau sore ini ku dapat sedikit waktu untuk beristirahat. Karena rencana malam ini aku harus latihan nyanyi bersama teman-teman vocal groupku.


Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Entah mengapa,mungkin karena lagi ada feel, ku putuskan untuk sedikit berjalan-jalan sore. Putar-putar kota mbay. Mendekati perkotaan aku di hadapkan pada 2 pilihan. Jalan-jalan ke bendungan Sutami, ataukah ke bukit di daerah Penginanga. Aku kemudian memlih ke bukit saja. Sudah lama tidak ke sana juga. Siapa tahu malah dapat moment bagus.

Kalau untuk mendapatkan momen 'indah' landscape membutuhkan suatu keberuntungan tersendiri (menurut para fotografer handal dalam beberapa majalah), maka aku mungkin termasuk beruntung sore ini karena awan dalam cuaca mendung yang kelam mendadak menjadi ‘indah’ untuk diabadikan. Aku berhenti di suatu tempat yang selama ini tidak menarik perhatianku. Tempat yang biasanya tidak menarik mataku dan di mata lensa KITku. Namun sebuah lensa Fish Eye 8mm pinjaman dari mas Baktiar Sontani, berimajinasiku mengembara dan melihat tempat ini menjadi punya ‘sesuatu’ yang indah. Imajinasi itu kemudian menuntunku ke sini, bukit penambangan pasir. Letaknya tepat di pinggir jalan utama Aegela-Mbay.

Di sana mendung belum tentu disini juga, begitu pendapatku. Mulailah ku siapkan kamera kesayanganku untuk memotret. Langit tampak gelap di kejauhan. Gambaran hujan yang turun ke bumi yang semakin jelas dan pekat. Membentuk sebuah pemandangan yang memikat. Setelah beberapa jepretan, terasa titik-titik air hujan mulai membasahiku. Pemandangan yang indah 'menurut aku' membuatku nekad untuk sedikit lebih lama bertahan pada keadaan ini. Berpindah-pindah di sekeliling tempat penambangan pasir ini, mencari sudut-sudut yang indah. Satu menit kemudian tepat setelah shutter terakhirku di bukit itu, hujan deras menghampiriku.


Jadi kalang-kabut, kabur menyelamatkan perlengkapanku. Kamera terpaksa segera kusembunyikan di dalam jaket. Tak ada waktu lagi untuk memasukannya ke dalam tas kameraku karena hujan sudah terlajur deras. Untungnya ada sebuah kios kecil di persimpangan jalan Mbay-Aeramo. Aku memilih untuk berteduh untuk menyelamatkan peralatan kameraku. Iseng, masih ada satu jepretan lagi di tempatku berteduh. ‘Gambaran’ persimpangan jalan ke Mbay dan ke Aeramo dalam guyuran hujan. Motorku jadi model dadakan...hehehehehe... Ngobrol sebentar dengan pemilik tempatku berteduh sementara menunggu hujan reda, sebelum aku kembali ke pondokku.
Thanks a lot buat mas Baktiar Sontani untuk pinjaman lensanya. Dari pada nganggur kan mas lensanya...hehehehehe..."pernyataan sepihak"

Ku sajikan foto-fotoku sore ini dalam sedikit cerita...
Foto di tempat penambangan pasir daerah Penginanga...
Foto yang kubuat... Sebelum hujan menghampiriku.

---Mbay, 6 November 2011
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 24 Oktober 2011

Melukis Keindahan Mbay - Bukit dan Pantai Kita


Sebuah tulisan yang sedikit basi. Dalam arti beberapa visualisasi dalam tulisan ini sudah di buat pada beberapa waktu yang lalu. Beberapa bahkan sudah cukup lama. Hal yang memicu semangat saya untuk menuliskan narasi ini adalah karena saya merasa, saya berpikir dan saya kemudian berkesimpulan, bahwa saya harus membagi apa yang saya sendiri rasakan seakan tidak pernah puas-puasnya menatap keindahan tanah Mbay, Nagekeo.

Menurut saya ada dua hal yang paling menarik, pertama adalah pemandangan bukit dan pantai. Menatap Mbay dari perbukitan daerah Penginanga saja saya tak pernah bosan. Hamparan sawah hujau, kuning dan coklat selalu membuat segar mata ini. Apalagi menikmati keindahan pesisir pantai di daerah Marapokot dan Nangadhero. Walaupun kurang tertata dan terawat dengan baik, guratan keindahannya tetap meneduhkan mata dan pikiranku. 



Bersapa dan bercanda dengan penduduk yang bermukim di daerah persawahan dan perkampungan nelayan senantiasa menjadi agenda rutin saat trekking dan hunting. Dan semuanya itu membuatku semakin tidak bosan untuk ‘menggauli’ keindahannya. Gambar dan cerita pada tulisan ini pun sebenarnya hanya sebagian kecil dari indahnya pengalamanku selama berada di Mbay ini. Masih ingin jalan-jalan mengelilingi seluruh tanah Mbay ini.


Sudah 6 bulan saya tinggal di Mbay. Bersama teman-teman sesama pencinta fotografi dan indahnya pemandangan alam disini, kami bentuk Nagekeo Photographer Club (NPC). Guru yang selalu memberi masukan positif dalam hal fotografi, mas Baktiar Sontani tak henti-hentinya memberikan suntikan semangat bagi kami untuk terus berkarya dan menceritakan keindahan Mbay lewat lensa kami. Pos Kupang pun turut mendukung kami atau bahasa kerennya turut mengapresiasi terhadap kegiatan kami dengan mengulas tentang keberadaan NPC ini di beberapa edisinya.


Kesibukan kadang menghalangi niat saya untuk mengabadikan keindahan Mbay ini. Tapi saya sadar, pekerjaan tetap yang utama sedangkan kegiatan ini selalu yang pertama hehehehehe... artinya sesibuk apapun kerjaan saya, trekking dan hunting tetap must go on, di sela-sela kesibukan tentu. Pandai-pandai membagi waktu serta mengikuti feel and sense.

Selain teman-teman dari NPC, mas Baktiar, mas Kadek, mas Nyoman, mas Koco, dan mas Arief Papat pernah bersama-sama dengan saya mengabadikan keindahan bukit dan pantai. Mas Baktiar sering pula menulis cerita menarik tentang Mbay ini, di blog Indonesia Sungguh Indah ini dan di Facebook di timpali dengan foto-fotonya yang joss gandossss.

Hal-hal baik dan buruk juga akrab menemani langkah saya saat mengelilingi bukit dan pantai di Mbay ini. Kamera kesayanganku pernah rusak terbentur permukaan tanah saat hunting ke Pantai Watundoan. Mungkin saya tidak ‘permisi’ dahulu sebelum memotret di sana. Kadang kita memang harus menghargai alam kita walau dengan ucapan permisi dalam hati kita. Manjadi doa bagi karya kita. Nyamuk sering menjadi sahabat dalam kegelapan saat pulang trekking dan huntingnya sudah cukup malam. Di gigit semut dan tabuhan juga mewarnai kegiatan trekking dan huntingku. Di suguhi minum dan makan dalam persinggahan perjalanan juga sering terjadi. Suatu tradisi keramahtamahan asli Indonesia. Mendapatkan cerita-certa dan ilmu kemasyarakatan jadi bagian pemanis dari trekking dan hunting. Membuka wawasan saya tentang Mbay dan adat istiadatnya, Mbay dan masyarakatnya, serta yang utama adalah Mbay dan keindahannya.


Bukit yang gersang ternyata bisa tampak indah di mata kamera. Walau sering menjadi keluhan saat panas menyengat. Komposisi awan dengan ROL-ROL cantik memberi warna. Pohon-pohon kering dan ilalang memberi kesan. Kontur tanah dan bentuk bebatuan hasil pahatan alam sangat berkarakter. Semuanya begitu indah. Sangat indah malah.
Pantai yang masih asri walau kurang terawat juga sering menjadi indah dan bernilai dalam mata kamera. Komposisi awan, pantulan cahaya, garis pantai yang luas dan panjang, batu-batu karang hitam, perahu, penduduk dan pemukimannya telah menjadi lukisan yang berkanvaskan kawasan pantai. Sunrise, sunset dan purnama menjanjikan kepuasan bathin untuk di nikmati dan diabadikan.


Banyak tempat yang masih ingin saya datangi. Banyak kesempatan yang sering terlewatkan. Banyak keindahan yang belum tertangkap mata dan kameraku. Dan semuanya mematri kerinduan yang dalam untuk dapat mengabadikannya lewat kamera, mata dan hati ini.
Bersama teman-teman NPC dan teman-teman fotografer dari luar daerah kerinduan saya akan selalu bisa di wujudkan. Tentu dengan semangat kebersamaan dan tulusnya niat untuk bercerita kepada dunia tentang Mbay yang indah ini.
Melihat Indonesia dari Timur. Harus dapat kita wujudkan bersama. NTT sungguh indah. Flores Nusa Bunga. Terima kasih Tuhan.

------>Mbay, 24 Oktober 2011
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya