Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 16 Maret 2010

Senja di Kawaliwu (Sunset on Kawaliwu)

Sudah hampir empat minggu atau sebulan saya berada di kota Larantuka, dalam rangka tugas kantor tentunya. Ibukota dari Flores Timur memang terasa kecil dibanding kota-kota lain di Jawa, bukan hanya kota-kota di Jawa bahkan dengan kota-kota di Nusa Tenggara Timur, Larantuka masih terasa sebagai kota kecil.
Tapi bukan itu yang menjadi sedikit kegundahan saya selama di sini. Tapi pertanyaan sederhana ini rasanya agak sulit dijawab oleh orang-orang disini "Dimana tempat wisata yang bagus disini?" Rasanya pertanyaan yang wajar, namun mungkin (saya tidak tahu persisnya) karena membandingkan dengan tempat wisata di tempat lain di pulau Flores, rasanya terasa tidak ada tempat yang istimewa dari Flores Timur ini.
Jika ada yang membuat Flores Timur ini terkenal, maka keberadaannya sebagai salah satu tempat orang merayakan Paskah adalah daya tariknya.
Memang di Flores Timur sebagaimana kota lain di Flores yang memiliki laut, mungkin di Flores Timur inilah yang setiap saya singgah di laut yang saya temui adalah pasir berwarna hitam. Ada memang beberapa tempat yang pasirnya tidak berwarna hitam, tapi itu hanya sebaris pantai saja dan sisa lainnya adalah pasir hitam.
Di hari terakhir waktu tugas saya, saya teringat cerita seseorang yang memiliki hotel di Larantuka tentang Pantai Hading yang letaknya berada di pesisir barat Flores Timur. Sedikit gambaran, Flores Timur berada di ujung pulau Flores artinya sebagian besar tempatnya menghadap ke timur atau tenggara. Kepala pulau Flores ini ada di Kabupaten Flores Timur, artinya ada bagian teluk di sisi barat Flores Timur, daerah yang diberi nama Kawaliwu. Nah disinilah pantai Hading berada.
Berawal dari informasi ini, saya coba konfirmasikan kembali kemungkinan untuk bisa mencapai daerah ini. Bukan apa-apa, pengalaman sebelumnya saat saya dan teman-teman mencoba menuju ke pantai Hading dari arah kepala justru malah jauh sekali karena harus melewati Tanjung Bunga. Tanjung Bunga ini ada dibagian kepala dari pulau Flores, jadi kami harus memutari kepala pulau Flores untuk sampai ke teluk ini... wah..
Namun saya diberitahukan jalur lain yang lebih mudah untuk mencapai Kawaliwu yaitu melalui desa Oka, ada jalur lain yang lebih dekat tapi karena harus melewati sisi lereng gunung Ile Napo (entah benar apa salah) jadi medannya agak berat.
Berbekal informasi ini kami bertiga, saya dan dua teman memulai petualangan kecil kami. Kami menyebut petualangan karena diantara kami bertiga tidak ada yang benar-benar pernah ke Kawaliwu, jadi niat dari awal memang siap untuk tersesat.
Untungnya di sepanjang jalan yang ada kami mendapatkan informasi yang cukup, penduduk dengan ramah menunjukkan arah jalan yang harus kami lalui.
Perjalanan dari desa Oka yang hanya beberapa belas menit dari Larantuka yang mulus berganti menjadi sedikit bergelombang setelah membelok ke arah barat, tapi sebenarnya masih lumayan bisa dinikmati asal kita mengendarai dengan hati-hati.
Perjalanan yang kami lalui terasa menyenangkan karena alam Flores Timur yang subur terbentang di depan mata kami, deretan pohon kelapa seolah mengajak kami berdendang. Beberapa dusun yang kami lewati juga juga terasa suasana yang menyenangkan, apalagi keberadaan dusun-dusun ini di perbukitan yang hijau.
Setelah sekitar setengah jam kami melalui perjalanan akhirnya sebuah papan penunjuk berwarna putih "SDN Kawaliwu" memberi tahu kami bahwa kami telah sampai di Kawaliwu.
Jam sudah menunjukkan hampir jam lima sore saat kami sampai. Pasir hitam yang sama, begitu pikir kami saat kami tida di pantainya, pantai Hading begitulah masayarakat disini menamainya.
Namun kesan biasa-biasa saja mulai hilang saat kami memandangi latar belakang gunung dan perbukitan yang ada di Kawaliwu. Rasanya cantik sekali melihat paduan antara pantai dan perbukitan yang terentang di sepanjang perjalanan kami tampak dari pantai ini.
Pantainya sendiri tidaklah memberi kesan wow dari kami jika dibandingkan laut lain di Flores yang memiliki pasir putih dan taman laut yang indah, namun kami dikejutkan oleh beberapa orang yang mencuci dan mendi di pinggir laut.
Kami merasa aneh saat itu karena tidak biasa melihat orang mencuci baju di pinggir laut. Tapi kami terkejut saat mendekati mereka dan mendapati batu-batu hitam yang kami pijak dengan kaki kosong terasa panas menyengat. Saya pikir ini karena sisa panas dari sinar matahari, ternyata tidak, panas di batu ini ternyata berasal dari air panas yang mengalir di celah-celah batu. Wah ternyata mereka sedang mandi dan mencuci dengan membuat kubangan air untuk menampung sumber air panas.
Wah, keren sekali... saya bisa mandi di laut lalu membilas badan dengan sumber air panas.
Akhirnya seperti diingatkan bahwa kami ingin melihat matahari terbenam di Kawaliwu, mata kami mencoba mencari tempat yang menarik untuk menatap saat terakhir sang matahari menutup hari ini.
Akhirnya kami melangkah ke bebatuan yang menjorok ke pantai. Air laut sore itu sedang tenang sekali, suasananya sungguh menenangkan. Airnya yang bening membuat mata kami dapat menembus sampai ke permukaan airnya. Beberapa orang masih asyik dengan kegiatan mencuci dan mandi, sementara beberapa orang lain ada yang memancing ikan.
Kami sampai di ujung bebatuan karang, tempat yang sangat strategis. Disinilah kami duduk-duduk menikmati senja yang begitu menyenangkan. Kami tidak perlu berpikir untuk beberapa lama kecuali membiarkan pikiran kami mengembara bersama sisa sinar yang semakin redup. Langit memerah, salah satu teman kami seperti dibuai angannya. Asyik sekali dia duduk sendiri di salah satu batu karang memandangi satu bintang yang muncul pertama kali, namanya Alpha Centaury katanya.
Setelah gelap kami mulai beranjak, senter kepala saya menjadi penuntun karena saat itu memang sulit untuk kembali kepinggir melewati bebatuan tanpa bantuan cahaya.
Sebelum pulang kami sempatkan menyapa orang-orang yang masih mandi, yah kalo airnya panas jam berapapun tentu tak masalah mandi... kami iri, mungkin lain kali kami harus mencobanya.
Diakhir perjalanan kami beberapa ekor kunang-kunang menunjukkan diri, memamerkan sinar kecil yang keluar dari bawah perutnya. Binatang yang sudah sangat sulit saya temui di kota kami.
Peristiwa hari ini, pemandangan yang kami nikmati saat ini, senja yang begitu sempurna kami hampiri, membuat janji di hati kami untuk kembali kesini.... menyapa waktu dan alam di sini dan menikmati SENJA DI KAWALIWU...


Kawaliwu, Maret 13, 2010


Personal dalam foto ini:
  1. Aryo Fajar Gunarso (suka dipanggil Ayok)
  2. Maria ... (biasa dipanggil Maya)
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 24 Februari 2010

Jajanan Tradisional: Kue Rangi dan Uli Bakar

Mau mencicipi jajanan tradional tidak harus jauh-jauh pergi keluar rumah. Setiap hari lewat penjual panganan di daerah tempat tinggalku, daerah Menteng Atas Setiabudi. Kebetulan pagi ini aku membeli Kue Rangi dan Uli Bakar.



Kue Rangi


Kue Rangi ini makanan khas Betawi seperti halnya Kue Kerak Telor. Kue ini bentuknya seperti kue Pancong atau Bandros.
Kue Rangi dibuat dengan bahan adonan tepung sagu/tapioca dan irisan kelapa kemudian dipanggang. Di atasnya dilumuri campuran sagu/tapioka dan gula merah.

Cara membuat (diambil dari sumber lain):
Bahan:
1/2 butir kelapa setengah tua, kupas, parut

100 g ampas kelapa
100 g tepung sagu aren
1/4 sdt garam
250 g gula merah, parut


Cara membuat :
Campur kelapa parut, ampas kelapa, tepung sagu, dan garam. Aduk hingga rata.
Panaskan wajan kecil, diameter 12 cm di atas api.
Taruh 1-2 sdm di dalamnya sambil ratakan hingga tipis. Masak hingga kering dan matang.
Taburi permukaannya dengan gula merah. Lipat dua. Angkat dan sajikan.


Bahan :Uli bakar
Makanan khas Betawi ini juga nikmat disantap.

Panganan berbahan dasar beras ketan yang dihaluskan/ditumbuk dengan parutan kelapa kemudian dibakar.Dimakan dengan parutan kelapa yang digongseng (seperti serundeng).
Cara pembuatannya sebagai berikut(berdasarkan sumber lain):

Bahan

300 ml santan (1 kelapa)
1 sendok teh garam
1 lembar daun pandan
200 gram beras ketan, direndam 1 jam
100 gram kelapa muda parut
Cara membuatnya:
  1. Kukus beras ketan selama 10 menit. Sementara itu panaskan santan, garam dan daun pandan. Masukkan beras ketan ke dalam santan. Aduk hingga santan mengering.
  2. Kukus sampai matang. Campur ketan dan kelapa parut. Haluskan campuran ketan dan masukkan ke loyang yang dialas daun pisang.
  3. Setelah dingin, potong-potong lalu panggang uli. Sajikan dengan sambal oncom

Teks & foto oleh: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 23 Januari 2010

Sunyaragi - Hiding place

Situs Sunyaragi adalah salah satu obyek wisata budaya yang ada di daerah Cirebon. Letaknya di kelurahan Sunyaragi, Kesambi. Tidak jauh dari jalan raya Brigjend. Dharsono.

Sunyaragi atau Taman Sari Sunyaragi dibangun sekitar abad ke-17. Tepatnya tahun 1703 Masehi oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya Carbon. Namun dari sumber lain menyebutkan Sunyaragi dibangun tahun 1529 yang merupakan perluasan dari Kraton Pakungwati atau juga dikenal dengan nama Kraton Kasepuhan.

Sunyaragi, berasal dari kata "Sunya" yang berarti sunyi dan "Ragi" yang berarti raga. Mensunyikan raga atau mengosongkan raga sebagai aktivitas dalam olah semedi/meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bangunan Sunyaragi didominasi dengan batu kali pada dinding-dindingnya dan batu bata merah untuk gapuranya meniru candi Bentar. Sebagaimana layaknya taman sari, situs tersebut dipenuhi dengan kolam beserta pancurannya dan dihiasi dengan patung-patung dan relief-relief pada dindingnya. Uniknya patung dan relief tersebut disusun dari batu kali yang ditumpuk meniru bentuk garuda dan gajah.


Peninggalan yang dapat kita temui di komplek Taman Sari Sunyaragi:

  1. Goa Peteng (Goa Gelap).
  2. Goa Pande Kemasan.Tempat pembuatan dan penyimpanan senjata.
  3. Goa Pawon.Tempat perbekalan dan makanan para prajurit.
  4. Goa Pengawal. Tempat pengawal berjaga.
  5. Bangsal Jinem, merupakan tempat Sultan menerima para bawahan untuk bermufakat.
  6. Goa Padang Ati (hati terang). Tempat Sultan bersemedi.
  7. Mande Beling.Biasa digunakan keluarga Sultan untuk beristirahat. Konon bila kita beristirahat di tempat tersebut akan berbesanan dengan keluarga Sultan. Anda berminat?
Pada komplek Taman Sari Sunyaragi telah dibangun pula tempat pertunjukan/pementasan seni untuk menarik minat wisatawan berkunjung.Sayangnya terkesan tak terurus.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 24 Desember 2009

Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini

Pantai Mbuu, Ende

Sudah beberapa kali saya ke Ende, bahkan kalo sekedar lewat untuk perjalanan ke kota lain di Flores bisa dibilang sangat sering. Ende seperti menjadi pintu untuk melakukan perjalanan ke kota lain khususnya ke arah barat Flores seperti ke ke kota Mbay, Bajawa atau mau ke Ruteng. Karena untuk daratan Flores, hanya bandara di Maumere dan Ende yang ada penerbangan tiap harinya.

Meskipun begitu, pantai Mbuu yang sebenarnya dekat dari Ende baru beberapa bulan yang lalu sempat saya kunjungi. Memang bagi sebagian orang Ende sendiri, pantai Mbuu sendiri bisa dibilang tidak ada yang begitu istimewa. Disana justru yang tiap hari ramai adalah kegiatan penambangan batu dan pasir. Bayangkan! kegiatan penambangan di area yang ditulis di depan gerbang masuknya Tempat Wisata Pantai Mbuu, hah!!


Pantai Mbuu ini masih berada di kota Ende, anda bahkan bisa melihat pantai Mbuu dari jendela pesawat saat pesawat landing maupun take off. Dari pesawat anda akan melihat hulu sungai yang membelah dengan beberapa kubangan rawa/danau.


Awal tiba di tempat ini tidak terlalu tertarik juga, namun naluri seorang pejalan yang menyukai segala medan membuat saya terus menelusuri setiap lekuk tempat ini.


Tapi begitu saya mau bersusah payah menuruni sungai yang membelah tempat ini, ternyata saya menemukan scenery yang indah. Scenery yang sederhana antara aliran air, pohon, batuan dan perbukitan yang begitu menjulang di mata. Semuanya seperti mozaik yang dipatrikan pada tempat-tempat yang semestinya. Aliran sungai yang membelah ternyata menciptakan kubangan-kubangan yang ditumbuhi rumput-rumput tinggi, kubangan air tawar yang bersebelahan dengan air laut.


Jika mau sedikit bersusah payah menyeberangi sungainya niscaya mata akan dibawa pada scenery alam yang begitu cantik, beberapa kubangan rawa/danau bahkan sangat cocok sebagai lokasi untuk berfoto-foto.

Sayang, ada kegiatan penambangan pasir dan batu di sini. Sebagai tempat. yang telah dinyatakan sebagai lokasi wisata, seharusnya ada kehati-hatian dalam memberikan ijin lokasi penambangan.

Saya rasa kalau tempat ini terus ditambang, tak lama lagi air laut akan memasuki kubangan-kubangan rawa di sekeliling tempat itu, dan hasilnya rumput-rumput yang memiliki warna tersendiri itu akan menjadi mati.
Beberapa waktu lalu saya berkenalan dengan seseorang yang datang dari Jakarta. Namanya ibu Liliana, traveller yang saya kenal secara tidak sengaja karena kebetulan sama-sama menginap di hotel Satarmese. Hotel sederhana dengan jumlah terbatas namun pelayanannya yang nyaman menjadi salah satu hotel favorit saya kalo di Ende. Ibu Liliana yang spesial datang untuk berburu foto ini ternyata kebingungan saat tiba di NTT karena tidak mendapatkan informasi tempat mana yang bagus. Beberapa orang setempat yang menunjukkan tempat yang mereka anggap bagus ternyata kurang menarik minatnya. Kesamaan hobi ini yang akhirnya mengantarkan saya menemaninya di waktu yang sempit untuk menikmati pantai Mbuu. Terus terang saya belum tau bagaimana pendapatnya dengan tempat ini karena selama di pantai Mbuu saya pun sibuk dengan aktivitas yang tergolong pendek ini.


Seandainya saya punya cukup waktu tentu saya tidak berkeberatan menemani ibu Liliana untuk menjelajahi alam Flores yang menurut saya cukup eksotis. Mungkin hanya kendala biaya yang cukup besar karena lokasi antar obyek wisata yang cukup jauh.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 26 Februari 2009

Kampung Megalit Bena

Kampung Megalit BenaKampung Bena, adalah salah satu perkampungan megalit(ikum) yang terletak di Kabupaten Ngada. Tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa.

Kampung yang terletak di puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.

Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.

Oh ya, karena sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada jadi kalau masuk ke sana jangan lupa isi dulu buku tamu. Syukur-syukur dilihat dulu. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan Italia.

Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.

Kampung Megalit Bena
Salah satu acara adat tahunan yang digelar di kampung megalit ini adalah Rebha. (kenapa pakai h karena mereka menyebut ba dengan tekanan yang kuat).

Reba merupakan suatu prosesi adat dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam sebuah rumah adat ( Sa’o ) dan melakukan syukuran atas apa yang telah diperoleh selama setahun dan memohon keberhasilan ditahun yang akan datang. Prosesi ini merupakan wujud syukur kepada Tuhan dan sekaligus sebagai ritual untuk menghormati nenek moyang, dan semua yang mengikuti ritual ini diwajibkan untuk memakai pakaian adat.

Selain sisi tradisional yang tampak dari kampung bena terdapat pula seni tata letak rumah adat ( Sa’o ) yang tampak seperti susunan anak tangga yang menambah keindahan kampung bena. Masyarakat kampung bena khususnya kaum wanita, memiliki keahlian untuk membuat kerajinan tenun ikat dengan corak yang berbeda.

Nah, tenun ikat ini salah satu cendera mata yang dapat dibeli di kampung ini.


Catatan tambahan (dari beberapa sumber):
Penduduk Bena termasuk ke dalam suku Bajawa. Mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik. Umumnya penduduk Bena, pria dan wanita, bermata pencaharian sebagai peladang. Untuk kaum wanita masih ditambah dengan bertenun.

Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu klan Bena. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Hal ini bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat.

Batu Megalit Kampung Bena
Pada saat klan baru akan terbentuk maka berlangsunglah suatu upacara yang diakhiri dengan pendirian ngadhu, berbentuk seperti payung (simbol pihak keluarga laki-laki) dan bagha, berbentuk seperti rumah (simbol keluarga perempuan).

Rumah keluarga pria menjadi sakalobo, sementara rumah keluarga wanita menjadi sakapu'u, keduanya menjadi rumah pokok klan baru tersebut. Sepasang rumah pokok itu menggambarkan prinsip hidup penduduk setempat bahwa di dunia ini manusia hidup berpasangan pria dan wanita. Secara umum prinsip ini juga dapat dibaca dari perletakan rumah di Bena yang berhadapan satu sama lain mengelilingi sebuah lapangan terbuka di tengah desa.

Karena ada sembilan klan di kampung ini maka terdapat sembilan pasang Ngadu dan Bagha. Pada dasarnya masyarakat Bena (sejak dahulu) sudah menganggap bahwa gunung, batu, hewan-hewan (anjing, babi, dll) harus dihormati sebagai makhluk hidup. Seperti Gunung Surulaki yang dianggap sebagai hak bapa, dan Gunung Inerie sebagai hak mama.



(tulisan ini berdasarkan pengalaman sendiri dan beberapa tulisan dan artikel di internet yang terkait)
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 27 Oktober 2008

Oenesu: Panorama Sejuk di Tengah Teriknya Kupang

Menyebut Oenesu bagi orang Kupang berarti sebuah tempat yang menawarkan suasana untuk bersantai dengan udara yang segar. Sebagai salah satu dari sedikit air terjun yang ada di Kupang, tempat wisata air terjun Oenesu menjadi salah satu pemberhentian sejenak bagi warga Kupang yang ingin mereguk segarnya hawa yang ditawarkan tempat yang masih asri ini.

Perhatikan saja, pada hari Sabtu atau Minggu biasanya rombongan muda-mudi atau keluarga banyak yang mendatangi tempat ini jauh dibanding hari-hari lainnya. Air terjun ini berjarak kurang lebih 17 km dari Kota Kupang dan jalan menuju tempat ini bisa dibilang cukup baik. Aku sendiri tidak mengalami masalah sama sekali menggunakan kendaraan sedan menuju ke tempat ini. Memang sempat muncul kekhawatiran terutama saat melewati jembatan kayu di pertangahan jalan masuk untuk sampai ke lokasi ini.

Justru yang belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pengelola tempat ini adalah kondisi jalan dan penataan di lokasi wisata ini. Jalan yang masih berupa jalan tanah berbatu-batu serta tidak adanya tempat parkir kadang membuat tempat ini tampak semrawut dengan mobil dan motor yang diparkir semaunya (update: fasilitas telah diperbaiki oleh pemerintah daerah).

Begitu sampai di lokasi maka anda akan disambut dengan genangan air yang merupakan bagian atas air terjun. Debit air terjun ini cukup stabil, pada musim kering sekalipun debit air masih lumayan dapat dinikmati. Foto-foto di atas diambil pada bulan Oktober, masuk bulan-bulan yang kering dan panas yang menyengat.

Debit pada musim hujan tentu akan lebih besar, mungkin bisa dua kali lipat di banding musim panas. Pada saat itu jika kita tepat di bawah air terjun suara deru air terjun seakan menenggelamkan suara kita sendiri. Jangan heran kalau kita sering mendengar teriakan-teriakan dan suara tertawa yang cukup dari pengunjung yang menikmati air terjun ini.
>br /> Sampai di lokasi, ada dua jalur yang dapat dipakai untuk turun menikmati air terjun ini. Sebelah kiri lokasi terdapat jalan menurun yang cukup terjal yang akan membawa anda ke sebuah jembatan jauh di bawah air terjun utama. Dari jembatan yang masih baru ini (saat tulisan ini dibuat), anda bisa melihat beberapa tingkat air terjun.

Jalur lain dapat anda coba melalui jembatan kayu. Jembatan ini sebenarnya cukup membahayakan terutama untuk anak-anak karena kayu tidak terpasang menutup semua ruasnya. Jika tidak hati-hati anda dapat terperosok. Jaga anak-anak anda sewaktu melewati jembatan ini. Setelah itu anda harus menuruni anak tangga yang lagi-lagi curam, itupun kondisi anak tangganya tidak rata. Ini juga saya ingatkan kembali pada anda untuk berhati-hati.

Membawa bekal waktu saat turun ke bawah sangat disarankan karena naik turun untuk mengambil makanan ke atas sangat melelahkan. Namun sesampai di bawah, pemandangan air terjun seakan membilas rasa penat anda. Jangan takut batuan di tempat ini tidak licin, karena airnya yang mengandung kapur cukup tinggi (ciri khas air di Kupang) maka batu jadi terasa kesat. Suasana yang rindang karena banyak pohon-pohon besar tumbuh di sekitar air terjun. Ini masih ditambah dengan suitan-suitan burung yang sering terdengar nyaring dari balik pepohonan. Anda bisa langsung memilih berendam di salah satu anakan air terjun atau memilih menelusuri ke bawah. Gerak tarian air terjun membentuk alur-alur yang unik, hati-hati karena beberapa cekungan tingkat air ini ada yang dalam.

Andapun bisa sekedar membentangkan tikar dan bermalas-malasan menikmati sejuknya hawa serta deru suara air terjun. Keriangan suara pengunjung seakan mengajak anda ikut riang.

Sayang sarana lain sangat minim di tempat ini. Tempat sampah yang harusnya tersedia menjadi barang langka kalau tidak saya sebut tidak ada sama sekali sehingga tak heran pengunjung membuang sampah semaunya. Toilet dan kamar ganti juga tidak tersedia, anda harus ke rumah pemilik warung satu-satunya yang ada di tempat ini untuk sekedar buang air. Tempat makan atau tempat bersantai juga minim. Memang disediakan beberapa lopo namun jumlah tempat makan yang sedikit akan menyulitkan orang yang tidak ingin repot-repot saat berwisata.

Semua potensi ini seharusnya bisa mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pengembangan wisata di lokasi ini. Penataan dan pemeliharaan tempat ini dengan melibatkan partisipasi masyarakat akan dapat memberikan andil dalam menyumbang PAD pemerintah Kupang, tentu saja bila hal ini diseriusi.

Beberapa situs yang juga menulis tentang tempat wisata ini:
1. Harian Sinar Harapan: Mengintip Air Terjun Oenesu dan Pantai Lasiana
2. Portal CBN: Sejuk Dan Segarnya Oenesu
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya