Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label wisata budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisata budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Desember 2020

Kala Senja Kalamata


Seorang bapak berbaju putih sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Daun-daun kering yang jatuh dari pohon berserakan di halaman rumput juga di sepanjang paving block jalan setapak.
"Pak loket tiket masuk dimana?" Tanyaku.
"Silahkan langsung masuk, Isi buku tamu saja!" Jawabnya.
Aku segera menuju komplek Benteng. Di ujung jalan setapak seorang pria memakai topi coklat, berbaju biru sibuk memotret sekeliling benteng. Wah keduluan, gumamku. 

Yowes aku langsung masuk ke dalam benteng motret-motret juga. Hhmm aku agak bingung memotret sudutnya karena dari segi arsitektur benteng ini berbentuk segi empat yang tidak beraturan (triangulasi) dengan 4 sudut yang ujungnya meruncing dan memiliki ceruk bidik (embrasure) di masing-masing bastion. Ketebalan dinding benteng 60 centimeter dan tingginya 3 meter. Dindingnya tersusun dari batu andesit dan batu karang yang direkatkan dengan memakai Kalero, sejenis kapur yang dihasilkan dari pembakaran batu karang. Kapur tersebut dicampur dengan pasir dan air rendaman kulit pohon Lubiri. 

Aku memanjat dinding benteng untuk melihat lebih jelas sekelilingnya. Benar juga Benteng ini berbentuk penyu kalau dilihat dari atas dan sekilas mirip benteng yang ada di Pulau Bandaneira. Dua bastion yang menjorok ke laut untuk menghalau serangan laut dari kapal musuh. Sementara dua bastion yang lain untuk menghadang serangan dari darat. Ujung bastion yang didarat ini lebih tinggi daripada yang menjorok laut jadi pemandangannya lebih jelas. Pulau Maitara dan Pulau Tidore terlihat sebagai latar belakang yang menawan. Suasana disini tidak seramai Benteng Tolukko, aku jadi lebih tenang memotret. Tidak lupa foto-foto narsis di sini. Mumpung background cakep hehehe. 

Ternate Pulau kecil yang dipenuhi benteng. Pulau ini di masa lalu sebagai pusat rempah-rempah yang menjadi incaran bangsa Eropa. Benteng Kalamata adalah benteng ketiga yang aku kunjungi. Berlokasi di Kayu Merah, Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara. 

Benteng Kalamata dikenal juga sebagai Benteng Kayu Merah karena terletak di daerah Kayu Merah. Benteng ini pertama kali dibangun oleh bangsa Portugis bernama Fransisco Serao atas gagasan Antonio Pigafeta tahun 1540 dan diberi nama Benteng Santa Lucia. Keinginan Portugis meluaskan kekuasaannya dan monopoli perdagangan mengalami benturan dengan Sultan Baabullah. Pada tahun 1575 Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keadaan tersebut dimanfaatkan Spanyol, Benteng Santa Lucia dikuasai dan dijadikan sebagai pos perdagangan dan pos pertahanan. 

Namun itu tidak berlangsung lama, pada tanggal 29 April 1798 Benteng berhasil direbut Kaicil Nuku, Sultan Tidore ke-19 dibantu armada Inggris. Kaicil Nuku dikhianati Inggris sehingga benteng itu berhasil dikuasai dari tahun 1801 sampai tahun 1810 saat Belanda mengambil alih. Belanda mengganti namanya dari Santa Lucia menjadi Kalamata, mengambil nama dari Kaicil Kalamata seorang Pangeran Ternate, kakak Sultan Mandarsyah dan paman dari Sultan Kaicil Sibori Amsterdam. Kaicil Kalamata disebutkan dalam sejarah mengabdi pada Sultan Hasanuddin di Kerajaan Gowa. 


 

Perlahan matahari mulai condong ke barat dan aku harus pergi meninggalkan senja di Kalamata. 

Well, wherever you go becomes a part of you somehow - Anita Desai. 

Foto/tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 23 Oktober 2020

Yuk Kepo-in Museum Negeri NTB



"Saya terakhir ke museum waktu masih sekolah SD!" Ujar Pak Imam, driver yang mengantar kami, saat aku bilang padanya rute selanjutnya. Entah dia terkejut atau exciting karena kami minta diantar ke museum. Jadi selepas mengunjungi Pantai Ampenan, kendaraan kami pun melaju ke Museum Negeri Nusa Tenggara Barat.
 

Seperti apa kata Pak Imam, sampai di tujuan aku melihat banyak anak-anak sekolah dasar berpakaian bebas di teras. Wah senangnya ketemu seumuranku. Aku juga masih imut-imut seperti anak SD lho. Uuhuuuyy. Jangan lupa segera membeli tiket masuk dan mengisi buku tamu. Seorang bapak pengurus museum yang ramah menghampiri sebagai pemandu kami. 

Di depan pintu masuk ada display pigura berisi kain tenunan khas Lombok yang dibubuhi tulisan dan tanda tangan dari para tamu kehormatan. Salah satunya dari Putri Maha Cakri Sirindhorn Kerajaan Thailand yang pernah datang berkunjung di tahun 2016. Beliau seorang profesor antropologi wajar sangat peduli dengan sejarah budaya. Dari berita media elektronik yang sempat aku lihat, Putri Maha Cakri Sirindhorn setelah menyaksikan gerhana matahari di Pulau Ternate, Maluku Utara, beliau melanjutkan mengunjungi Pulau Lombok. Kok hampir sama ya, aku juga setelah dari Ternate tahun 2017 pergi ke Lombok tahun 2019. Perjalananku seperti napak tilas perjalanan Sang Putri Thailand.  








Di ruang depan, saat menoleh ke kiri pandanganku langsung tertuju pada dua maket gunung. Maket itu menggambarkan penampakan Gunung Rinjani dan Gunung Tambora yang tersohor itu. Siapa yang tidak tahu Gunung Rinjani? Gunung yang memiliki kawah cantik Segara Anakan lengkap dengan mitos yang menggetarkan nyali dan menjadi salah satu destinasi idaman para pendaki di Indonesia untuk ditaklukkan. Ada lagi Gunung Tambora. Gunung yang terkenal kedasyatan erupsinya hingga melenyapkan tiga kerajaan pada masa itu (Kerajaan Tambora, Kerajaan Panetek, Kerajaan Sanggar). Erupsinya menyebabkan Benua Amerika dan Eropa mengalami musim dingin yang panjang, tahun tanpa musim panas yang menyebabkan gagal panen dan bencana kelaparan.
 

Di sebelah kanan ada seekor buaya berukuran besar yang telah diawetkan. Buaya muara dari Dompu, Sumbawa dengan panjang mencapai empat meter dan lebar hampir satu meter. Buaya tersebut ditangkap pada tahun 2010, kemudian diawetkan dan diserahkan ke museum. 

Ruang penghubung di antara ruangan depan dengan ruangan belakang museum di sisi kiri terdapat Nekara yang sudah tidak utuh. Sedangkan di seberang kanan terdapat maket Candi Borobudur. 

Di ruang belakang yang lebih luas dipajang koleksi kostum pernikahan dari kelompok etnis Sasak, Samawa dan Mbojo. Di sebelahnya tampak Jaran Kamput, Kuda kayu yang dinaiki anak-anak yang telah dikhitan untuk diarak keliling kampung. Terlihat tiga orang anak tampak serius menulis di dinding kaca display. 

Ada alat menenun lengkap dengan kain hasil tenunannya. Daun Lontar beserta alat pengukir/pemahat daunnya. Wah, ada Kitab Cerita Angling Dharma yang ditulis aksara pegon (aksara arab berbahasa jawa). Beberapa fosil, koin kolonial Portugis, Spanyol dan Belanda, serta senjata tradisional Kesultanan Bima. Sayang aku tidak bisa memasuki ruang emas karena terkunci. Aku hanya bisa mengintip disela-sela kaca. Tampak topi kopiah yang terbuat dari emas sebagai mahkota Sultan Bima. 

Sebuah tarikan yang kuat membuatku menghampiri koleksi topeng-topeng kuno itu. Hhmm wajah yang terpahat ditopeng begitu hidup. Begitu pula dengan benda-benda penolak bala, pakaian sang spiritualis bernuansa magis. Entah mengapa aku tertarik memperhatikannya lebih lama. Mungkin kehidupanku yang telah lalu adalah seorang penyihir hahaha. 

Setelah puas keliling melihat-lihat isi di dalamnya, aku bertanya pada bapak pengurus museum yang sabar mengiringi kami. 

"Menurut bapak, koleksi andalan utama museum ini apa, Pak?" tanyaku.
"Untuk sementara belum ada. Belum ada koleksi khusus yang menjadi andalan museum ini" jawab pengurus museum.

"Sayang sekali sebenarnya lontar-lontar yang banyak itu bisa jadi koleksi andalan museum ini lho, Pak!" saranku.
 

Buat anda yang ingin mengunjungi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat lokasinya ada di Jalan Panji Tilar Negara No.6, Taman Sari, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat 83117. Dengan areal seluas 8.613 m2 dan luas bangunan 3.160 m2, museum ini memiliki koleksi hampir mencapai 8.000 buah berupa koleksi sejarah, biological, geologist, arkeologi, filologi, numistik, heraldik, budaya dan keramik. Diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef pada tanggal 23 Januari 1982. 

 

Museum Negeri tak hanya menyimpan benda-benda bersejarah, ada beberapa koleksi museum yang dipercaya oleh masyarakat memiliki kekuatan ghaib. Benda penolak roh halus, pengusir roh jahat, serta penangkal petir menjadi bagian dari koleksi yang dapat anda lihat ketika berkunjung juga ke museum negeri. Museum dibuka setiap hari kecuali hari Senin mulai pukul 08:00 WITA. 

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 01 April 2020

Memecah Keheningan Candi Sumberawan

Kicauan burung bersahutan saat aku menapaki jalan setapak menuju candi. Barisan pohon pinus masih lebat tersisa di sini. Setelah meniti jembatan yang melintang di atas sebuah kali kecil tibalah aku di gerbang Candi. Bau harum bunga melati tercium sama ketika aku memasuki gerbangnya. Aneh aku tidak melihat Bunga Melati ataupun dupa disini. Jadi wangi ini dari mana asalnya?


Aku melewati pos pengurus candi yang ada di dalam komplek Candi ini. Dari sini terlihat tumpukan batu-batu dan stupa Candi di kejauhan. Batu reruntuhan candi yang satu tertumpuk dan yang lain tersusun seperti tempat semedi/meditasi berikut cupu untuk dupa.

Sesosok pria memakai jaket berwarna merah dan putih menancapkan dupa di sebuah cupu. Seketika aroma dupa menebar aura mistik. Dia duduk bersilang kaki dengan kedua telapak tangan, ujung jari jempol dan jari telunjuk saling bersentuhan, dan jemari yang lain saling merangkai. Matanya terpejam. Gerakan menghirup udara dari hidung dan melepaskannya perlahan kurang lebih lima belas menit untuk mengheningkan cipta. Tenang dan damai terpancar dari wajahnya. Suasana Candi di pagi hari yang sepi menambah kekhusyukannya.

Agar tidak menggangu meditasinya aku bergegas naik ke stupa Candi. Stupanya mirip dengan stupa tertinggi Borobudur. Stupa polos tanpa relief pahatan pada dinding candi melambangkan "suwung", kosong, hening, puncak dari semedi/meditasi. Memang candi ini biasa digunakan untuk bertapa semedi. Sayang bagian ujung stupanya tidak ada. Mungkin hilang atau telah lapuk dimakan usia.

Di seberang stupa ada sebuah sendhang atau kolam yang mata airnya keluar dari dalam tanah. Pohon-pohon yang rindang dengan dahan ranting yang bergelayutan mengelilingi sendhang itu. Menambah kesan wingit area ini.


Ada sudut yang menarik perhatianku. Seperti ada tarikan energi dibalik pagar tembok itu. Benar saja ternyata ada sumber air yang disucikan di tempat ini. Ketika aku mau masuk, seekor kupu-kupu putih terbang mengitariku. Mungkinkah ucapan selamat datang dari makhluk kecil itu?

Mata air jernih yang menyembul dari sela-sela batu membuatku ingin membasuh wajah dan mencicipi airnya. Tak lupa sebelum menyentuh atau mengambil airnya kita berdoa dan meminta ijin pada Yang Maha Kuasa.


Konon Candi Sumberawan adalah petilasan dan tempat moksa Mpu Purwa, ayah dari Ratu Ken Dedes dari Kerajaan Tumapel/Singosari. Moksa adalah meleburnya raga dan roh kepada elemen alam semesta untuk bersatu dengan pemilik hidup, Tuhan Yang Maha Esa.



Candi Sumberawan ini berlokasi di Desa Toyomarto  Kecamatan Singosari, Malang, Jawa Timur. Diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Singosari oleh Raja Kertanegara. Kemudian dipugar oleh Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang datang berziarah, sebagaimana disebutkan dalam Negarakertagama 1359 M. Dalam Negarakertagama disebutkan tempat yang bernama "Kasuranggan"  yang berarti taman tempat para dewi/bidadari. Hhhmm pantas aku mencium semerbak bunga melati ketika masuk gerbang candi, ternyata itu wangi dari para bidadari. Baik Raja Kertanegara dan Raja Hayam Wuruk adalah keturunan Ratu Ken Dedes yang juga keturunan Mpu Purwa.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 12 September 2019

Singgah ke Sade

Gerbang masuk Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

"Terimakasih atas kunjungannya!", ucap Pak Mesah usai mengantar kami keliling dusun. Aku bergegas menuju Bandar udara untuk kembali ke Jakarta.

Mengunjungi Lombok rasanya tidak lengkap bila tidak ke Dusun Sade. Sade adalah salah satu Dusun di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Berlokasi di pinggir jalan raya yang hanya berjarak 13 km atau sekitar 30 menit ke arah Bandar Udara Praya. Dusun ini masih mempertahankan Adat Suku Sasak. Mereka memegang teguh tradisi sejak pemerintahan Kerajaan Pejanggik di Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Diperkirakan dusun ini ada sejak tahun 1907, dihuni kurang lebih 150 kepala keluarga dan telah 15 generasi berlangsung.


Rumha Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Setelah mengisi buku tamu, kami diajak keliling dusun mengunjungi salah satu rumah penduduk. Bangunan rumah mirip dengan Joglo, rumah Adat Khas Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Rumah adat ini bernama Dalam Bale Tani.Rumah perpaduan bilik dinding bambu dan pintu dari kayu yang menyangga rumah. Pintunya terlihat pendek dan kecil. Menurut penuturannya, ketika kita masuk rumah dengan menundukkan kepala untuk menghormati tuan rumah. 


Dalam rumah di Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Ruangan depan/ Bale Luar sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur laki-laki. Bale dalam diperuntukkan sebagai tempat tidur perempuan dan juga tempat melahirkan. Menuju Bale dalam kita akan menaiki tiga anak tangga yang mencerminkan tahapan-tahapan kehidupan. Tangga pertama, kelahiran. Tangga kedua, berkembang sebagai manusia. Tangga ketiga, tahap akhir atau kematian.

Atapnya terbuat dari alang-alang kering yang tersusun padat dan rapi. Tiap lima atau limabelas tahun sekali alang-alang keringnya diganti. Lantai dari tanah liat. Seminggu sekali lantai tanah dibersihkan dengan kotoran kerbau sebagai upaya mencegah nyamuk/serangga dan menjaga rumah agar tetap hangat.

Berpose Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

Masjid yang bersedia hanya digunakan untuk tiga waktu sholat, karena penduduk Dusun Sade menganut "wetu tilu". Ada delapan bentuk bangunan di dusun ini, yaitu Bale Tani, Jajar Sekeran, Benter, Beleq, Berugak, Tajuk, Bencingah, Lumbung.


Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara BaratLumbung padi berbentuk lengkung terbuat dari kayu atau anyaman bambu. Disangga tiang kayu beratap alang-alang. Ada jendela kecil diatas yang berfungsi sebagai pintu masuk lumbung. Lumbung terbagi menjadi dua bagian. Bagian Atas tempat penyimpanan padi/gabah. Bagian bawah sebagai bale tempat duduk dan berkumpul. Lumbung padi hanya boleh dimasuki oleh orang yang telah kawin, menikah. 

Di kanan-kiri jalan setapak berjajar rumah-rumah penduduk yang juga menjual bermacam cenderamata, kerajinan khas Lombok, berupa kain tenun, syal, ikat kepala, topi anyaman, gelang, kalung dengan warna-warna yang cerah. Ibu-ibu sibuk menenun benang-benang agar menjadi kain.

Sejak usia sembilan tahun seorang gadis harus belajar menenun. Seorang gadis tidak boleh menikah kalau tidak bisa menenun, karena hasil tenunannya akan diberikan kepada suaminya kelak. Di sudut jalan depan rumah, tampak seorang nenek sedang menumbuk biji-biji kopi dengan alu. Hhmm harum wangi kopi menyegarkan. Aku jadi ingin membeli kopi khas Sasak ini.

Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Salah satu keunikkan Dusun Sade yaitu tradisi kawin culik. Kawin culik adalah tradisi pernikahan yang dilakukan pihak laki-laki dengan menculik perempuan calon istrinya tanpa sepengetahuan keluarga pihak perempuan. Setelah pihak laki-laki mengungkapkan isi hatinya kepada keluarga pihak perempuan, maka diadakan pernikahan dengan membawa calon pengantin perempuan kembali ke rumahnya.

Prosesi arak-arakkan pengantin disebut "Nyongkolan". Setelah acara Nyongkolan mereka akan menempati sebuah rumah kecil yang disebut Bale kodong sebagai tempat bulan madu. Kebetulan aku sempat melihat acara Adat Nyongkolan di jalan arah ke Sukarara. Wah meriah banget!

"Ini adalah pohon janji!" ujar Pak Mesah sambil menunjukkan sebuah pohon yang meranggas dan hanya tersisa batang, cabang ranting tanpa dedaunan. Biasanya pohon ini digunakan sepasang kekasih yang berjanji bertemu saat tradisi kawin culik. So sweet, aku rela diculik aahhaayyy!

Foto dan tulisan oleh Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 09 Agustus 2019

Melati Untuk Anusapati

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Harum wangi Bunga Melati tercium ketika aku memasuki komplek Candi Kidal. Tumbuhan Melati menghiasi di kanan kiri sepanjang jalan setapak. Mewarnai suasana pagi yang cerah nan indah.


Candi Kidal Malang Jawa TimurPengurus candi tampak sedang menyirami rumput dan tanaman. Beliau tersenyum ramah saat aku menghampirinya.  Seorang perempuan berbaju batik merah marun dan berkerudung coklat. Menurut penuturan beliau, Ibu Siti Romlah selaku pengurus candi, Raja Anusapati suka dengan Bunga Melati. Pantaslah hampir seluruh komplek taman Candi Kidal ditanami Bunga Melati.

Mataku tertuju pada kain putih yang terhampar memanjang disepanjang undakan Candi. Sebuah pemandangan yang jarang kulihat. Ternyata kain putih itu dipasang saat ada acara Ruwatan Murwakala Malang beberapa hari yang lalu. Masih tersisa kembang, daun pisang dan dupa di dalam kubah Candi. Sepertinya aku datang pada waktu yang tepat. Saat Candi telah diruwat dan dibersihkan dari hal-hal negatif yang buruk.

Candi setinggi kurang lebih 12 meter ini mempunyai struktur bangunan berundak yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian kaki ( Upapitha) disebut Bhurloka yang menggambarkan alam atau dunia manusia. Bagian badan (Vimana) disebut Bwahloka yang menggambarkan alam antara atau alam langit. Bagian puncak (Cikhara) disebut Swahloka yang merupakan alam surgawi atau kahyangan para dewa.

Aku berjalan mengelilingi candi. Membaca relief-relief yang tergurat di dinding Candi. Bila di Candi Borobudur membaca relief dengan mengkanankan candi, Pradaksina, tetapi di Candi Kidal membaca relief dengan berlawanan arah jarum jam, Prasawiya. 

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Terdapat tiga relief utama yang terpahat pada dinding candi. Relief Garudeya yang sedang melayani para naga, Garudeya membawa guci air amerta dan Garudeya menggendong ibunya, Dewi Winata. Disamping itu relief Kala Makara di atas pintu candi.

Kisah Garudeya bermula dari persaingan antara kakak beradik Dewi Kadru dan Dewi Winata yang menjadi istri Resi Kasyapa. Mereka berselisih mengenai warna Kuda Ucchaisswara yang muncul dari dalam samudera purba. Dewi Kadru menebak warna hitam, sedangkan Dewi Winata menebak warna putih. Sengitnya perselisihan itu membuat mereka bersepakat untuk bertaruh. Barangsiapa yang tebakannya salah dan kalah akan menjadi budak bagi yang menang.

Para Naga yang menjadi anak Dewi Kadru memberitahu ibunya kalau sebenarnya warna kuda Ucchaisswara putih yang berarti tebakan Dewi Winata benar. Tetapi Dewi Kadru bersiasat dengan menyuruh anak-anaknya untuk menyembur dengan racun bisanya agar merubah warna kuda tersebut. Akhirnya para naga berhasil merubah warna kuda Ucchaisswara menjadi hitam yang berarti Dewi Kadru pemenangnya dan Dewi Winata beserta Garudeya menjadi budak mereka.

Garudeya berusaha membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru. Para naga meminta syarat Garudeya harus mendapatkan air amerta yang dimiliki para dewa. Garudeya mencari air amerta dan bertemu Dewa Wishnu. Dewa Wishnu bersedia membantu dan minta agar Garudeya bersedia menjadi wahananya/kendaraannya. Air amerta yang didapat dimasukkan ke dalam guci. Di dalamnya diberi rumput ilalang. Garudeya berpesan kepada para naga harus bersuci dengan mandi terlebih dahulu. Saat para naga sedang mandi, air amerta diambil oleh Dewa Indra. Sisa air yang tercecer dirumput ilalang dijilati para naga hingga membuat lidah mereka terbelah dua. Akhirnya Garudeya berhasil membawa pergi ibunya, Dewi Winata dan membebaskannya dari perbudakan Dewi Kadru.

Candi Kidal Malang Jawa Timur Candi Kidal Malang Jawa Timur

Candi Kidal berlokasi di Jalan Raya Tumpang - Malang tepatnya Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.  Kidal mempunyai arti "kiri" dan istilah keduanya berarti "selatan" dari kata "kidul". Mungkin karena letak candi tersebut  berada di selatan-kiri (tenggara) dari Kerajaan Singosari yang terletak disebelah utara.

Candi Kidal adalah pedharmaan Raja Anusapati, Raja kedua Kerajaan Singosari yang bertahta tahun 1227-1248. Stana dibuat sebagai penghormatan kepada sang raja setelah mangkat. Candi Kidal merupakan tempat Abu jenasah Raja Anusapati, diruwat dan dimuliakan sebagai Siwa. Sayang Patung Siwa sudah tidak ada di candi ini. Patung Siwa tersebut sekarang tersimpan di Museum Leiden Belanda.

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Tokoh cerita Garudeya dan Dewi Winata yang terpahat di dinding Candi Kidal adalah penggambaran kisah hidup Raja Anusapati dan ibunya, Ken Dedes. Berawal dari Anusapati yang tidak tahan tiap hari mendengar tangisan kesedihan ibunya, Ken Dedes. Kesedihan Ken Dedes karena Sang Rajasa, Ken Angrok menikahi perempuan lain (Ken Umang) dan lebih menyayanginya. Ken Dedes pun pergi dari Kedhaton dan kembali ke kampung halamannya.

Anusapati menganggap Sang Rajasa adalah penyebab kesedihan ibunya yang harus dilenyapkan. Sungguh Anusapati tidak tega pada ibunya, Ken Dedes yang sangat dicintainya. Sosok perempuan yang cantik jelita dan wangi tubuhnya tetapi nestapa hidupnya. Anusapati bertujuan meruwat ibunya agar terbebas dari kesengsaraan dan kembali menjadi perempuan utama yang sempurna.


Entah karena terbawa cerita Raja Anusapati dan Ken Dedes itu, setelah aku mengunjungi Candi Kidal, malamnya aku bermimpi aneh. Dalam mimpi itu aku bertemu sesosok pria gagah bertelanjang dada dengan rambut yang digelung keatas. Sorot matanya tajam. Raut wajahnya terlihat kuat dan tegas. Siapakah dia? Raja Anusapati kah?



Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Maret 2018

Huta Siallagan, Tradisi Kanibal yang telah punah

Huta Siallagan

"Orang Batak suaranya keras tetapi hatinya lembut", tutur Pak Roy Siallagan, guna mencairkan suasana ketika aku baru datang. Beliau adalah Pemandu Wisata yang menyambut dan mengawalku dari pintu masuk Huta. Aku tersenyum mendengarnya. Beliau bermarga Siallagan, penanda masih keturunan para Raja Siallagan. 

Rumah adat Huta Siallagan
Begitu memasuki Huta disebelah kiri disambut dengan Rumah Bolon (rumah raja) dan Sopo (lumbung padi).  Terlihat ramai turis Oma dan Opa dari Belanda telah lebih dahulu memasuki huta. Rumah Bolon, rumah contoh Adat Batak. Di dalamnya ada tungku api batu, perkakas memasak yang terbuat dari tanah liat, alat pemintal benang, alat menenun Kain Ulos, beberapa lembaran Kain Ulos yang digantung.

Tempat duduk Huta Siallagan
Batu Parsidangan berada di Pusat Huta dibawah Pohon Hariara, dianggap sebagai pohon suci Suku Batak. Akar-akar pohon Hariara yang besar dan kuat seperti menopang Batu Parsidangan yang diperkirakan berumur 200 tahun lebih.  Pak Roy bergegas mempersilahkan aku ke situs batu parsidangan set pertama. Akupun duduk di kursi yang terlihat lebih besar, ternyata itu kursi untuk raja. Aku pun duduk di singgasana layaknya seorang raja dan mendengarkan penjelasan panglimanya hehehe.

Batu Parsidangan Set yang pertama berupa kursi untuk Raja, Ratu, Tetua Adat, Pemimpin Huta, Tetangga, Tamu Undangan, Pemimpin Spiritual/Dukun. Persidangan akan digelar Raja bila ada kasus yang besar dan berat hukumannya. Terdakwa biasanya seorang musuh, pengkhianat, pembunuh, perampok dan pemerkosa.

Tempat memancung di Huta Siallagan
Batu Parsidangan Set yang kedua berupa kursi untuk Raja, Meja Batu, Tempat Eksekusi. Setelah ditetapkan hukuman kepada terdakwa berupa hukuman mati. Terdakwa akan digeledah di atas meja batu sebelum digiring ke tempat eksekusi. Dukun/pemimpin spiritual akan memeriksa bilamana terdakwa memiliki jimat-jimat atau ilmu kekebalan yang harus dimusnahkan. Kemudian rekontruksi pelaksanaan eksekusi dimulai, mata terdakwa ditutup kain dan Sang Algojo membawa parang yang sangat tajam akan memancung kepala terdakwa dengan sekali tebasan. Jasad terdakwa pun diambil jantungnya dan dimakan oleh Raja untuk menambah energi kesaktian Sang Raja. Agak ngeri mendengarnya.

Narsis di Huta Siallagan
Huta Siallagan berlokasi di Ambarita, Desa Siallagan-Pindaraya, Simanindo, Samosir, Sumatera Utara. Huta berarti Perkampungan sebagai rumah dari suku bangsa Siallagan. Marga Siallagan keturunan dari Raja Naiambaton garis keturunan dari Isumbaon anak kedua Raja Batak. Raja Pertama Raja Laga Siallagan. Raja Hendrik Siallagan mempunyai keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Keturunan Raja Siallagan masih tinggal di kampung Ambarita dekat dengan Makam leluhur. Huta Siallagan dengan total area 2,400 dengan batu yang mengelilinginya sebagai benteng sekitar 1,5 - 2 ton beratnya. Pepohonan bambu yang mengelilinginya sebagai pertahanan dari binatang buas dan musuh yang menyerang.

Danau Toba
Dalam perjalananku menuju Huta Siallagan ini, langkahku sempat terhenti di sebuah sisi danau. Merasakan angin semilir menerpa wajah. Menghirup udara pagi yang segar dengan bau rumput dan tanaman hijau yang khas menyegarkan. Terlihat Kapal yang berasal dari Dermaga Ajibata mengarungi danau menuju Dermaga Tomok. Langit biru dengan selaput awan tipis menaungi Danau Toba, berpadu perbukitan hijau yang mengelilinginya tampak begitu cantik.  

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 01 Desember 2017

Memuja Sang Dewi Danu di Ulun Danu Beratan


Aku singgah di Strawberry Farm Restaurant untuk istirahat setelah mengarungi lautan macet. Mungkin karena kunjunganku ini bertepatan dengan libur panjang 4 (empat) hari jadi akses jalan padat dimana-mana. Ice Coffee Latte dan Jus Stroberi yang segar dan mantap telah menuntaskan dahagaku. Aku pun semakin bersemangat melanjutkan perjalanan ke Pura Ulun Danu Beratan.


Begitu memasuki kawasan pura ini, disambut dengan pepohonan Pinus, Palem dan bunga-bunga Jepun atau Bunga Kamboja yang menghiasi taman dengan jalan setapak yang membelah menuju gerbang danau. Di depanku Turis Asing seorang Ibu dengan anak perempuannya yang menginjak remaja. Dari percakapan yang aku dengar, mereka dari negerinya Vladimir Putin, Rusia. Aku memang suka curious alias kepo kalau ada orang Rusia sedang berbicara. Anggap saja aku sedang berada di Laboratorium Bahasa Rusia, Bahasa yang pernah aku pelajari beberapa tahun yang lalu.

Obyek wisata Ulun Danu Beratan berlokasi di daerah Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti,  Kabupaten Tabanan, Bali. Sekitar 56 (limapuluh enam) Kilometer dari Kota Denpasar. Berada di tepi jalan provinsi arah Bedugul. Terletak pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Dikenal sebagai danau "Gunung Suci".

Berdasar Babad Mengwi, Ulun Danu dibangun oleh Raja I Gusti Agung Putu/ I Gusti Agung Sakti dari Kerajaan Mengwi sebelum tahun Saka 1556 ( tahun 1643 Masehi). Pura ini digunakan untuk persembahan sebagai penghormatan kepada Dewi Danu, Dewi air, danau dan sungai.

Komplek Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari 5 (lima) pura dan 1 (satu) Stupa Buddha. Pura Penataran Agung, Pura Dalem Purwa, Pura Taman Beji Ngebejiang, Pura Lingga Petak, Pura Prajapati dan Stupa Buddha yang dibangun sebagai wujud toleransi bagi pemeluk agama Buddha.

 

Oohh ternyata sedang ada upacara di Bale Panjang Pura Dalem Purwa untuk penghormatan kepada arwah para leluhur. Pantas saja Ulun Danu Beratan tampak dipadati penduduk sekitar. Mereka berpakaian adat berupa Kebaya, Beskap, Kain, Ikat kepala dan Ikat Pinggang khas Bali yang didominasi warna Putih dan Kuning Emas. Sambil menangkupkan dua telapak tangan di atas kepala, mereka tampak khidmat melaksanakan ritual yang dipimpin seorang Pedanda.

Nah, ini yang aku cari, spot gambar lembaran uang Limapuluh Ribu Rupiah. Coba cek yang punya lembaran uang Rp.50.000, di situ terlihat gambar Pura Lingga Petak atau lebih dikenal sebagai Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini memiliki dua Pelinggih yaitu, Pelinggih Meru Tumpang Solas dan Pelinggih Tumpang Telu. Disini terdapat sumur suci dan keramat yang menyimpan Tirta Ulun Danu (Air Suci Ulun Danu). Wisatawan dianggap belum pernah ke Bali kalau belum ke tempat ini, karena Pura Ulun Danu Beratan adalah ikon wisata Bali.

Cuaca mendung dan berkabut tidak menghalangi para wisatawan untuk berpose di ikon wisata Ulun Danu Beratan. Memang harus ekstra sabar antri untuk bisa berfoto di ikon ini. Akhirnya aku pun bisa berfoto sambil memamerkan lembaran uang Lima Puluh Ribu Rupiah-ku. Aseeekk!

Bagi pengunjung yang ingin mengarungi danau, pengelola obyek wisata menyediakan Perahu berbentuk Bebek dan Angsa yang bisa disewa perjam-nya. Kios-kios yang menjual Cenderamata/souvenir berjajar di pintu keluar obyek wisata, bersebelahan dengan parkiran. Aku sempat membeli celana kain Merah khas Bali favorite-ku.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 05 November 2017

Pura Candi Gunung Kawi, Lembah Para Raja

Gunung Kawi Ubud Gianyar
Dinding batu dengan lima pahatan candi
"Be careful, Honey!", suara perempuan terdengar dibelakangku. Ketika aku menoleh ternyata turis asing sedang menasehati anaknya pada jarak tiga anak tangga dariku. Seorang ibu muda dengan balita laki-laki yang berumur kira-kira 3 tahun. Balita berkaos putih, celana biru, dengan mata jernih dan berambut pirang, terlihat begitu mandiri menuruni anak tangga sambil diawasi ibunya. How cute adorable! 


Gunung Kawi Ubud Gianyar
Sungai Pakerisan Gunung Kawi
Aku pun melanjutkan menuruni ratusan anak tangga memasuki lembah Sungai Pakerisan. Melepaskan pandangan ke kanan hamparan hijau persawahan berundak-undak begitu cantik dengan sistem pengairan Subak. Sebuah Cakruk atau gubuk berada ditepi sawah sebagai tempat istirahat bersantai petani maupun turis. Di sisi kiri kios-kios berjajar menjual cenderamata dan oleh-oleh.


Jalan semakin menurun, anak tangga diapit dinding tebing di kanan kirinya. Seperti lorong yang berakhir di pintu gerbang masuk. Setelah aku melewati pintu gerbang tampak sebuah jembatan membelah Sungai Pakerisan. Jembatan ini menghubungkan kita dengan Gugusan Lima Candi yang berada di tebing sebelah timur Sungai Pakerisan. 

Kawasan persawahan yang menghijau di Gunung Kawi
Candi-candi dipahat pada dinding tebing batu paras/cadas. Candi sengaja dipahat lebih menjorok ke dalam agar terlindung dari erosi. Ukuran candi kira-kira tinggi 10 meter dengan lebar 30 meter. Pada Gugusan Lima Candi terdapat tirta/mata air suci yang mengairi kolam yang ada di bawah permukaan candi yang bertingkat. Ikan-ikan emas dalam kolam bergerak kesana-kemari. Gemericik air yang mengairi kolam menyejukan hati.

Sungai Pakerisan dipenuhi bebatuan dan dialiri air yang jernih. Pohon-pohon besar tumbuh disisi sungai dengan dahan dan daun yang menjuntai. Seperti sebuah gerbang gaib penanda wingitnya tempat keramat itu. Tubuhku yang sensitif menangkap sinyal hawa dari dunia lain. Aku pun bergegas menjauh.

Aku berjalan menuju sisi barat Sungai Pakerisan tempat gugusan 4 (empat) candi berada. Ada sebuah Ceruk/goa diujung kiri sepertinya digunakan untuk Meditasi/samadhi. Disini juga dibangun Pura Kawan yang digunakan untuk berdoa.

Pura Gunung Kawi atau Candi Gunung Kawi/Tebing Kawi berupa bangunan suci Pedharman (Kuil) Raja-raja Bali. Kawi berarti pahatan pada batu padas/paras. Berfungsi sebagai tempat pertapaan dan petirtaan. Berada di tepi Sungai Tukad Pakerisan, Banjar Penaka/Dusun Penaka, Desa Tampak Siring, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Jarak tempuh dari Denpasar sekitar 1 (satu) jam atau 40 (empatpuluh) kilometer.


Legenda masyarakat sekitar menceritakan bahwa Candi Gunung Kawi dibuat oleh orang sakti yang bernama Kebo Iwa. Dengan kesaktiannya konon Kebo Iwa menatahkan kuku-kukunya yang tajam pada dinding batu paras/cadas pada Tukad Pakerisan itu. Hanya sehari semalam Kebo Iwa berhasil menyelesaikan memahat semua candi di dinding tebing.

Dalam Prasasti Tengkulak 945 Saka/1023 Masehi terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat komplek pertapaan (Kantyangan) yang bernama Amarawati. Terdapat tiga komplek candi. Gugusan 5 (lima) candi yang berada di tebing sebelah timur Sungai Pakerisan, Gugusan 4 (empat) candi yang berada di tebing sebelah barat Sungai Pakerisan, dan candi ke-10 yang berada sebelah selatan, di Tebing Bukit Gundul.

Gunung Kawi Ubud Gianyar
Berpose di gugusan 4 candi
Disebutkan pada abad ke-11 Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 Masehi) membangun candi sebagai penghormatan terhadap ayahnya, Raja Udayana Dinasti Warmadewa Kerajaan Bedahulu/Bedulu (Kerajaan Bedahulu /Bedulu diperkirakan ada pada abad ke-8 sampai abad ke-14 diawali dari Dinasti Warmadewa). Pembangunan kemudian diteruskan oleh adiknya,  Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 Masehi). 

Raja Udayana dari pernikahannya dengan Permaisuri Gunapriya Dharma Patni, Putri dari Mpu Sendok Raja Kediri di Pulau Jawa memiliki tiga putra. Putra pertama Airlangga, putra kedua Dharmawangsa Marakata dan putra ketiga Anak Wungsu. Airlangga menjadi Raja di Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Berdasar data arkeologi berupa tulisan aksara bertipe Kadiri Kwadrat pada ambang pintu candi berbunyi "haji lumah ing jalu" berarti beliau yang didharmakan di Jalu (Jalu=Pakerisan). Dan "rwa anak ira" yang diartikan dua putra beliau (dua anak Udayana yang berkuasa di Bali yaitu Marakata dan Anak Wungsu).

Gugusan 5 (lima) candi diperuntukan Raja, Permaisuri dan anak-anaknya. Gugusan 4 (empat) candi menurut Arkeolog Belanda, Dr. R. Goris kemungkinan adalah kuil pedharman untuk ke empat selir dari Raja Udayana. Satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan dibangun untuk seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja. 

Dari berbagai referensi sejarah pada jaman itu dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya Raja Anak Wungsu. Akhirnya Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peranan penting dalam Kerajaan Bedahulu.

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 04 Oktober 2017

Tohula, Benteng di Kota Hula Tidore

Aku berhenti di sela anak tangga untuk memotret pemandangan tebing di sebelah kanan tulisan Benteng Tohula. Di sebelah kiriku tampak lautan lepas dengan perahu-perahunya yang bergerak hilir mudik. Sebenarnya berhenti di satu spot foto juga sebagai salah satu cara rehat mendadak, di samping mengumpulkan pasokan oksigen agar memenuhi paru-paruku. Ratusan anak tangga yang menanjak cukup membuatku terengah-engah hehehe. 


Dibelakangku terdengar beberapa pengunjung remaja menyemangati satu sama lain. "Ayo cepat naik, masa kalah sama mereka!", seru salah seorang diantara mereka, seorang remaja berbaju putih berambut ikal sambil menunjuk sepasang suami istri paruh baya sedang menuruni anak tangga setelah selesai mengunjungi benteng. Pertanda suami istri itu sebelumnya telah berhasil mendaki. Rombongan remaja itu pun bergegas naik. Mungkin mereka merasa malu masih jauh lebih muda namun kalah stamina hahaha.


Akhirnya aku sampai juga di atas Benteng Tohula. Well, always good view from the top. Melepaskan pandangan ke kiri tampak rumah-rumah penduduk, pantai dan dermaga perahu yang ingin menyeberang dari Tidore ke Halmahera. Pulau Halmahera terlihat memanjang didepan. Rasanya aku ingin melompat ke sana. Wait for me! Aku menengok ke arah belakang,  Gunung Kie Matubu di kejauhan seperti menyembul dari balik benteng.

Benteng Tohula terletak di Desa Soasiu tidak jauh dari Kedaton Kesultanan Tidore dan pusat kota. Tohula/tahula dalam bahasa Tidore yang berarti Kota Hula. Mudah menemukannya karena berada di jalur jalan utama Tidore.  Mengunjunginya tidak dipungut biaya, baik tiket masuk, maupun parkir kendaraan. 

Adalah Sebastiano De Elaco, seorang pelaut berkebangsaaan Spanyol yang membangun benteng ini pada tahun 1512. Didirikan sebagai benteng pertahanan Spanyol ketika menduduki wilayah Tidore di awal abad 16. Persaingan dagang dan perluasan wilayah jajahan untuk menguasai jalur rempah (Cengkih dan Pala) antara Spanyol dan Portugal sebagai alasan utama dibangunnya benteng ini. Pembangunannya dimulai pada tahun 1610 sampai tahun 1662. Letak lokasi yang berada di atas bukit karang yang tinggi sebagai titik pandang terbaik untuk mengamati wilayah perairan/lautan maupun daratan Tidore.

Benteng ini kemudian ditinggalkan Spanyol setelah kekalahan dengan Belanda dalam perebutan wilayah jajahan pada tahun 1707. Rencananya benteng akan dibongkar, tetapi ditentang oleh Sultan Tidore yang bertahta saat itu, Sultan Hamzah Fahroedin dengan dalih benteng akan digunakan sebagai tempat tinggal Keluarga Sultan Tidore. Belanda pun memenuhi permintaan Sultan dengan syarat seluruh aktifitas dalam benteng tersebut dibawah pengawasan Belanda.

Undak-undakan dibuat untuk menghubungkan ruang satu ke ruang yang lain karena kontur tanah yang tinggi dan rendah. Tanaman hias berwarna-warni tumbuh di kanan kiri jalan setapak menambah keasriannya. Lampu-lampu pun ikut menghiasi taman benteng ini. Bangku-bangku juga disediakan di tiap sudut.

Sayang sekali seluruh bangunan ruangan telah roboh jadi yang tersisa hanyalah pondasinya. Tampak tangga bambu bersandar di dinding tembok benteng, mungkin untuk digunakan naik ke atas tembok. Selayaknya benteng, Bunker atau ruangan bawah tanah juga dibangun. Ada pintu gerbang yang tertutup/terkunci dibagian lain benteng. Aku tidak tahu ruangan itu berisi apa.

Sekitar lima belas menit cukup untuk mengelilingi benteng ini, tetapi bagi pecinta foto mungkin kurang untuk mengexplore hanya dalam waktu lima belas menit. Apalagi jika mengejar Sunrise/Sunset. Don't worry, My Friends, Gazebo sebagai gardu pandang disediakan bagi yang ingin santai berlama-lama disini. Jangan lupa membawa perbekalan. Sambil minum kopi, makan camilan Kue Pia ditambah menikmati pemandangan dari atas benteng. Mantap jiwa!



Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya